Kajian Integrasi Tanaman dengan Ternak untuk Ketahanan Pangan di Indonesia

Prof. Ir. Sutrisno Hadi Purnomo, S.Pt., M.Si. Ph.D. *

Sektor pertanian, selama ini merupakan sektor utama dalam penyediaan pangan di Indonesia, utamanya subsektor tanaman pangan dan subsektor peternakan. Subsektor pertanian yang terdiri dari tanaman dan ternak, merupakan sistem yang terintegrasi dan saling melengkapi. Sistem terintegrasi tanaman-ternak, adalah sistem yang memiliki tujuan memanfaatkan limbah satu sama lain. Limbah tanaman digunakan sebagai pakan ternak, sedangkan limbah ternak digunakan sebagai pupuk organik, bahkan sebagai bioenergy (biogas). Integrasi demikian, disebut dengan Bio-cyclo Farming (Gambar 1), dimana terjadi siklus yang terpadu antara tanaman dengan ternak, bahkan perikanan.

Usaha ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) telah berkembang di Indonesia, akan tetapi, umumnya masih dipelihara sebagai usaha sambilan, tujuan utamanya sebagai tabungan, sehingga manajemen pemeliharaannya masih dilakukan secara kon­vensional. Petani dan peternak di Indonesia pun belum menguasai dan menerapkan inovasi teknologi pakan maupun pupuk organik. Integrasi tanaman-ternak terdiri dari komponen budi­daya tanaman, budidaya ternak dan pengolahan limbah. Penerapan teknologi pada masing-masing komponen, merupakan faktor penentu keberhasilan sistem integrasi tersebut, sedangkan para petani dan peternak belum menguasai teknologi tersebut.

Dalam hal penggunaan input faktor produksi, maka dengan menerapkan integrasi tanaman-ternak akan menurunkan biaya input produksi baik untuk tanaman maupun ternaknya, yang disebut Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA). Dalam hal konservasi alam, integrasi tanaman-ternak menghasilkan beberapa keuntungan seperti meningkatkan kesuburan tanah, meningkatkan produksi tanaman, mendaur ulang unsur hara, meningkatkan penggunaan lahan dan meningkatkan kelestarian lingkungan (Gupta et al., 2012).

 Jenis Sistem Integrasi Tanaman_ternak di Indonesia

Integrasi tanaman dengan ternak, khususnya antara tanaman pangan dan ternak, secara tradisional sudah diterapkan petani sejak lama dan masih bertahan hingga kini. Seperti yang bisa kita lihat pada Tabel 1, bahwa baik ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing, domba) maupun non ruminansia (babi, ayam, itik) dapat beritntegrasi satu sama lainnya. Sistem integrasi ini diterapkan untuk menopang perekonomian petani kecil di pedesaan.

Tabel 1. Sistem Usaha Tani dengan Ternak di Asia Tenggara

Ternak Tujuan produksi Integrasi dengan
Ruminansia

Kerbau

 

Tenaga kerja

 

Padi dan palawija

 

Sapi

 

Kambing Domba

Daging dan Susu

Tenaga kerja Daging

Susu

Daging

Padi

Hortikultura, perkebunan, padi Hortikultura dan perkebunan

Padi dan palawija

Hortikultura dan perkebunan Hortikultura dan perkebunan Hortikultura dan perkebunan

Nonruminansia

Babi

 

Daging

 

Hortikultura

Ayam Daging/telur Hortikultura
Itik Daging/telur Hortikultura, padi, dan kolam ikan

Sumber: Balitnak Ciawi, 2010

Integrasi tanaman dangan ternak yang sudah diimplementasikan di Indonesia, berupa : integrasi tanaman pangan-ternak, integrasi hortikultura-ternak, integrasi tanaman perkebunan-ternak maupun integrasi tanaman hutan-ternak.

Dengan terciptanya sistem integrasi tanaman-ternak dalam berbagai komoditas tanaman dan komoditas ternak tersebut, maka akan dapat mencapai keuntungan yang memadai dengan tingkat produksi yang berkelanjutan dan meminimalkan dampak negatif dari kerusakan lingkungan, akibat penggunaan bahan kimia.

Dampak negatif dari penerapan sistem pertanian konvensional yaitu dapat menyebabkan degradasi dan penurunan kesuburan tanah, mengurangi kelembaban tanah, merusak ekosistem yang berada di lingkungan sekitarnya, menyebabkan erosi, hingga masalah serius yang berdampak pada gangguan kesehatan para konsumen akibat penggunaan pestisida.

Permasalahan dalam Integrasi Tanaman-Ternak

Integrasi tanaman-ternak adalah sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan pola usaha tani di suatu daerah sesuai dengan potensi daerahnya. Komoditi unggulan yang menjadi potensi utama di suatu daerah, didukung oleh usaha komoditi lain sebagai penunjang (Noor, 1996).

Sistem integrasi tanaman-ternak, sebenarnya bukanlah suatu teknologi baru karena kebiasaan bertani dan beternak dalam satu rumah tangga, sudah lama mengakar pada budaya pertanian di Indonesia. Namun demikian, dengan berbagai benefit yang diperoleh secara ekonomi, sosial maupun konservasi alam, penerapan integrasi tanaman-ternak di Indonesia, masih belum dilaksanakan oleh para petani peternak secara optimal.

Sebagian besar petani belum melakukan pengolahan limbah tanaman dengan teknologi pakan dan belum melakukan pengolahan limbah kotoran ternak dengan teknologi pupuk terkini. Oleh karena itu perlu dilakukan suatu upaya untuk meningkatkan penerapan integrasi tanaman-ternak di kalangan petani peternak.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah studi untuk identifikasi faktor-faktor yang menghambat penerapan integrasi tanaman-ternak di Indonesia.

Dengan permasalahan tersebut dia tas, maka kami melakukan suatu kajian faktor apa saja yang menjadi penghambat penerapan integrasi tanaman-ternak. Kami mengidentifikasi faktor-faktor yang memberikan hambatan terhadap penerapan integrasi tanaman-ternak, dengan menguji lima faktor yaitu hambatan produksi, hambatan pengetahuan, hambatan infrastruktur, hambatan pemerintah, dan hambatan ekonomi.

Penelitian ini menggunakan model penerimaan teknologi (Technology Acceptance Model) pada adopsi teknologi di bidang pertanian. Deskripsi dari kelima faktor hambatan adalah:

  1. Hambatan produksi: akses ke input yang dibutuhkan untuk produksi terintegrasi, ketersediaan tenaga kerja, ketersediaan waktu dan fasilitas komunikasi
  2. Hambatan pengetahuan: pengetahuan dan keterampilan pertanian terintegrasi, manajemen hama dan pengetahuan pasar.
  3. Hambatan infrastruktur: akses peralatan transportasi, penyimpanan produk organik, pemrosesan peralatan, dan aksesibilitas jalan.
  4. Hambatan pemerintah: kebijakan dan komitmen pemerintah untuk mendukung pertanian terintegrasi.
  5. Hambatan ekonomi: biaya tenaga kerja, ukuran pasar dan manajemen harga

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hambatan yang menentukan penerimaan pertanian terintegrasi di wilayah Surakarta, adalah hambatan produksi, hambatan pengetahuan, hambatan pemerintah dan ekonomi.

Untuk mengatasi hambatan ini perlu dilakukan beberapa solusi alternatif :

  1. Upaya meng­urangi hambatan produksi dengan menyediakan akses input produksi.
  2. Upaya mengurangi hambatan pengetahuan dengan ketersediaan pelatihan untuk belajar teknologi inovasi pakan ternak dan pupuk organik.
  3. Pemerintah memiliki kebijakan dan peraturan yang mendukung pertanian organik, kebijakan terkait sertifikasi produk organik.
  4. Upaya meningkatkan dan menyediakan pasar dengan produk promosi dari hasil integrasi pertanian.

* Pidato Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Sosial Ekonomi Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, pada Sidang Senat Akademik Terbuka, 16 Agustus 2021

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *