Menghitung Produksi Jagung Menggunakan Citra Satelit (Remote Sensing)

Mursyid Ma'sum
Disusun oleh: Dr. Mursyid Ma’sum

Perdebatan masalah data produksi jagung terus berlangsung. Masing-masing pemangku kepentingan punya argumentasi sendiri sesuai dengan kepentingannya. Tetapi, sebuah realitas seharusnya sama. Tinggal, bagaimana suatu realitas itu didekati. Misal jagung, bagaimana mengukur luas tanam, bagaimana mengukur jumlah produksi per satuan luas, kapan dilakukan pengukuran, alat ukur apa yang digunakan, dan asumsi-asumsi apa yang digunakan.

Kata remote yang berarti “jauh” sudah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Hampir semua peralatan seperti AC, TV dan mobil mainan anak-anak sudah menggunakan romote control. Artinya, kita mengoperasikan AC dan TV tidak harus kontak langsung dengan peralatan dimaksud. Lalu, apa yang disebut dengan remote sensing? Remote sensing didefinisikan sebagai the science and technology by which the characteristics of objects of interest can be identified, measured or analyzed the characteristic without direct contact. Dengan kata lain, remote sensing (penginderaan jauh, disingkat inderaja) adalah ilmu dan teknologi yang mana sifat dari suatu obyek (yang kita inginkan) dapat di identifikasi, diukur atau dianalisa sifatnya tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut.

Tulisan ringkas ini dimaksudkan untuk memperkenalkan dan memasyarakat-kan teknologi dan aplikasi inderaja dengan memberikan penjelasan singkat beberapa prinsip-prinsipnya dan kemungkinan penggunaannya dalam dunia pertanian, khususnya dalam menghitung produksi jagung di Indonesia.

Inderaja

Beberapa dekade terakhir ini memang telah terjadi perkembangan yang luar biasa terhadap ilmu dan teknologi inderaja dan aplikasinya. Perkembangan yang pesat teknologi inderaja dan aplikasinya ini ditunjang pula oleh perkembangan teknologi di bidang komputer baik menyangkut perangkat kerasnya maupun perangkat lunaknya. Sehingga dapat dilakukan analisa yang dulunya bersifat kualitatif, kini menjadi kuantitatif. Penggunaan inderaja yang awalnya untuk keperluan militer, kini meluas ke sektor-sektor lain, termasuk pertanian.

Salah satu penggunaan yang paling penting dan tipikal dari  inderaja ini adalah pemetaan melalui pencitraan permukaan  bumi. Pemetaan berdasarkan tema-tema tertentu seperti penggunaan lahan, agroklimat, jenis tanah, jenis tanaman dan sebagainya, telah memberikan informasi yang sangat bermanfaat, baik aktualitas maupun akurasinya.  Disamping itu, penggunaan lainnya adalah untuk mendeteksi perubahan yang terjadi di permukaan bumi seperti deforestisasi, desertifikasi ataupun perubahan kondisi lingkungan, seperti kekeringan, banjir, luas tanam/panen, serangan hama/penyakit dan lain-lain, dalam waktu atau selang waktu tertentu ataupun dalam  musim yang berbeda. Lebih jauh, inderaja dapat mengestimasi volume biomasa dari suatu vegetasi tertentu, termasuk jumlah produksi hasil pertanian, dalam satu luasan/kawasan tertentu sehingga produksi suatu biji-bijian, misal jagung, dapat dihitung produksinya. Penulis sendiri telah menggunakan inderaja untuk mengestimasi potensi suatu wilayah dalam penyediaan pakan hijauan, sehingga dapat dihitung kapasitas tampung ternaknya (carrying capacity).

Istilah remote sensing sendiri pertama kali digunakan di Amerika pada tahun 1960-an dan meliputi photogrametry, photo-interpretation, photo-geology dan sebagainya. Sejak Landsat-1, satelit pengindera bumi pertama milik Amerika diluncurkan (1972), istilah remote sensing telah digunakan secara luas meliputi bidang-bidang hidrologi, geologi, meteorologi, oseanografi, pertanian (perkebunan, kehutanan, perikanan dan peternakan) dan sebagainya.

Sumber data yang biasa digunakan dalam inderaja ini adalah radiasi elektro-magnetik yang diemisikan oleh suatu obyek. Sumber  lain yang dapat digunakan adalah panas. Setiap obyek  memancarkan radiasi elektromagnetik yang berbeda dan spesifik (unik). Sedangkan alat yang digunakan untuk mendeteksi radiasi elektromagnetik tersebut disebut remote sensor atau sensor saja. Alat sensor ini ditempatkan atau dipasang pada suatu kendaraan yang disebut dengan Platform misalnya pesawat udara, drone, balon, cherry-picker, ataupun satelit.

Kisaran gelombang  yang biasanya digunakan dalam inderaja ini adalah near-ultraviolet (0.3 – 0,4 mm), sinar tampak (0,4 – 0,7 mm), near-short wave infrared (0,7 – 3 mm) dan microwave (1mm-1 m). Sedangkan jumlah band dan panjang gelombang yang digunakan oleh masing-masing satelit adalah berbeda, tergantung dari tujuan penggunaannya. Suatu satelit yang dilengkapi dengan remote sensor untuk mengindera bumi maka disebut sebagai satelit inderaja (remote sensing satellite)  atau sering juga disebut sebagai satelit pengamat bumi (earth observation satellite). Satelit meteorologi seperti National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA), kadang-kadang dipisahkan atau tidak dimasukkan sebagai satelit inderaja. Masing-masing satelit mempunyai spesifikasi yang berbeda baik sensor, perputaran (recurrent), jumlah band, kisaran gelombang maupun kemampuan resolusinya. Landsat-5 misalnya, Sensor TM (Thematic mapper) atau MSS (Multispectral Scanner System), recurrent (perputaran) 16 (17) hari, IFOV (daerah yang dapat dideteksi oleh sensor atau pixel unit) 30 m x 30 m, sedangkan kemampuan resolusinya (satu scan data satelit) mencapai luasan 180 Km x 180 Km.

Beberapa negara sudah memiliki satelit inderaja sendiri. Berikut negara dan beberapa nama satelitnya, yaitu Amerika (Landsat, SMS, GOES, SEASAT, NIMBUS, MAGSAT, NOAA), Jepang (GMS, MOSS, JERS, TRMM), Perancis (SPOT), India (BHASKARA, INSAT, IRS),  Jerman (MOMS), China (FY),  Kanada (RADARSAT) dan Eeuropean Space Agency (Meteosat). Negara lain yang saat ini  sudah mengembangkan satelit inderaja sendiri antara lain adalah Brazil dan Itali. Melihat geografis negara kita yang berupa kepulauan, dengan jarak antara Sabang dan Merauke sekitar 5.000 Km, sudah seharusnya Indonesia mempunyai satelit inderaja sendiri, untuk dimanfaatkan bersama antar sektor atau subsektor mulai dari pertahanan, perikanan dan kelautan, kehutanan, pertanian, dan sebagainya.

Saat ini Indonesia telah mempunyai stasiun bumi (ground station) untuk menerima data satelit, yaitu di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Umumnya, citra atau data satelit diterima di stasiun bumi direkam dalam bentuk HDDT (high density digital tape) dengan 14 atau 28 traks. Namun demikian ini tergantung permintaan, data HDDT akan ditransfer dalam bentuk CCT (computer compatible tape)  dengan 9 traks dan/atau dalam media lain untuk memudahkan distribusinya. Dewasa ini, yang populer digunakan adalah disk optic seperti WORM (write once read only), disk MO (Magneto-optical dengan fungsi yang dapat dihapus) dan CD-ROM (compact disk read only memory).

Satu scan citra satelit (Landsat) mengcover luasan  180 km dari timur ke barat dan 180 Km dari utara ke selatan. Informasi citra satelit dapat diekstraksi menggunakan komputer (data processing) ataupun secara langsung oleh penafsir citra (human interpreter). Penafsiran citra satelit diartikan sebagai pengekstrasian informasi berdasarkan pengetahuan dan/atau pengalaman penafsir baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam bentuk map tentang bentuk, lokasi, struktur, fungsi, kualitas, kondisi dan hubungan antar obyek. Masing-masing cara interpretasi tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan tersendiri. Oleh karena itu, dengan  penggabungan kedua pendekatan tersebut (komputer dan human interpreter) akan diperoleh hasil yang lebih baik.

Seperti telah disebutkan, salah satu penggunaan  yang utama dan penting dari citra satelit ini adalah klasifikasi (pemetaan). Klasifikasi adalah jenis kategorisasi citra satelit menggunakan informasi spektral, spasial dan temporal. Ada dua teknis klasifikasi yaitu klasifikasi menggunakan supervisi (supervised classification) dan klasifikasi tanpa supervisi (unsupervised classification). Yang pertama, menggunakan training sample area sebagai “ground truth data”. Dengan menggunakan alat radio-spektrometer, karakteristik obyek di area training sample secara spektral diidentifikasi, dan identitas obyek ini akan digunakan  oleh komputer (sebagai klasifer) untuk mengidentifikasi  obyek  di seluruh area yang akan di klasifikasi. Teknik yang kedua, unsupervised classification, klasifer (computer) untuk mengklasifikasi, hanya mengandalkan pengetahuan dan/atau pengalaman penafsir serta data penunjang (ancilary data) dari wilayah yang akan diklasifikasi.

Menghitung Produksi Jagung

Ilustrasi Jagung (Sumber: Pixabay)

Secara metodologis, sebelum dilakukan analisis terhadap data satelit, maka ketentuan klasifikasi tanaman (vegetasi) harus disepakati dan ditetapkan terlebih dahulu, sesuai dengan tujuannya. Dasar-dasar teoritis dan tersedianya data lapangan tentang jenis-jenis tanaman, dan khususnya budidaya jagung di area yang akan observasi, akan sangat membantu dalam penetapan batasan klasifikasi. Pendekatan klasifikasi yang dapat digunakan misalnya, berdasarkan pertumbuhan tanaman jagung (umur), jenis jagung yang ditanam, pola tanam (monokultur atau tumpangsari), kerapatan tanam, kalender tanam, dan lain-lain.  Begitu juga untuk tujuannya.

Jika tujuan utama adalah untuk menghitung produksi jagung, maka hal-hal lain yang harus dihitung adalah  luas tanam, luas panen ataupun luas gagal panen dan lain-lain.  Karena, luas panen belum tentu mencerminkan luas tanam. Begitu pula sebaliknya. Maka klasifikasi dapat dibuat, sebagai contoh, berdasarkan pertumbuhan (umur) tanaman jagung, Pertama, tanaman jagung berumur 1 (satu) bulah, disebut sebagai Jagung-kelas-JB; kedua, pertumbuhan puncak vegetatif jagung (sebelum berbunga) dianggap sebagai luas tanam, disebut sebagai Jagung-kelas-LT;  Ketiga, pertumbuhan puncak generatif (jagung tua siap panen), berumur antara 100-121 hari dianggap sebagai luas panen, disebut  Jagung-kelas-LP.

Untuk melakukan penghitungan produksi jagung menggunakan citra satelit ini, ada beberapa institusi yang harus dilibatkan. Selain Kementerian Pertanian sendiri melalui Litbang Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan  dan PUSDATIN, juga harus bekerjasama dengan Badan Informasi Geo-spasial (BIG, dulu LAPAN) sebagai institusi yang punya akses terhadap data satelit;    BPS sebagai institusi yang mempunyai otoritas mengeluarkan data resmi (official statistics); serta Perguruan Tinggi atau institusi lain yang mempunyai  fasilitas/program komputer untuk menganalisis citra satelit.

Dengan penggunaan teknologi inderaja dan dilaksanakan dengan melibatkan institusi terkait, diharapkan tidak ada lagi keraguan para pemangku kepentingan terhadap data jumlah produksi dan sebaran jagung. Lebih jauh, Pemerintah dapat merumuskan dan mengambil kebijakan yang lebih tepat tanpa harus merugikan salah satu pemangku kepentingan. Semoga.

Sebelumnya sudah dipublikasikan pada Majalah Trobos.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *