Melawan Lupa, Sarjana Dan Insinyur Peternakan Menggugat

Ir. Daud Samsudewa, S.Pt., M.Si., Ph.D., IPM. (Staf Pengajar Ilmu Reproduksi Ternak, Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang)

Tahun 2019 Sarjana Peternakan diresahkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No 3 Tahun 2019.  Permentan ini mengatur tentang pelayanan jasa medik veteriner yang di salah satu pasalnya yaitu Pasal 6 memasukkan Petugas Inseminasi Buatan dan Pemeriksa Kebuntingan ke dalam Petugas Paramedik Veteriner dan di Pasal 9 dan 10 menggolongkannya ke dalam Petugas Paramedik Veteriner yang di dalam pelaksanaannya harus di bawah penyeliaan dokter hewan (Pasal 13 ayat 3). Ketidaklogisan Peraturan Menteri pertanian 03 Tahun 2011 semakin jelas dengan adanya persyaratan administrasi pengajuan Surat Izin Praktek Paramedik (SIPP) sebagai tenaga Inseminator harus memiliki fotokopi ijazah sarjana kedokteran hewan, diploma Kesehatan Hewan, atau ijazah sekolah kejuruan bidang Kesehatan Hewan dan meniadakan ijazah sarjana peternakan.

Lalu, bagaimana nasib Sarjana Peternakan?? Sarjana yang memiliki kompetensi sebagai Pengawas Bibit Ternak sekaligus Tenaga Reproduksi dan Perbibitan (inseminator dan pemeriksa kebuntingan). Patut diingat dan diperhatikan, Seorang Sarjana Peternakan di dalam Rancangan Pembelajaran di Perguruan Tinggi juga didukung dengan mata kuliah utama yang berhubungan dengan Ilmu Reproduksi Ternak, Fertilitas dan Sterilitas Ternak, Teknologi Bioreproduksi, Ilmu Pemuliaan Ternak dan Manajemen Perbibitan Ternak dan Perundang-undangan Perbibitan Nasional.

Rahayu Kusumaningrum, S.Pt., M.Pt. (Fungsional Pengawas Bibit Ternak, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah)

Inseminasi buatan tidak bisa dipahami secara sempit hanya dengan proses deposisi (memasukkan) semen pejantan ke organ reproduksi betina, namun juga wajib dipahami secara komprehensif sebagai kegiatan IB yang dimulai dari Seleksi Bull/pejantan, Penyediaan Semen Beku, dan proses evaluasi dan handlingnya. Inseminasi buatan juga membutuhkan kemampuan memilih seekor indukan yang layak ataukah tidak untuk dilakukan inseminasi. Selain itu, inseminasi buatan juga membutuhkan ketrampilan mendeteksi berahi dan menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan inseminasi. Terlebih lagi inseminasi buatan juga membutuhkan kemampuan dalam menyusun sebuah rekording ternak dan menentukan semen pejantan mana yang paling tepat untuk dideposisikan ke dalam organ reproduksi betina. Tentunya semua ketrampilan dan pengetahuan tersebut akan sangat berhubungan dengan keberhasilan perkawinan seekor ternak betina. Dimana, semua ketrampilan dan pengetahuan itu merupakan kompetensi seorang mahasiswa untuk menjadi seorang Sarjana Peternakan. Lalu, mengapa seorang Sarjana Peternakan tidak masuk dalam kriteria sebagai inseminator di Permentan 3 Tahun 2019?? Bagaimana pula, nasib petugas inseminasi buatan dan pemeriksa kebuntingan yang berpendidikan sarjana non kedokteran hewan dan peternakan atau bahkan Diploma III ataupun Diploma IV peternakan??.

Peraturan Menteri Pertanian 03 Tahun 2019 Pasal 46 yang mengatur tentang pengawasan dan pembinaan  dokter hewan dalam pelaksanaan IB dan PKb juga sangat bertentangan dengan beberapa peraturan yang lain yang mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan Inseminasi Buatan ada di bawah kendali Pengawas Bibit Ternak. Beberapa peraturan tersebut antara lain Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 02 tahun 2011 yang mengatur Jabatan Fungsional Pengawas Bibit Ternak dan dijelaskan rinci dalam Permentan No 08 tahun 2012 Bab II tentang Penjabaran Tugas Pokok, Bidang Kegiatan, Rincian Dan Tolok Ukur Kegiatan antara lain :

  • Melakukan pemeriksaan kelayakan akseptor dan atau resipien dalam rangka pembiakan ternak melalui inseminasi buatan
  • Melakukan IB pada ternak (ternak besar, kecil dan unggas) pada proses produksi bibit ternak
  • Melakukan Pemeriksaan Kebuntingan dalam rangka pembiakan ternak melalui IB.

Pengawas Bibit Ternak dengan kompetensi pendidikan Sarjana Peternakan, secara legal peraturan di atas memiliki hak dalam Kegiatan Inseminasi Buatan dan Pemeriksaan Kebuntingan, sehingga ruang lingkup IB bukan pada ranah/ruang lingkup kesehatan hewan saja, namun menjadi ruang lingkup bersama yang tidak boleh dimonopoli oleh satu profesi kedokteran hewan saja.

Selain berhak dalam teknis pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Pemeriksaan Kebuntingan, Pengawas Bibit Ternak memiliki tugas dan wewenang dalam hal Pengawasan Peredaran bibit/benih *) baca = semen beku, embrio dan mengatur mengenai perencanaan, evaluasi dan rekomendasi hasil pengawasan IB. Ini merupakan bagian dari fungsi-fungsi Penyeliaan Kegiatan IB yang perlu dipahami secara makro atas keberhasilan program IB secara keseluruhan (Permentan No.42, tahun 2014 pasal 14-19 dan PP No. 48 Tahun 2011)

Sehingga, semakin jelas bahwa tidak bisa di klaim bahwa Kegiatan IB dan PKb merupakan kegiatan medik veteriner, karena di dalam pelaksanaan dan evaluasi banyak terkait tugas pokok dan wewenang Pengawas Bibit Ternak dari mulai Pengawasan di sektor produksi benih (semen beku), teknis pelaksanaan IB/PKb,  peredaran semen beku sampai evaluasi dan rekomendasi keberhasilan program IB.

Dalam hal Pelaksanaan IB/PKb dengan Penyeliaan oleh Dokter Hewan, seyogyanya perlu dipikirkan lagi konsep Penyeliaan yang berasaskan manfaat dan keadilan, mengingat dalam pelaksanan di lapangan, penyeliaan dengan Mou bertarif sebagai salah satu syarat mengajukan/memperpanjang SIPP menimbulkan tambahan beban biaya bagi Inseminator. Penyeliaan dokter hewan seyogyanya dilakukan atas dasar spesialisasi kompetensi di bidang medik reproduksi mengingat dokter hewan di Indonesia belum punya Jurusan Spesialis. Pada prakteknya, dokter hewan tanpa kompetensi di bidang medik reproduksi dengan leluasa ber-Mou dengan Inseminator melakukan penyeliaan. Hal ini tidak mendukung kemajuan profesionalisme azas kedokteran dengan contoh Profesi Bidan dalam Penyeliaan Dokter Spesialis Kandungan, bukan dalam penyeliaan Dokter Umum.

Lebih mulia, konsep Penyeliaan di definisikan dalam Ruang Lingkup melakukan pengawasan bersama-sama dengan Sarjana Peternakan (Pengawas Bibit Ternak) dalam hal menyiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi proses IB yang berjalan sehingga mendorong keberhasilan program IB.

Seperti yang pernah saya tulis di Website ISPI tanggal 13 Desember 2020, Jumlah tenaga reproduksi (Inseminator dan pemeriksa kebuntingan) se-Indonesia berdasarkan data ISIKHNAS per 1 Agustus 2020 sejumlah 13.575 orang dengan distribusi sbb:

NO TENAGA REPRODUKSI JUMLAH (Orang)
1 Inseminator 9.277
2 Pemeriksa Kebuntingan 4.298

 

Lalu, dari jumlah data tersebut, berdasarkan hasil pendataan dari DPW Paravetindo Jawa Tengah 901 inseminator (10%) berasal dari Jawa Tengah. Distribusi pendidikan dari 901 orang tersebut adalah sebagai berikut:

NO PENDIDIKAN JUMLAH (orang) PERSENTASE (%)
1 S1 Peternakan 158 17,54
2 Dokter Hewan dan S1 Kedokteran Hewan 92 10,21
3 Sekolah Kejuruan Peternakan 13 1,44
4 Pendidikan Lain-lain 638 70,81
TOTAL 901 100

 

Jumlah inseminator diatas 50% lebih telah berusia 50 tahun keatas. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi paling tidak 10 tahun ke depan kekurangan petugas teknis reproduksi (Inseminator dan pemeriksa kebuntingan) kerena akan menuju purna tugas. Di lain pihak, dengan tidak diijinkannya calon petugas inseminasi dan pemeriksa kebuntingan yang telah mengikuti pelatihan teknis reproduksi setelah tahun 2019 untuk mendapatkan Surat Ijin Praktek Paramedik (SIPP) karena tidak berpendidikan dokter hewan, sarjana kedokteran hewan dan diploma III Kedokteran Hewan akan berdampak pada zero growth pertambahan petugas non kesehatan hewan, kondisi ini tidak mungkin terpenuhi oleh jumlah lulusan kesehatan hewan dan akan berpengaruh pada penurunan pelayanan inseminasi buatan dan keberhasilan program pembibitan ternak.

Namun, kondisi tersebut tidak disikapi oleh kementrian Pertanian dengan Mencabut Permentan 3 Tahun 2019, namun diperparah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian 15 Tahun 2021 yang mengatur standar kegiatan usaha dan standar produk pada penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko bidang pertanian. Permentan 15 Tahun 2021 ‘TETAP” memasukkan Jasa Perkawinan Ternak (01622) ke dalam Standar Pelayanan paramedik Veteriner yang mengatur bahwa :

  1. Paramedik Veteriner adalah Tenaga Kesehatan Hewan lulusan sekolah kejuruan, pendidikan diploma, atau memperoleh sertifikat untuk melaksanakan urusan Kesehatan Hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan Dokter Hewan
  2. Surat Izin Paramedik Veteriner Pelayanan Inseminator yang selanjutnya disebut SIPP Inseminator adalah bukti tertulis untuk melakukan praktik pelayanan inseminasi buatan di bawah Penyeliaan Dokter Hewan.

Persyaratan umum sebagai Tenaga paramedik Veteriner salah satunya adalah fotokopi ijazah sarjana kedokteran hewan, ijazah diploma Kesehatan Hewan, atau ijazah sekolah kejuruan bidang Kesehatan Hewan dan TETAP tanpa memberikan kesempatan terhadap ijazah sarjana peternakan

Di lain pihak, profesi keinsinyuran semakin diakui melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran yang menyebutkan bahwa keinsinyuran adalah kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan, kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.dan di dalamnya terdapat Badan Keinsinyuran Teknik Peternakan seharusnya profesi insinyur memiliki wewenang yang lebih luas. Selanjutnya, lima macam keteknikan dalam keinsinyuran peternakan adalah:  1). teknik pembenihan, pembibitan, dan produksi ternak; 2). teknik pakan; 3). teknik budidaya ternak; 4). teknik peralatan dan permesinan peternakan, dan 5). teknik pemanenan dan pengolahan pasca panen. Apabila kita menilik keprofesian ininyur peternakan ini maka profesi Keinsinyuran Peternakan sangat “dikebiri” dengan adanya Permentan 3 Tahun 2019 dan Permentan 15 Tahun 2021 terutama pada ketenikan bidang pertama.

Kondisi ini seharusnya sangat meresahkan Sarjana Peternakan dan pemegang profesi keinsinyuran peternakan, sehingga melalui tulisan ini, kami “Melawan Lupa Sarjana dan Insinyur Peternakan Menggugat”. Stop diskrimasi terhadap Sarjana Peternakan. Kami menggugat dan merekomendasikan satu kata CABUT!! Permentan 03 Tahun 2019 dan Permentan 15 Tahun 2021 yang berpotensi besar “mengkebiri” Sistem Perbibitan Nasional di Indonesia sekaligus menghilangkan kesempatan Sarjana dan Insinyur Peternakan dalam berkontribusi untuk menjaga marwah Sistem Perbibitan Nasional melalui pelaksanaan Inseminasi Buatan!!

13 thoughts on “Melawan Lupa, Sarjana Dan Insinyur Peternakan Menggugat

  1. Mohon ijin biar serius, mari bersama ke Mentan biar ada tindak lanjut pencabutan dan atau dibawa ke MK…biar cepat, lebih cepat lagi klo sampai MK pasti viral

  2. Tulisan ini benar2x melawan lupa…sngat membantu utk pencerahan bgi profesi sarjana dan insinyiur peternakan. Semoga dewan pakar bisa membantu utk utk bisa me golkan melawan lupa ini. Bravo Peternakan, Indonesia Hebat 👍👍👍👍🙏🙏🙏

  3. Kami Sarjana Peternakan/bakal calon sarjana Peternakan Indonesia “MENGECAM KERAS” perlakuan Menteri Pertanian atas di terbitkan nya Permentan 03 Tahun 2019 dan Permentan 15 tahun 2021 yang berpotensi mengkebiri SISTEM PERBIBITAN NASIONAL dan harus segera di CABUT

  4. Saya sangat setuju dengan pernyataan tersebut, mari lihat akarnya. Tenaga inseminator di lapangan sangat dibutuhkan, malah di Lampung, kita bisa menemukan inseminator yang pendidikannya tidak sesuai dengan yang diharapkan. Untuk memajukan peternakan baik populasi maupun kualitas hasil peternakan diperlukan ilmu yang dipelajari oleh insinyur peternakan, bravo peternakan, semoga bisa terwujud peternakan yang maju….
    Aamiin ya Allah

  5. Di daerah kita di Sulut yang menjadi Inseminator Sukses adalah Sarjana Peternakan. . Klu permen ini tdk dicabut gmn nasib perkembangan peternakan kita di Sulut yang sangat mengharapkan campur tangan Inseminator

  6. Sangat setuju ,
    Saya sebagai mahasiswa peternakan juga mendukung atas pencabutan.
    Saya merasa ada penyimpangan atas peraturan tersebut.
    Terima kasih
    #FAPET JAYA
    #Salam Cinta Dari Ujung Kandang

  7. terkadang saya heran, saya tau ada banyak petugas inseminator baru yang ijazahnya sma (bukan smk keswan) tetapi tetap bisa saja menjadi petugas, sementara saya yang sudah punya sertifikat pelatihan pun selalu ditolak secara kaku (katanya pendidikan saya (S.Pt) tidak mengurus surat rekom

    lalu pertanyaan saya
    1. kenapa bisa ada petugas baru yang pendidikan terakhirnya SMA?
    2. kenapa IB tidak diprivatisasi saja? (swasta diperbolehkan mengoperasikan usaha jasa IB, dengan monitoring dari pemerintah)

    menurut saya (sependek sepengetahuan saya) kalau ingin meningkatkan populasi ternak itu ya seharusnya jangan nanggung nanggung, bebaskan saja, diatur semua mulai dari konsep breedingnya juga diatur, sementara sekarang masalah teknis IB saja masih dibatasi dengan ketat (itupun masih ada banyak kejanggalan yg terjadi di lapangan seperti banyaknya petugas baru dengan pendidikan SMA)

Tinggalkan Balasan ke Demi Souhoka Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *