Seonggok Cetak Biru Persusuan

Oleh : Teguh Boediyana (Ketua Umum Komite Pendayagunaan Pertanian & Ketua Dewan Persusuan Nasional)

            Peringatan hari Susu Nusantara ( HSN)  yang ke 12 tanggal 1 Juni 2021 telah berlalu. Seremoni HSN diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.  Keterlibatan Kemenko Perekonomian dalam peringatan HSN tersebut dapat kita baca sebagai bentuk komitmen dan atensi  lembaga Kemenko  Perekonomian  dalam pengembangan persusuan umumnya dan pengembangan peternakan sapi perah khususnya. 

            Bentuk komitmen Kemenko Bidang Perekonomian dalam pengembangan persusuan  di tanah air sebenarnya bukan saja dalam pelaksanaan atau penyelenggaraan HSN, tetapi juga tercermin  pula karena   di tahun 2013 Kemenko Perekonomian telah menerbitkan  Cetak Biru Persusuan Indonesia 2012-2025 dengan maksud sebagai dasar koordinasi penyusunan kebijakan nasional di bidang persusuan  oleh Kemenko bidang Perekonomian dan sebagai dokumen kerja  yang menjadi acuan dalam pengembangan persusuan nasional. Secara garis besar dalam Cetak Biru Persusuan Indonesia disebutkan bahwa tahapan Cetak Biru Persusuan 2013 -2025 dirumuskan dalam 3 fase  yakni : Fase persiapan dan pemantapan ( 2015 ), Fase Pengembangan Persusuan  Nasional Maju ( 2020 ) , dan Fase Persusuan Nasional Tangguh dan Berdaulat ( 2025 ).

            Entah apa yang menjadi pertimbangan  Kemenko Bidang Perekonomian,  Cetak Biru Persusuan Indonesia 2012 – 2025 direvisi menjadi Cetak Biru 2013 – 2025. Tidak kurang tiga orang Guru Besar Fakultas Peternakan dari 3 Universitas ditugasi untuk menyusun  Cetak Biru ini. Setelah direvisi jumlah halaman  Cetak Biru Persusuan Indonesia menyurut dari 94 halaman menjadi  65 halaman.  Dalam revisi Cetak Biru ini  ada poin yang penting yakni  indikator keberhasilan  di tahun 2025 antara lain :  terpenuhi kebutuhan susu untuk konsumsi dari dalam negeri mencapai 60 persen,  produktivitas sapi perah  20 liter/hari, konsumsi susu meningkat menjadi 30 liter/kapita/tahun,  populasi sapi perah menjadi 1,8 juta ekor, peningkatan populasi betina laktasi menjadi 50 % populasi betina produktif.

            Saat ini  Cetak Biru sudah memasuki  tiga perempat jalan.  Kondisi saat ini  produksi susu dalam negeri masih di bawah 20 persen untuk memenuhi konsumsi nasional.   Produktivitas sapi perah belum bergeser dan masih sekitar  12 liter per ekor per hari atau  3600 liter/laktasi. Populasi ? Data  BPS populasi sapi perah di tahun  2019 adalah   565.001 ekor.  Itu pun termasuk sapi perah jantan yang notabene adalah masuk katagori sapi potong dan tidak menghasilkan susu. Sedangkan produksi susu segar di tahun 2019 adalah 912.375 Ton dan konsumsi susu per kapita di tahun 2019 masih 16,23 liter.  Rasanya sangat berat  dalam waktu 4 tahun dapat mencapai target yang ditetapkan dalam Cetak Biru Persusuan Indonesia 2013 – 2025 yang disusun oleh Kementerian  Koordinator Bidang Perekonomian.

Cetak Biru Lain

Ternyata bahwa Cetak Biru Persusuan Indonesia bukan hanya disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Pada tahun 2010 , Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan juga menyusun  Blue Print  Persusuan Nasional. Hanya saja tampaknya membatasi diri hanya sampai tahun 2014 yang merupakan tahun  terakhir untuk kabinet  Indonesia Bersatu pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.  Secara keseluruhan isi Blue Print Persusuan Nasional standard dan normative sepeti halnya Cetak Biru  yang disusun oleh  Kemenko Bidang perekonomian.  Beberapa target yang ditetapkan dalam Blue Print  Persusuan Nasional yang disusun oleh Ditjen Peternakan dan PKH antara lain di tahun 2014 :  konsumsi susu 15 liter/kapita/tahun, produksi susu segar dalam negeri memenuhi  40 persen kebutuhan nasional,  populasi sapi perah 613.554 ekor,  produksi susu segar menjadi 1.297.034 Ton.

            Bagaimana kondisi di tahun 2014 ? Menurut BPS , populasi sapi perah di tahun 2014 adalah 502.516 ekor   ekor dan produksi susu segar 800.719 Ton   atau sekitar 20 persen dari kebutuhan susu nasional . Dengan perkataan lain  apa yang dirancang dalam Blue Print Persusuan Nasional  tersebut diatas tidak tercapai samasekali.

            Masih dalam konteks  Blue Print atau Cetak Biru Persusuan.  Apakah sebelum tahun 2010 ada Blue Print atau Cetak Biru Persusuan ? Jawabnya : ada.  Pada tahun 2007 Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian  dan  Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor bekerja sama menyusun Blue Print Pengembangan  Agribisnis Persusuan 2007 – 2020. Tidak tanggung tanggung. Untuk menyusun Blue Print ditangani 21 orang tenaga pengajar dari IPB dan dari Ditjen Peternakan.  Dalam Cetak Biru ini disebutkan bahwa indikator utama keberhasilan di tahun 2020 adalah :  konsumsi susu 18,25 liter/kapita/tahun, populasi sapi 1,819 juta, produksi susu 4,015 Juta liter.

            Bagaimana kondisi tahun 2020 dalam agribisnis sapi perah ?  Populasi sapi perah  berdasar data  BPS adalah  565.001 ekor. dan produksi susu segar  912.735 Ton.  Sangat jauh dari indikator keberhasilan dengan kondisi riil saat ini.  

Secara umum Blue Print  Persusuan Persusuan  tahun 2007 – 2020 yang disusun Tim dari IPB sangat  bagus karena disusun pula roadmap pada 7 aspek yang terkait dengan agribisnis persusuan.  Tampaknya setelah Blue Print  Agribisnis Persusuan  2007 -2020 selesai  tidak dijadikan acuan oleh pihak Ditjen Peternakan dan PKH dan hanya disimpan dalam lemari. Seharusnya  ada realisasi termasuk dukungan dana APBN.

            Masih ada lagi. Pusdatin Sekretariat Jenderal Kementerian Pertanian juga menerbitkan Outlook  Susu Sapi 2019 – 2023 yang  bagi orang awam sulit mengerti.

Tanpa Cetak Biru

            Menurut Penulis tahun 1978 adalah tahun tonggak  pengembangan peternak sapi perah di tanah air. Pada tahun 1978 dan tanpa adanya Cetak Biru, Mayor Jenderal Bustanil Arifin SH dalam kapasitas sebagai Menteri Muda Urusan Koperasi dan merangkap sebagai Kepala Bulog melakukan keberanian politik. Beliau  “ memaksa “ Industri Pengolahan Susu ( IPS ) yang waktu itu hanya 6  buah untuk menyerap susu segar dari peternak melalui wadah koperasi. Bukan hanya wajib menyerap, tetapi IPS juga harus  membayar harga susu segar Rp. 150,- per liter. Sebelumnya beberapa IPS menyerap susu segar hanya sebagai basa basi  dalam arti jumlah yang sangat kecil dengan harga Rp. 60,- per liter. 

Efek kebijakan ini ternyata luar biasa. Peternak sapi perah di Boyolali yang sebelumnya menggunakan susu segar hanya untuk membesarkan pedet segera berbenah diri. Juga peternak sapi perah  di Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Timur.  Iklim usaha yang kondusif mampu merangsang peternak sapi perah yang ada untuk memperbaiki usaha peternakannya.   Kebijakan wajib serap susu segar oleh IPS  yang  diambil Pemerintah dilanjut dengan penyediaan kredit yang murah dengan skim Pola  72 Kop dan dijamin melalui Lembaga Jaminan Kredit Koperasi. Ketentuan wajib serap diperkuat dengan  Keputusan Bersama Menteri Perindustrian, Menteri Pertanian, dan Menteri Perdagangan & Koperasi. Dalam SKB tersebut tertuang antara lain ketentuan tentang rasio antara penyerapan susu segar dan ijin impor.  Selanjutnya pengembangan peternakan sapi perah diperkuat dengan terbitnya Instruksi Presiden No. 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan  dan Pengembangan Persusuan Nasional.

Langkah ke Depan

            Kita tidak menafikan pentingnya Cetak Biru atau Blue Print dalam pengembangan persusuan di tanah air. Namun demikian apabila Cetak Biru disusun atau dibuat tidak direalisasikan secara serius dan hanya sekedar untuk menyerap APBN, maka Cetak Biru tersebut  hanya menjadi seonggok dokumen Negara. Saat ini peternakan sapi perah rakyat dalam kondisi “lampu merah “ dan sangat jauh seperti yang ditargetkan dalam  Cetak Biru  yang jumlahnya sangat banyak tersebut.

            Belajar dari yang dilakukan oleh Mayjen Bustanil Arifin  S.H di tahun 1978, sebenarnya Pemerintah harusnya dapat melakukan keberanian politik. Langkah pertama adalah terbitkan  peraturan perundangan selevel Inpres atau Keppres untuk mempercepat pengembangan persusuan. Kedua, laksanakan program susu untuk anak sekolah berbasis susu segar. Selain  meningkatkan kualitas sumberdaya manusia Indonesia, program ini juga dapat meningkatkan imunitas tubuh terhadap Covid 19, dan juga mengatasi stunting.. Ketiga, memberikan subsidi atas sapi perah impor dalam rangka mempercepat  peningkatan populasi sapi perah. Keempat, pembenahan lembaga Koperasi  agar dapat berfungsi dengan baik, efisien, dan akuntabel.

            Pemerintah harus menyadari bahwa susu segar adalah “ emas putih “ yang selama ini diabaikan. Membangun peternakan sapi perah akan memberikan dampak ekonomi yang sangat besar. Untuk mempercepat pengembangan, Pemerintah dapat menugaskan Holding BUMN Pangan bekerja sama dengan peternak sapi perah rakyat.

 Jakarta,  6   Juni 2021

Artikel sebelumnya telah dimuat di Harian Ekonomi Neraca

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *