MENINGKATKAN PENDAPATAN PETERNAK SAPI PERAH

Meningkatkan Pendapatan Peternak Sapi Perah

Mansyur

Lektor Kepala pada Fakultas Peternakan Unpad

Pada peternakan sapi perah kita dapat melihat sebagian perjalanan sejarah bangsa ini. Didalamnya ada potret kebutuhan pangan dan gaya hidup kolonialisme, upaya kemandirian bangsa yang berdaya saing, hantaman badai krisis ekonomi, dan peningkatan kesejahteraan dan gaya hidup sehat bangsa ini. Pada awalnya, jejak sapi perah dapat dilihat sebagai produk budaya yang dibawa belanda untuk memenuhi kebutuhan pangannya pada saat jaman kolonialisme. Fases selanjutnya, terlihat perkembangan kesadaran gizi, ketahanan pangan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan, ditandai dengan dorongan pemerintah dalam memberikan fasilitas dan kemudahan dalam pengembangan industri persusuan nasional. Pada waktu itu harga satu liter susu lebih mahal dari harga satu liter beras, sehingga sapi perah menjadi sangat kompetitif sebagai tulang punggung pergerakan ekonomi pedasaan pegunungan.

Tetapi era keemasan dan proteksi susu itu harus selasai dengan datangnya krisis moneter. Semuanya digusur oleh perjanjian dengan International Monetery Fund (IMF) pada tahun 1998, salah satunya Inpres No 2 tahun 1985 tentang koordinasi pembinaan dan pengembangan persusuan nasional, yang berdampak pada peternak sapi perah harus berjaung dengan sekuat tenaga untuk bertahan dari himpitan dan tekanan globalisasi pasar bebas susu. Perjuangan yang sangat berat, tapi faktanya menunjukkan bahwa peternakan sapi perah masih tetap bertahan dan mampu keluar dari tekanan tersebut, walau dengan nafas yang tersisa masih satu dua.  

Seiring dengan perjalannan waktu, secara per kapita peningkatan konsumsi susu nasional tidak mengalami peningkatan yang drastis, tetapi karena pertumbuhan penduduk yang besar sebagai pembagi. Tetapi konsumsi secara nasional terus mengalami peningkatan, karena tumbuhnya kelas menengah yang makin terdidik dan mempunyai kesadaran gizi yang semakin baik. Hal ini dapat terlihat dari nilai konsumsi susu nasional dan nilai volume impor susu. Nilai komsumsi susu nasional lebih US $ 2,6 Milyar, ini bentuk produk olahan susu seperti susu bubuk, susu kental manis, dan susu cair (International Finance Corporation World Bank Group, 2010).  Sedangkan nilai impor produk susu  sebesar 56,89% dari impor produk hasil ternak, dan sekitar 26,39% dari total impor produk peternakan, lebih besar dari nilai impor sapi bakalan (18,84%) dan import daging total (18,52%) (BPS, 2017).

Kesadaran konsumsi susu yang terus meningkat sejak terpaan krisis moneter tidak menjadikan bangsa ini peduli terhadap kesejahteraan produsen susu.  Baru pada tahun 2017, ada Permentan No. 26 yang berpihak dan peduli untuk menggairahan dunia persusuan Indonesia. Walaupun banyak yang pesimis akan daya dobrak dan daya ungkit dari kekuatan permentan ini terhadap dunia persusuan.  Banyak pihak masih berharap ada aturan yang lebih tinggi seperti Peraturan Presiden ataupun Inpres seperti  Inpres No. 2 tahun 1985.  Tetapi setidaknya ini ada secercah harapan untuk menggairahkan industri persusuan nasional yang lebih berpihak pada peternak produsen susu.

Besarnya pendapatan petani sapi perah terletak pada jumlah produksi susu dan kualitas susu yang dihasilkan. Kualitas susu menggambarkan harga susu yang akan diterima. Maka menghasilkan susu dalam jumlah yang tinggi dan kualitas yang bagus menjadi suatu keharusan. Rendahnya harga susu yang diterima petani menunjukkan masih rendahnya kualitas susu yang dihasilkan. Maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan upaya peningkatan pendapatan petani melalui peningkatan produksi susu dan penerimaan harga susu.

Strategi yang ditawarkan antara lain, yaitu reorientasi sistem pemberian pakan, strategi reproduksi, pengendalian mastitis, peningkatan kualitas susu, dan diversifikasi produks olahan. Mengapa tidak membahas peningkatkan genetik ternak untuk meningkatkan pendapatan petani.  Asumsi penulis terhadap potensi genetik sapi perah yang ada sudah relatif bagus, karena sistem perkawinan yang digunakan adalah inseminasi buatan dengan menggunakan semen beku yang terjamin dari Balai Inseminasi Buatan Lembang maupun Singosari. Dan ini sudah terjadi puluhan tahun, sehingga sapi sapi yang dihasilkan sudah mengalami peningkatan mutu genetik.

Rendahnya produktivitas sapi perah dalam menghasilkan susu di tingkat peternak sangat dominan dipengaruhi oleh rendahnya kecukupan asupan pakan yang berkualitas.  Kisaran produksi antara 10 – 12 liter per hari adalah cerminan jumlah pemberian pakan, Kebanyakan peternak   memang memberi pakan untuk kisaran produksi susu seperti itu, dan mereka merasa ternaknya sudah cukup terpenuhi kebutuhannya. Sementara itu indikator kecukupan nutrisi peternak sangat sederhana, yaitu asal tidak ribut (tandanya kenyang) dan masih menghasilkan susu sudah cukup. Padahal itu bukan sebagai cerminan potensi genetiknya, dan potensi maksimumnya masih jauh diatas kisaran angka tersebut. Oleh karena itu,  perlu adanya edukasi yang lebih intensif bahwa untuk melihat kecukupan nutrisi tidak cukup asal kenyang, apabila mau mengoptimalkan potensi produksinya,  perlu dan harus memperhatikan faktor-faktor seperti berat badan, produksi susu yang dihasilkan atau diinginkan, dan periode laktasi.

Peranan koperasi primer susu dalam menyediakan pakan yang berkualitas dan terjangkau sangat vital, terutama untuk pakan konsentrat. Tetapi tak jarang juga ada beberapa koperasi primer menjadikan unit pakan sebagai unit bisnis, bukan sebagai unit layanan pendukung untuk meningkatkan kualitas susu dan produksi susu, sehingga konsentrat yang dihasilkan banyak mengecewakan anggota, diterima oleh peternak karena memang tidak ada pilihan lain. Konsentrat yang baik harusnya mempunyai daya ungkit terhadap susu sekurang-kurangnya 2 liter susu per setiap kiligram pemberian konsentrat, dengan harga konsentrat setengah dari harga susu. Sementara harga konsentrat semakin melambung dan harga susu cenderung stagnan, memaksa petani memainkan jurus-jurus mabuk dalam memberi makan ternaknya. Kehadiran jerami padi, ampas tahu, dan sisa sisa industri makanan dan makanan yang kedaluwarsa adalah bukti dari jurus mabuk tersebut.

Jerami padi dan ampas tahu sepintas lalu adalah pakan yang murah, tetapi sebenarnya pakan yang mahal, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi satu liter susu apabila menggunakan jerami atau ampas tahu sebesar Rp 2.500,00 dan Rp 2.933,00, sedangkan daya ungkitnya sekitar 0,2  dan 0,3 liter susu per kilogram as feed pemberian pakan tersebut.  Seandainya saja koperasi mengusahakan produksi konsentatnya dengan protein 18% dan harga Rp 2.600,00, maka konsentrat tersebut mempunyai daya ungkit produksi susu sekitar 2 liter, dengan biaya per liter susunya sekitar Rp 1.350,00.  Pengenalan dan penanaman jenis pakan yang lebih mudah didapat seperti kalindra, gamal, lamtoro, ataupun Indigofera membantu meningkatkan produksi susu, daya ungkit pakan-pakan tersebut sekitar 0,5 – 0,6 liter per kg pemberian as feed, dengan biaya produksi susu kurang dari Rp 900,00 per liter susunya.  Dari reoroeintasi pemberian pakan dapat terlihat adanya peningkatan produksi susu dan penuruan biaya produksi yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan peternak.

Ketika pakan yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan ternak, secara otomatis cadangan makanan yang ada dalam tubuh dikorbankan untuk dikonversi menjadi susu, sebagai respon atas insting hewan, bahwa kebutuhan susu anak lebih penting. Akhirnya kondisi tubuh ternak menjadi rusak, dan nilai kondisi tubuh (NKT) menjadi kecil. Hal ini berdampak terhadap sistem hormal, terutama sistem hormon reproduksi.  Tanda-tanda birahi tidak berekpresi dengan baik, dan atau tidak teratur sehingga sulit untuk diamati. Layanan inseminasi buatan menjadi tidak tepat, dan akhirnya angka service per conception menjadi tinggi, dan akhirnya jarak beranak (calving interval)  menjadi sangat panjang.

Pada jarak beranak yang panjang, padahal sapi sedang berada berada pada periode akhir laktasi dimana produksi susu yang dihasilkan makin sedikit. Kondisi ini membuat peternak frustasi, penghasilan dari penjualan susu  tidak sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan, dan membuat keingginan untuk menjual sapi sangat kuat. Sapi akan dijual ke bandar sebagai sapi potongan dengan harga yang murah. Untuk membeli sapi baru uangnya tidak cukup.  Akibat dari ini semuanya berujung pada pengurangan populasi dan pemotongan betina produktif. Pada akhirnya menjaga atau memperbaiki kondisi tubuh agar pada kondisi ideal menjadi sangat penting untuk kesinambungan pendapatan peternak.

Setelah permasalahan pakan yang menyebabkan kehilangan potensi produksi susu dan pendapatan peternak, selanjutnya yang mengancam adalah radang ambing (mastitis).  Pengalaman dalam mendampingi peternak, akibat dari masitis ini dapat menurunkan produksi susu mencapai 25%, walaupun itu masih mastitis subklinis. Dapat dibayangkan potensi hilangnya pendapatan petani akibat infeksi radang ambing ini.  

Prevalensi terjadinya mastitis sangat besar di peternakan sapi perah rakyat, dan susah untuk dihindari karena belum diterapkannya sistem pemeliharaan ternak yang baik. Kita dapat melihat ternak tidur dengan kotorannya, lantai kandang yang kotor dan lembab, dan penyimpanan buangan kotoran ternak yang mungkin hanya pindah satu meter dari tempat tidurnya.  Kondisi ini sangat mendukung pertumbuhan bakteri penyebab mastitis tumbuh dan berkembang untuk menginfeski ambing.  Hasil penelitian Insentif strategi nasional menunjukkan bahwa kejadian mastitis itu lebih banyak disebabkan oleh infeksi bakteri lingkungan dibandingkan dengan bakteri kontagonius (Novadilla Yanthi, dkk., 2016).  Selanjutnya hal ini diperparah oleh deteksi mastitis sejak dini yang sangat jarang dilakukan di tingkat peternak, apakah itu karena kekurangan alat pendeteksi, kemalasan, ataupun ketidaktahuan.

Untuk pengobatan mastitis pun peternak seperti menghadapi simalakama. Diobati kehilangan pendapatan, tidak diobati ambing akan rusak. Kadang peternak lebih memilih tidak kehilangan penerimaan dengan menggunakan pengobatan tradisional yang berkearifan lokal, walau kadang proses kesembuhannya masih harap-harap cemas. Untuk pengobatan mastitis subklinis hampir dipastikan tidak pernah dilakukan, dan penggunaan antibiotik pasti akan membuat susu ditolak dan kehilangan pendapatan.  Dampaknya terjadi kehilangan pendapatan yang tidak disadari dalam waktu yang panjang dan pada sapi diakhiri dengan terjadinya kerusakan dan difungsi ambing.

Hilangnya potensi produksi susu¸ menurunnya pendapatan, dan rusaknya ambing harusnya bisa dihindari sedini mungkin. Setidaknya perlu dilakukan langkah langkah melakukan deteksi mastitis secara rutin, melakukan isolasi dan pengobatan yang benar, memberikan konpensasi terhadap susu yang dibuang akiabat perlakuan pengobatan, dan jangan bosan bosan mengedukasi tentang sistem pemeliharaan ternak yang baik. Untuk waktu yang lebih panjang harusnya sudah dapat ditemukan metode pengobatan mastitis yang terbukti efektif dan terkuantifikasi dengan menggunakan metode kearifan lokal non antibiotik, karena ini bukan sesuatu yang mustahil dan tidak mungkin.

Setelah melihat hal yang berhubungan dengan produksi susu, selanjutnya untuk meningkatkan pendapatan petani harus memperhatikan harga jual susu. Maka tidak ada pilihan lain bahwa yang harus dilakukan peternak adalah menghasilkan susu yang standar, supaya susunya dapat diterima (dibeli). Setelah itu, untuk memperoleh harga lebih baik harus menghasilkan susu yang lebih berkualitas, karena susu yang berkualitas mendapat penghargaan yang lebih mahal dibandingkan susu yang standar saja, baik itu kualitas nutrien maupun kualitas minimal cemaran.

Kualitas nutrient susu dominan dipengaruhi oleh faktor genetik dan kualitas pakan yang diberikan.  Tetapi karena sapi perah yang dipelihara hampir semua keturunan dari freis holland (FH) maka faktor pakan memegang kunci yang dominan dalam menentukan kualitas susu. Akhirnya jumlah dan kualitas asupan pakan yang diberikan akan sangat berperan banyak terhadap komposisi nutrient susu yang dihasilkan. Selanjutnya untuk jumlah cemaran sangat ditentukan oleh manajemen pemeliharaan ternak yang baik., apakah itu cemaran mikroorganisme, cemaram logam berat, ataupun jumlah sel somatik yang terkandung.

Kapan peternak mendapat harga susu yang mahal? Pada saat susu yang dihasilkan pas-pasan kualitasnya, tawaran harga lebih mahal sedikit dari pembelian koperasi primer biasanya ditawarkan oleh para pengumpul susu, tetapi untuk kualitas susu yang lebih bagus biasanya harga dari koperasi primer lebih kompetitif.  Maka dari itu para pengumpul susu akan lebih berjamur pada daerah yang menghasilkan susu dengan kualitas pas-pasan, karena kurangnya edukasi dan advokasi dari koperasi primer susu terhadap anggotanya. Tetapi pada koperasi primer yang berhasil mengedukasi dan mengadvokasi anggotanya sehingga menghasilkan susu berkualitas, para pengumpul susu tidak dapat masuk melakukan penetrasi pada peternak di wilayah kerja koperasi tersebut.

Peternak mendapat harga yang tinggi ternyata bukan diberikan oleh pengumpul susu maupun koperasi primer, tetapi oleh konsumen yang membeli langsung kepada peternak. Penjualan langsung ini sangat nyata memberikan peningkatan pendapatan yang lebih besar dari penjualan susu, tapi sayang jumlahnya tidak banyak dan tidak pada semua peternak. Kejadiannya bisa digolongkan insidental saja. Secara keseluruhan tidak akan bisa mengungkit pendapatan peternak sapi perah secara umum. Selanjutnya, susu menjadi mahal ketika diubah menjadi produk pangan sederhana, seperti es susu, permen susu, susu pasteurisasi, dan susu fermentasi.  Akan tetapi yang melakukan itu bukan peternak, mereka adalah konsumen yang melakukan pembelian susu segar secara langsung ke peternak. Kalaupun ada itu jumlahnya sangat kecil, dan tidak bisa diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan peternak secara keseluruhan.

Jadi sebenarnya kita tidak bisa mendorong peternak peternak kecil untuk mengolah langsung susu yang dihasilkan menjadi produk pangan yang siap pasar atau dikonsumsi langsung oleh konsumen. Karena sumberdaya yang ada sudah habis tercurah untuk mengelola peternakannya.  Belum lagi nantinya akan dihadapkan pada standarisasi produk yang dihasilkan, peningkatan kapasitas produksi, dan teknologi pengembangan produk lainnya yang lebih mempunyai nilai ekonomi, menarik, dan disukai pasar.

Pada akhirnya tetaplah koperasi primer yang harus membeli susu segar peternak dengan harga yang lebih besar. Kita harus memberikan peranan yang lebih besar pada koperasi persusuan dengan mendorongnya menjadi industri pengolah susu (IPS) secara langsung, karena margin terbesarnya ada pada proses pengolahan dan distribusi pemasaran.  Sulit rasanya koperasi memberikan harga yang lebih besar lagi kepada peternak kalau hanya mengandalkan margin harga dari IPS dan efiseinsi dari proses transportasi dan pendinginan susu segar.

Harapannya dalam lima atau sepuluh tahun kedepan kita mempunyai koperasi yang mempunyai industri pengolahan susu yang terintegrasi, seperti koperasi-koperasi susu  di luar negeri.  Ini bukan hanya sekedar haparan kosong, karena fakta yang ada menunjukkan bahwa industri pengolahan susu memainkan peranan dalam konsumsi susu masyarakat Indonesia, karena mayoritas masyarakat adalah pengkonsumsi susu dalam bentuk susu olahan, seperti dalam bentuk susu bubuk, susu kental manis, maupun susu cair. Belum lagi konsumsi produk olahan yang tidak ada lagi embel-embel susunya, seperti keju dan mentega. 

Sebagai penutup, konsumsi susu nasional susu akan terus meningkat dan tidak mungkin makin berkurang.  Tetapi jumlah peternak sapi perah ada kemungkinan mengalami penurunan, apabila usaha yang dilakukan tidak lagi berdaya saing dan menyejahterakan kehidupannya.  Masuk dalam jebakan impor pangan susu harus dapat dihindari,  karena akan terjadi pelarian devisa negara yang terus menerus, dan dalam waktu panjang membuat bangsa ini ketergantungan dan tidak mempunyai kemandirian.  Marilah kita sejahterakan peternak sapi perah dengan meningkatkan produkivitas sapi perahnya dan kualitas susu yang dihasilkan.  Selanjutnya dorong koperasi untuk menjadi industri pengolah susu agar dapat memberikan harga susu yang lebih kompetitif. Semoga! SEKJEN PB ISPI