Menyikapi beredarnya berita tentang : Telur tetas (HE) vs Telur Konsumsi (TK)

PENCERAHAN UNTUK KITA SEMUA SARJANA PETERNAKAN

Berikut beberapa uraian dari Dewan Pertimbangan Organisasi PB ISPI dan Sekaligus Ketua GPPU

Menyikapi beredarnya berita tentang :  Telur tetas (HE) vs Telur Konsumsi (TK)  

1. HE, adalah telur yg telah dibuahi ayam jantan, sedagkan TK adalah telur yg tidak dibuahi.
Ke-duanya ada germ, yaitui titik pada permukaan kuning telur.

Pada HE,  ada ring yg mengitari germ tersebut sebagai calon embryo yang mengalami pembelahan dalam saluran prod telur dan berhenti saat telur di keluarkan.

2. Germ ber-ring pada HE tersebut akan membelah pada suhu / temperature yg sesuai (temperatur pengeraman) dan  akan mulai membesar germ tersebut pada hari ke 4 – 5 hari.
 
Kondisi yang sama pada telur ayam kampung dan telur itik yang dibuahi oleh pejantannya dan yang selama ini juga dikonsumsi oleh masyarakat. 

3. Tidak/belum ada bukti bahwa HE tersebut mempengaruhi sifat fisik/kimia telur ketika dikonsumsi.

4. Selama kedua telur (baik HE maupun TK) di-produksi dari ayam yang sehat maka kedua telur tersebut AMAN untuk dikonsumsi dan tidak akan memberikan efek buruk ketika dikonsumsi.

5. Perbedaan sifat fisik pada kedua jenis telur tersebut, seperti warna dan atau tebal tipisnya kerabang  , disebabkan perbedaan bangsa/strain ayam, umur ayam, serta dari kandungan MT n suhu lingkungannya. 

6. Disebutkan bahwa TK banyak kandungan omega3?

Pernyataan tsb tidak benar. Kandungan omega-3 pada telur yang diproduksi di bbrpa peternak, diperoleh atau  tergantung dari kandungan pakannya

7. HE banyak bacteria dan salmonella? 

Tidak benar dan menyesatkan, perlu diketahui bahwa semua breeders sangat menjaga kesehatan ayam melaui biosecurity dan  management pemeliharaan yg ketat, VAKSINASI  terjadwal, serta pengujian laboratorium secara rutin (harus bebas salmonella pullorum, bebas AI, good breeding practice dan lain lain, sesuai ketentuan dan diawasi  ketat oleh pemerintah)

8. HE masa simpan lbh pendek?

Perlu diketahui, Baik HE maupun TK semua tergantung dari lama penyimpanan, suhu ruangan dan kualitas dari telur yg berkaitan dgn kesehatan ayamnya.

Memang sebaiknya semua telur dapat diproses secepat mungkin sehingg tidak terlalu lama dalam penyimpanan.

Dari penjelasan tersebbu dapat disimpulkan, bahwa  HE adalah telur yang AMAN dan BAIK untuk di konsumsi seperti halnya TK

Rekan2 semua, ….

Sejak terjadi pandemi Covid-19 semua sektor usaha kena imbas, tak terkecuali sektor peternakan, dan khususnya sub sektor perunggasan. 

Ada dua hal yang menyertai imbas tersebut, yaitu faktor menurunnya daya beli serta over supplynya  produksi.

Menurunnya daya beli masyarakat serta over supply produksi ayam maupun telur mau tidak mau harus disiasati supaya bisa survive.  
Beberapa langkah yang dilakukan breeders unggas a.l afkir dini parent stock dan cutting setting telur tertunas (HE) yang sekarang ini jumlahnya (kmungkinan bisa) hampir 40an% dari total produksi HE perusahaan pembibitan. 

Lantas harus dikemanakan telur-telur HE yang tidak masuk mesin hatchery itu? 
Dalam kondisi krisis berjamaah imbas Covid-19, alternatifnya telur HE akan diedarkan/dipasarkan ke masyarakat. 

Namun, langkah alternatif yang juga waktunya hanya sementara, tidak berjalan mulus. 
Ada dua kendala eksternal yang harus dihadapi di perlu diluruskan. 

Pertama adanya resistensi dari pelaku peternakan ayam petelur. 
Kedua, adanya regulasi yang melarang mengedarkan HE.

Salah satu klausul dalam Permentan 32 tahun 2017 disebutkan HE dilarang diedarkan dalam pengertian diperjualbelikan, tetapi bukan dilarang dikonsumsi. Dengan demikian memperkuat kenyataan bahwa HE adalah telur yang aman dikonsumsi.  

Beberapa pakar, seperti Prof. Wihandoyo (UGM), Dr. Denny W. Lukman (pakar kesmavet IPB), Dr  Syahrir, Dr. Heru S (lab unggas UGM) dan beberapa  akademisi serta praktisi, telah memberikan info maupun tulisan yang  menbenarkan fakta tersebut diatas.

Bahkan, ada mitos yang cukup kuat  di masyarakat, bahwa   telur yg dibuahi, kandungan nutrisinya lebih tinggi dibanding telur yg tidak dibuahi.  

Selain itu, ada hasil penelitian yang menyebutkan perubahan protein putih telur.  
(Dapat dibaca pada dua lampiran dibawah ini).

Banyak pihak yang bertanya-tanya, apa alasan pemerintah melarang peredaran secara komersial telur tertunas ?, sebagaimana yang tertuang dalam  Permentan tersebut di atas. 

Untuk sementara, KAMI jawab : sampai saat ini tidak tahu .. karena masih perlu kajian hukum yang lebih komprehensif tentang kekuatan atau landasan hukum yang menyertai Permentan 32/2017.

Isu lain yang beredar, yaitu adanya HE  yang beredar mengganggu harga TK. 

Mengganggu harga? Apa dasar perhitungannya? 
Mari coba kita bersama-sama berhitung : … 

1. Dlm satu siklus pemeliharaan ayam Parent Stock (PS), produksi telur selama 42 minggu. 
Artinya, selama masa  produksi per ekor menghasilkan 180an butir HE dan dari jumlah tersebut sekitar delapan butir tidak layak ditetaskan karena berbagai ketentuan breeding, misalnya ukuran, bentuk dan lain-lain agar tidak mengganggu kualitas DOC serta efisiensi di tingkat pembudidaya FS.

2. Dari total produksi PS secara nasional yang sekitar 30 juta ekor,  sehingga telur tidak layak tetasnya  sekitar 43 ton per hari atau sekitar 0.3% dibanding produksi TK per hari. 

3. Sejak awal April 2020, pemerintah tidak lagi menentukan jumlah cutting HE umur 19 hari. Padahal di sisi lain masalah over supply DOC belum terselesaikan sehingga  breeders cenderung mengambil langkah alternatif tidak setting HE nya atau setting by order sesuai anjuran pemerintah 

4. Dari kondisi di atas, misalnya perhitungan yang ekstrim sekalipun, Anggap saja,  telur yang tidak di setting 40% maka sekitar 286 ton produksi HE perhari yg tidak disetting atau sekitar 2% dari produksi TK. 
Apakah yang 2% berpengaruh pada yang 98%? … monggo.

5. Seperti pada kebiasaan pada masa-masa sebelumnya,  7-10 hari sebelum puasa (untuk tahun ini sekitar tgl 13 – 24 april ),  permintaan naik dan setelah masuk bulan puasa sampai minggu ke dua permintaan menurun. 

Mari kita saling cross check kondisi masing-masing saat sebelum puasa (dimana saat itu tinggi2nya jumlah HE yg tidak tersetting) dan masuk 2 minggu ptama puasa.

Memang, kondisi tragedi pandemi covid19 ini membuyarkan perencanaan / planning yang telah dibuat, dan bisa menjadi catatan untuk kita semua.

Dutulis ulang atas penjelasan Ketua GPPU Ir. Achmad Dawami