Opini Pakar – PB ISPI https://pb-ispi.org Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Thu, 18 Jan 2024 01:50:56 +0000 id hourly 1 https://wordpress.org/?v=6.4.5 https://pb-ispi.org/wp-content/uploads/2020/06/logo-ispi_icon1-150x150.png Opini Pakar – PB ISPI https://pb-ispi.org 32 32 195813402 Sapi Lebaho Ulaq – Versi Cansas https://pb-ispi.org/sapi-lebaho-ulaq-versi-cansas/ https://pb-ispi.org/sapi-lebaho-ulaq-versi-cansas/#respond Sun, 14 Jan 2024 08:10:52 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2773 Seorang pengusaha sedang mengembangkan bisnis sapi potong di Kalimantan Timur, khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Muara Kaman, Desa Lebaho Ulaq. Investasi ini merupakan Penanaman Modal Asing (PMA) dari Amerika Tengah (Cansas).

Marcus, nama panggilan peternak tersebut, memiliki minat beternak sejak kecil, menjadi modal utama bagi pengembangan usaha sapi potong di daerah terpencil Kalimantan Timur. Nama sebenarnya adalah Marcus Levi Schmucker. Keunikan nama panggilan ini memudahkan komunikasi dengan karyawan, yang sebagian besar adalah orang pribumi atau masyarakat Kutai di sekitar lokasi usaha.

Sapi potong memiliki potensi besar di Kalimantan Timur, yang selama ini mendapatkan pasokan dari luar daerah, termasuk Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat. Marcus melihat ini sebagai peluang bisnis yang sangat baik. Rencana besar dari PT. Usaha Bijak Borneo (nama perusahaan saat ini) adalah memenuhi kebutuhan daging di Kutai Kartanegara dan Kalimantan Timur terlebih dahulu, dengan mengembangkan sekitar 1000 ekor sapi.

Usaha pembiakan sapi potong jenis Sapi Bali sedang dikembangkan dengan menggunakan model pastura dan pindah-pindah lokasi menggunakan kandang pagar listrik. Niat Marcus didukung oleh keluarganya yang pindah ke Indonesia, termasuk Miss Angie dan enam putra putrinya: Alice, Cassie, Louis, George, Annie, dan Lucy.

Lahan yang digunakan awalnya milik Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara, yang sebelumnya dikelola oleh UPTD Sapi Bali. Lahan seluas 276 ha telah disepakati untuk dimanfaatkan oleh PT. Usaha Bijak Borneo sebesar 70 ha melalui MoU. Meskipun ada keleluasaan dalam pemanfaatan seluruh lahan, perusahaan mempertimbangkan kapasitasnya dan membuat perjanjian selama 3 tahun dengan fleksibilitas untuk memperluasnya di masa mendatang.

Ketika memulai usaha, lahan belum siap menjadi padang penggembalaan. Persiapan lahan untuk digunakan memerlukan upaya dan biaya yang cukup besar. Pengembangan usaha sapi potong dimulai sekitar 1,5 tahun yang lalu, hanya beberapa saat sebelum Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) menyebar di Indonesia. Proyek ini langsung terpukul oleh PMK, menyebabkan kematian banyak sapi. Ayah dari Alice, Marcus, mengalami kebangkrutan karena sapi yang dibeli dari Provinsi NTB tertular PMK.

Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Kabupaten Kutai turun tangan melakukan vaksinasi PMK dan Lumpy Skin Diseases (LSD). Upaya lain dilakukan dengan tidak menggunakan lahan sebelumnya dan menunda pemeliharaan ternak untuk sementara waktu. Meski biosekuritas ketat belum diterapkan, lokasi dianggap terbuka.

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, keluarga ini berbelanja di pasar tradisional terdekat, yaitu pasar Lebaho Laq. Lokasi yang cukup jauh dari kota membuat mereka hanya berbelanja ke Samarinda atau Balikpapan pada waktu tertentu.

Pengalaman traumatis dengan PMK membuat Marcus ragu-ragu untuk memulai kembali. Namun, pada akhir November 2023, mereka mulai memasukkan kembali indukan sapi setelah kondisi lebih stabil. Sebelum menikah, Marcus sudah memiliki lahan yang cocok untuk berbagai ternak, tetapi sempit dan terbatas oleh hujan.

Informasi tentang Kalimantan Timur diperoleh dari teman, dan bersama manajer hubungan kerja sama, Martin, mereka sangat menyukai kondisi di sana. Selain mengembangkan pembiakan sapi potong, Marcus juga bermimpi untuk mengembangkan sapi potong jenis Angus yang tahan terhadap kondisi tropis. Meskipun jenis sapi ini masih baru, Marcus berharap mendapatkan kemudahan dalam impor bibitnya. Kendala besar saat ini adalah perizinan usaha yang dianggap rumit, terutama terkait status dan fungsi lahan. Meskipun lahan yang digunakan adalah milik pemerintah, kendala muncul ketika mengurus izin di dinas pertanahan karena status lahan yang disebutkan saat ini dimiliki oleh perusahaan lain. Ahas, bagian legal perusahaan, berharap mendapatkan bantuan fasilitas dalam proses perizinan PMA, sehingga PT. Bijak Borneo dapat menjalankan usahanya dengan lebih tenang. (is)

*Artikel telah diterbitkan pada Majalah Fokus Hilir (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan), ditulis oleh Idha Susanti, S.Pt, M.M (Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)

]]>
https://pb-ispi.org/sapi-lebaho-ulaq-versi-cansas/feed/ 0 2773
Business Matching Pengembangan Sapi Perah oleh Berdikari di Jombang https://pb-ispi.org/business-matching-pengembangan-sapi-perah-oleh-berdikari-di-jombang/ https://pb-ispi.org/business-matching-pengembangan-sapi-perah-oleh-berdikari-di-jombang/#respond Sun, 14 Jan 2024 08:00:15 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2770 PT Berdikari dan Baladna berkolaborasi untuk mengembangkan peternakan sapi perah di Kecamatan Wonosalam, Jombang, Jawa Timur, dengan kapasitas 10.000 ekor. Tujuan proyek ini adalah untuk memenuhi kebutuhan susu, yang saat ini sebagian besar diimpor sebanyak 80% setiap tahunnya.

Kendala utama yang dihadapi investor peternakan adalah ketersediaan lahan yang jelas, bersih, dan aman untuk kegiatan usaha. Investor Baladna, yang berencana mengembangkan 10.000 ekor sapi perah, juga mengalami tantangan serupa. Dengan jumlah tersebut, diharapkan dapat menghasilkan susu segar sebanyak 100 juta liter per tahun.

PT Baladna tertarik memasuki bisnis sapi perah di Indonesia mengingat potensi pasar susu yang tinggi di negara ini. Meskipun perusahaan ini sudah sukses dalam bisnis sapi perah di Qatar dan Malaysia, proyek di Indonesia melibatkan joint venture dengan PT Berdikari. Meski penandatanganan kesepakatan telah dilakukan pada tahun 2021, hingga tahun 2023 belum ditemukan lokasi lahan yang sesuai dengan harapan perusahaan.

Sejumlah lokasi di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, hingga Lampung telah diidentifikasi dan disurvei, namun belum memenuhi kriteria yang diinginkan, terutama luas lahan 1000 ha dalam satu hamparan dengan infrastruktur yang memadai. Pemerintah berupaya mendukung investasi dengan melakukan business matching untuk menemukan solusi atas kendala yang dihadapi investor dan pemilik lahan.

Pada tanggal 16 November 2023, mediasi business matching dilakukan dalam pameran investasi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Pertemuan ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Jombang, Pemda Jombang, DPMPTSP Kabupaten Jombang, Dinas Pariwisata Kabupaten Jombang, dan perwakilan dari PT Baladna dan PT Berdikari.

Dalam pertemuan tersebut, investor menyampaikan keinginan untuk lahan seluas 500 ha dalam satu hamparan dan 500 ha dalam satu kawasan. Pihak Dinas Peternakan Kabupaten Jombang menyampaikan bahwa calon lokasi sesuai dengan permintaan, yaitu 500 ha dalam satu hamparan, namun perlu klarifikasi terkait status lahan tersebut.

Meski demikian, langkah-langkah berikutnya sedang diambil, termasuk kunjungan lapangan PT Berdikari untuk memastikan kejelasan dan kebersihan lahan. Pemerintah berharap bahwa dengan investasi ini, produksi susu segar dalam negeri dapat meningkat, mengurangi ketergantungan pada impor yang saat ini mencapai 80% dari kebutuhan. (is)

*Artikel telah diterbitkan pada Majalah Fokus Hilir (Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan), ditulis oleh Idha Susanti, S.Pt, M.M (Analis Kebijakan Ahli Madya, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan)

]]>
https://pb-ispi.org/business-matching-pengembangan-sapi-perah-oleh-berdikari-di-jombang/feed/ 0 2770
AGUSTUS 2023 : Deflasi dan Petani Surplus Kecuali Peternakan dan Kesehatan Hewan https://pb-ispi.org/agustus-2023-deflasi-dan-petani-surplus-kecuali-peternakan-dan-kesehatan-hewan/ https://pb-ispi.org/agustus-2023-deflasi-dan-petani-surplus-kecuali-peternakan-dan-kesehatan-hewan/#respond Tue, 05 Sep 2023 01:52:52 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2712
drh M. Chairul Arifin

Bulan Agustus adalah bulan deflasi. BPS telah merilis Berita Resmi Statistik tanggal 1 September 2023 , yang menyebutkan bahwa selama Agustus 2023 (m to m) terjadi deflasi sebesar 0,02 persen sedangkan sebelumnya (Juli 2023) terjadi inflasi 0,21 persen. Secara tahunan inflasi Agustus 2023, sebesar 3,27 persen yang tipis lebih tinggi dibanding Juli 2023 sebesar 3,08 persen namun lebih rendah dibandingkan Agustus 2022 secara tahunan (4, 69 persen).

Penyumbang utama deflasi Agustus 2023 (m to m) adalah kelompok makanan dan minuman dan tembakau dengan andil 0,07 persen dan secara tahunannya kelompok transportasi yang andilnya 1,18 persen. Sedangkan berdasarkan komoditas penyumbang terbesar terjadinya deflasi Agustus 2023 (m to m) adalah daging ayam ras, bawang merah, telur ayam ras, ikan segar, bahan bakar rumah tangga, transportasi angkutan udara dan kacang panjang. Inflasi tahunannya yaitu bensin, beras, rokok kretek filter, tarif kontrak rumah dan tarif angkutan kota.

Nilai Tukar Petani

Ditengah terjadinya deflasi yaitu penurunan harga selama Agustus 2023, pendapatan petani masih surplus. Artinya petani menerima lebih banyak dari yang dibayarkan. Ini ditunjukkan dari nilai Nilai Tukar Petani (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Pertanian ( NTUP) yang positip. Nilai NTP Pertanian Agustus 2023 naik sebesar 1,09 persen yang didapat dari Index Terima nya sebesar 130,99 meningkat 1,08 dan index Bayarnya yang menurun 117,11 (-0, 01 persen) . Komoditas penyumbang naiknya NTP Pertanian adalah gabah, kelapa sawit, cabe rawit dan jagung dan komoditas penyumbang deflasi adalah bawang merah, daging ayam ras, kacang panjang dan telur ayam ras.

Kenaikan tertinggi NTP terjadi di Provinsi Sulawesi Barat sebesar 2,47 persen dan yang mengalami perubahan terdalam kali ini terjadi di provinsi Sumatera Selatan -1,32 persen.

NTUP sebagai koreksi terhadap NTP menunjukkan juga terjadinya kenaikan sebesar 1,03 persen, diperoleh dari kenaikan Index Terima (It) sebesar 130,99 disumbang oleh gabah, kelapa sawit. Peningkatan index Biaya Produksi dan Penambahan Modal ( BPPM) yang besarnya 116,38 disumbang oleh upah pemanenan, benih padi, bibit ayam ras pedaging dan jagung pipilan.

Berdasarkan sub sektor, NTP dan NTUP, Tanaman pangan masing masing naik 1,95 dan 1,83 persen, Hortikultura 0.52 dan 0,50 persen, Perkebunan 0,90 dan 0,89 persen. Catatan khusus untuk Peternakan dan Kesehatan Hewan, merupakan satu-satunya yang menurun yaitu -0,79 dan -0,85 persen

Untuk Perikanan naik NTP dan NTUP nya sebesar 0,16 dan 0,16 persen yang subsektornya Nelayan naik 0,11 dan 0,12 persen serta Pembudidaya Ikan naik 0,24 dan 0,23 persen.

Waspadai Harga Beras

BPS, telah mencatat pula perlunya waspada terhadap harga beras. Selama Agustus 2023 (year on year) beras adalah komoditi penyumbang inflasi tertinggi. Antisipasi semakin menciutnya lahan panen, degradasi dan fragmentasi lahan serta ancaman el Nino menyebabkan makin seretnya pasukan sehingga mendongkrak harganya hingga akhir tahun.

Sepanjang Januari-Agustus 2023, beras mengalami inflasi sebesar 7,99 persen yang lebih tinggi dari inflasi nasional pada periode yang sama yaitu 1,43 persen. 86 kota mengalami inflasi beras.

Menurut Arief Prasetyo Adi Kepala Badan Pangan Nasional (NFA) pembicaraan dengan Vietnam, India dan Kamboja telah dilakukan untuk mengamankan ketersediaan beras Indonesia, katanya seusai Rapat Terbatas tentang inflasi hari Kamis, 31 Agustus 2023. Kewaspadaan terhadap pasokan beras diantisipasi mengingat masing-masing negara mengamankan dirinya dari ancaman el Nino dengan menghentikan ekspor komoditi pangannya.

Stunting dan protein hewani

Disisi lainnya kabar yang menggembirakan yaitu selain beras, keluarga yang memiliki anak tengkes yang berjumlah 1,4 juta, akan mendapatkan daging ayam sebanyak 1 kg dan 10 butir telur untuk setiap bulan pada periode Oktober-Desember 2023.

Berita ini tentu saja menyejukkan bagi peternak ayam karena produknya telah terjamin pasarnya dan berkontribusi penting untuk percepatan penanganan stunting di Indonesia.

Diharapkan hal ini menjadi solusi yang baik bagi peternak ayam rakyat mandiri melalui kegiatan bantuan yang diharapkan lebih adil dan transparan dalam pelaksanaannya.

Depok, 2 September 2023
M. Chairul Arifin

]]>
https://pb-ispi.org/agustus-2023-deflasi-dan-petani-surplus-kecuali-peternakan-dan-kesehatan-hewan/feed/ 0 2712
Peluang Emas Investasi Kambing Dan Domba https://pb-ispi.org/peluang-emas-investasi-kambing-dan-domba/ https://pb-ispi.org/peluang-emas-investasi-kambing-dan-domba/#comments Sat, 25 Mar 2023 15:07:47 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2687 Oleh : Gito Haryanto

(Pengawas Bibit Ternak Ahli Muda, Direktorat Pengolahan dan Pemasaran Hasil Peternakan)

Investasi usaha agribisnis komoditas ternak kambing dan domba (kado) di Indonesia mempunyai prospek yang sangat besar, mengingat dalam 10 tahun mendatang akan ada minimal sekitar 5 juta kepala keluarga muslim yang masing-masing kepala keluarga akan menyembelih satu ekor ternak kambing ataupun domba untuk kurban. Potensi kebutuhan kambing dan domba untuk akikah juga besar, jika merujuk kelahiran anak minimal 500 ribu orang per tahun dengan kebutuhan satu ekor untuk setiap anak perempuan dan dua ekor untuk anak laki-laki untuk akikah.

Kebutuhan kedua, ketika lebaran haji atau hari raya kurban, setiap tahun Jamaah Haji Indonesia memerlukan kambing dan domba sekitar 2,5 juta ekor untuk keperluan membayar dam atau untuk kurban para jama’ah haji. Selain itu, umat muslim di Indonesia yang tidak melaksanakan haji juga melakukan penyembelihan hewan kurban yang antara lain berupa ternak kambing dan domba. Kebutuhan ini juga tidak sedikit. Kebutuhan ketiga yang tidak kalah penting adalah untuk life style masyarakat Indonesia dengan kuliner yang sangat terkenal, yaitu sate kambing dan domba. Untuk kebutuhan ini, setiap hari akan disembelih kambing dan domba tidak kurang dari 600 ribu ekor.

Usaha ternak kambing memiliki peluang cukup menjanjikan karena ketiga kebutuhan tersebut diatas yang saat ini Indonesia masih jatuh bangun dalam penyediaannya. Peluang tambahan yang cukup menjanjikan juga adalah adanya permintaan impor dari negara-negara Uni Eropa dalam jumlah yang tidak sedikit baik kambing hidup maupun produk-produk olahan dari kambing dan domba. Saat ini Indonesia belum mampu memenuhi permintaan tersebut karena rendahnya ketersediaan kambing dan domba di Indonesia.

Profil usaha ternak kado di sektor usaha primer (hulu-on farm) menunjukkan bahwa usaha tersebut memberikan keuntungan yang relatif baik, masing-masing dengan nilai BCR sebesar 1,17 untuk usaha pengembangbiakan dan 1,39 untuk usaha pembesaran dan penggemukan. Biaya operasional per bulan Rp 1.000.000 x 10 = Rp 10.000.000,-. Jadi, keuntungannya selama 10 bulan pemeliharaan adalah Rp 25.000.000 – Rp 10.000.000,- = Rp 15.000.000,-. Estimasi harga ini dapat meningkat saat permintaan kambing tinggi, misalnya pada saat Idul Adha. Keuntungan didapat dari selisih harga beli Rp 800.000 per ekor untuk domba berumur 5-6 bulan dengan berat 18 kilogram (kg dan akan dijual saat umur 8-9 bulan dengan selisih harga                  Rp 1.150.000 per ekor dengan berat maksimal 25 kg.

Ada banyak keuntungan dengan  berternak kambing dan domba, yaitu populasi dapat berkembang cepat, daya adaptasi baik dan mudah, sudah memasyarakat dan akhir-akhir ini berkembang pesat, sangat produktif, daging dan susunya memiliki nilai ekonomis dan gizi yang tinggi dan produk sampingannya juga menguntungkan.

Masyarakat Indonesia memiliki potensi pengembangan ternak kado, yaitu (1) Saat ini peternak tradisional kado masih mendominasi kepemilikan ternak kado di Indonesia, termasuk di dalamnya supply anakan, (2) Manusia atau peternak di Indonesia sudah sangat lazim beternak kado, (3) Indonesia memiliki luas daratan 1,9 juta km² dan merupakan negara dengan daratan terbesar nomor 15 di dunia, (4) Konsumsi daging  kado di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Konsumsi kambing dan domba di Indonesia dalam Idul Kurban mencapai 1 juta ekor setiap tahunnya dan (5) Tahun 2020 tercatat jumlah populasi ternak kado di Indonesia mencapai 18 juta ekor menurut Ditjen PKH, Kementerian Pertanian.

Mengingat besarnya potensi pengembangan kado, diperlukan dukungan investasi dalam pengembangan usaha agribisnis kado baik dari pemerintah, swasta maupun masyarakat/komunitas peternak. Investasi tersebut meliputi aspek: (1) Pelayanan kesehatan hewan, (2) Dukungan penyediaan bibit (pejantan) unggul dan induk berkualitas, (3) Kegiatan penelitian, pengkajian dan pengembangan yang terkait dengan aspek pakan dan manajemen pemeliharaan, (4) Pengembangan kelembagaan untuk mempercepat arus informasi, pemasaran, promosi, permodalan, (5) Penyediaan infrastruktur untuk memudahkan arus barang input-output serta pemasaran produk, (6) Ketersediaan laboratorium keswan, pakan dan reproduksi serta (7) Penyiapan lahan usaha peternakan dan penetapan tata ruang agar pengembangan ternak tidak terganggu oleh masalah keswan, sosial, hukum dan lingkungan.

Secara mandiri swasta dapat bergerak di sektor hulu (usaha penyediaan calon induk, penyediaan pejantan, penyediaan semen beku, pabrik pakan mini dll) dan di sektor hilir (RPH, industri pengolahan daging, susu, kulit, kompos dll) yang dapat memberikan nilai tambah (added value) dan margin yang besar. Usaha ternak budi daya kambing/domba oleh swasta dapat dilakukan melalui pendekatan pola kemitraan, yaitu peternak menghasilkan bakalan dan inti dapat membeli bakalan dari peternak untuk digemukkan atau langsung dipasarkan. Variasi dari pola kemitraan dan investasi dalam pengembangan kado sistem integrasi mungkin cukup beragam dan dapat disesuaikan dengan kondisi setempat.

Dalam kemitraan, inti dapat berperan untuk mensuplai indukan unggul siap kawin, membangun industri breeding, training centre teknologi pakan dan pemeliharaan domba, menyiapkan permodalan, off taker hasil breeding domba plasma, membangun industri pasca panen berkelanjutan, jaminan pemasaran dan produk turunan.

Sasaran pengembangan investasi usaha kado dalam 10 tahun mendatang ditujukan untuk menambah produksi sampai 5 juta ekor/tahun, yang berarti diperlukan penambahan populasi induk sedikitnya 4 juta ekor, untuk menghasilkan anakan 6 juta ekor/tahun, yang akan berdampak pada penambahan populasi sekitar 10 juta ekor. Bila rata-rata harga kado sekitar Rp. 1,5 juta/ekor, maka total investasi yang diperlukan sekitar Rp. 6 Triliun. Bila diasumsikan pemerintah akan berinvestasi sebesar 1,38 Triliun (23 persen), masyarakat sebesar 3,78 Triliun (63 persen), maka investasi swasta yang dibutuhkan sedikitnya sekitar Rp. 0,84 Triliun (14 persen). Angka-angka ini belum memperhitungkan bila sebagian ternak kado ditujukan untuk menghasilkan susu. Investasi masyarakat sebagian besar berasal dari pemanfaatan aset yang telah dimiliki, atau sumber pendanaan baru yang berasal dari lembaga keuangan, bantuan pemerintah, kerjasama dengan swasta (inti) atau bantuan keluarga/kelompok.

Usaha-ternak kado akan mampu menciptakan lapangan kerja baru, baik peluang untuk menjadi peternak mandiri maupun lowongan pekerjaan yang terlibat pada sektor hulu dan hilir. Bila ada penambahan populasi sekitar 12 juta ekor, sedikitnya akan mendorong penciptaan lapangan kerja baru untuk satu juta orang di pedesaan maupun di kawasan industri pendukung (wilayah potensi).

Investasi penyediaan bibit unggul misalnya, baik untuk calon induk maupun pejantan adalah sangat strategis, karena saat ini praktis belum ada pihak yang tertarik. Pusat pembibitan ternak milik pemerintah yang sudah ada memiliki keterbatasan dan belum mampu untuk merespon perkembangan permintaan yang terjadi di masyarakat. Namun ke depan kegiatan ini justru harus dilakukan oleh swasta atau peternak kecil yang maju. Investasi untuk usaha ini dapat dimulai dengan skala sedang yaitu populasi 200-500 ekor untuk kemudian dikembangkan menjadi usaha yang besar. Investasi yang diperlukan usaha ini sedikitnya sekitar Rp. 0,5-1 milyar, tidak termasuk kebutuhan lahan. Diharapkan usaha ini dapat dikembangkan di kawasan perkebunan yang memang sudah tersedia bahan pakan yang memadai sehingga ada jaminan pakan. Sementara itu investasi sektor penunjang lainnya yaitu untuk pabrik pakan, pabrik obat, pabrik kompos, pabrik pengolahan susu, dll., dapat disesuaikan dengan kapasitas yang diperlukan, yang bernilai setara dengan nilai investasi pada ternak lainnya.

Terdapat beberapa hal yang harus diantisipasi oleh para investor kambing dan domba untuk dapat mensukseskan investasinya antara lain adalah (i) supply stakeholder, jaminan konsistensi supply dan harga, (ii) perlunya kontrol terhadap rumpun Unggul, (iii) pola pemeliharaan ternak monoton dan tidak efisien, (iv) perlunya penerapan teknologi pakan, breeding dan pemeliharaan, (v) perlu jaminan keamanan investasi usaha di bidang peternakan dan transaksi antar negara, dan (vi) antisipasi pemotongan kado betina produktif untuk pemenuhan kebutuhan daging.

Dengan teridentifikasi kebutuhan-kebutuhan tersebut, jika para investor dapat mengatasi dengan solusi-solusi, maka menjadi peluang tambahan tersendiri. Diantaranya perlu diciptakan Industri Peternakan yang kondusif, membangun 4 komponen utama industri peternakan: kualitas & kuantitas bakalan, teknologi pemeliharaan & pakan, kompetensi peternak, akses pasar, dan industrialisasi ternak domba berbasis kerakyatan.

Dukungan kebijakan investasi perlu menyertakan peternak sebagai end user dan pada akhirnya memberikan titik terang dalam pemberdayaan peternak dan peningkatan kesejahteraan, disamping penambahan devisa dari ekspor bila pasar ekspor ke negara-negara luar dapat dimanfaatkan. Untuk mendukung pembangunan/revitalisasi pertanian peternakan dan menciptakan iklim investasi guna pengembangan dan peningkatan mutu ternak kado, diperlukan berbagai kebijakan, antara lain: (a) penyederhanaan prosedur dan persyaratan untuk investasi usaha pengembangan peternakan kado; (b) penyediaan skema kredit yang sesuai misal pembayaran saat panen atau bagi hasil dan (c) penyediaan informasi (harga dan teknologi).

*Artikel sudah pernah diterbitkan pada Buletin Fokus Hilir

]]>
https://pb-ispi.org/peluang-emas-investasi-kambing-dan-domba/feed/ 1 2687
Pemasaran dalam Industri Perunggasan https://pb-ispi.org/pemasaran-dalam-industri-perunggasan/ https://pb-ispi.org/pemasaran-dalam-industri-perunggasan/#respond Wed, 15 Feb 2023 07:00:24 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2675

“Tidak peduli seberapa lambat Anda berjalan, yang penting jangan berhenti. Orang pintar akan kalah dengan orang tekun.”

Oleh : drh. Paulus Setiabudi, MM, PhD (Staf Ahli Poultry, Indonesia, pengamat perunggasan, dan pengajar Global Marketing Management)

Pemasaran ujung tombak dalam bisnis

Sekitar 33 tahun yang lalu, penulis sambil tetap bekerja juga belajar di Pascasarjana, Fakultas Ekonomi UGM (FE UGM). Teringat, almarhum pengajar penulis selaku Guru Besar FE UGM, pengajar ilmu pemasaran yang lulusan Haas School of Business, University of California, Berkeley (UCB), USA bercerita dan memberikan ilustrasi singkat tentang usaha industri alas kaki. Yang mana suatu hari Direktur Pemasaran pabrik sepatu di Prancis mengadakan rapat bersama Tim Pemasaran & Penjualan, serta tim Desain dan Promosi. Dia memberi penjelasan bahwa perusahaan meningkatkan kapasitas produksi dengan menambah beberapa mesin modern yang canggih, sehingga bisa memproduksi alas kaki dengan lebih banyak, lebih cepat dan lebih banyak model sesuai dengan selera konsumen yang terus berubah.

Oleh karena itu pihak Top Management meminta agar pemasaran lebih diperluas dan penjualan ditingkatkan secara maksimal, sebab kapasitas industri nasional & persaingan bisnis juga terus meningkat. Alhasil perusahaan pun memperluas pemasaran & penjualan di Prancis dan beberapa negara Eropa (existing market) serta negara di benua lain (new market development). Tak hanya itu, mereka juga merancang target penjualan dan target market area, dengan berbagai strategi pemasaran & promosi dalam penjualan serta menyusun & melatih tim pelaksana dalam marketing plan/ business plan.

Suatu ketika Sales Manager yang mendapat tugas di suatu negara di benua seberang yang mempunyai masyarakat belum maju (edukasi tertinggal), berdiskusi dengan timnya. Untuk kemudian mengutus tim kecil yang dipimpin oleh seorang Supervisor yang cerdas dalam analisis pasar & sudah banyak pengalaman dalam pemasaran. Dalam waktu 5 hari, tim kecil tersebut sudah pulang dan memberi laporan bahwa akan sia sia membuka pasar dan menjual produk di negara tersebut, sebab masyarakat sangat tidak teredukasi dan hampir semua masyarakat tidak memakai alas sepatu terutama di daerah yang tertinggal (pedesaan terpencil).

Beberapa waktu kemudian Sales Manager tersebut mengutus tim kedua yang dipimpin oleh Supervisor yang juga cerdas dan pandai berbicara & ahli berkomunikasi. Sekitar seminggu kemudian, tim kecil tersebut pulang dan memberi laporan bahwa masyarakat di berbagai daerah tersebut sulit diajak komunikasi, perlu biaya besar dan waktu sangat lama untuk melakukan edukasi masyarakat di negara tersebut untuk memakai alas kaki. Hal ini membuat Sales Manager menjadi kecewa, gelisah, frustrasi sebab mendapat teguran dari Direktur Pemasaran (akan di mutasi atau bahkan mungkin terpaksa dipecat).

Beberapa waktu kemudian, datang menghadap seorang Salesman yang masih relatif muda, sabar walaupun tidak pandai seperti ke 2 Supervisor seniornya untuk mendapat kesempatan meninjau pasar di negara tersebut. Sales Manager pun merasa ragu & tidak mau untuk mengutus Salesman tersebut, sebab khawatir gagal lagi. Namun Salesman tetap berharap diberi kesempatan dan bersedia dipecat bila gagal. Akhirnya dia diutus bersama 2 orang sales junior untuk melihat dan membuka peluang pasar. Seminggu tidak ada kabar, Sales Manager tidak bisa kontak & makin gelisah. Lebih dari 2 minggu kemudian mendapat kabar untuk mengirim beberapa pasang sepatu & sandal model lama. Hampir 2 bulan berlalu, ke-3 orang salesman muda tersebut pulang dengan wajah cerah dan sukacita, sebab membawa kabar gembira mendapat puluhan order berbagai macam model sepatu & sandal dari masyarakat negara itu.

Lantas pertanyaannya, apa yang terjadi dalam rencana pengembangan pasar di negara tersebut? Pertama, Sales Supervisor senior yang lulusan S2 dan ahli pemasaran itu merasa hebat dan pandai dalam analisis pasar menilai pasar tidak prospektif, sebab masyarakat yang tidak teredukasi dan adat budaya masyarakat yang sudah lama tidak pakai alas sepatu. Supervisor kedua yang sarjana ilmu komunikasi juga memberikan penilaian & prediksi tidak ada harapan untuk menjual sepatu di negara itu. Hal ini berdasarkan berbagai informasi yang timnya peroleh dari komunikasi dengan tokoh masyarakat yang ditemui, sehingga perlu biaya besar dan waktu sangat lama untuk edukasi, yang hasilnya pun belum pasti berhasil.

Terakhir, Salesman muda yang belum pengalaman itu sabar, gigih, dinamis inovatif dalam melakukan pendekatan pada berbagai tokoh serta banyak lapisan masyarakat di berbagai polosok daerah dan memberi contoh langsung tentang manfaat kesehatan memakai alas kaki, serta bagaimana menambah keindahan kaki terutama pada kaki wanita untuk kebutuhan fashion.

Hal ini membuat Direktur Pemasaran dan Sales Manager merasa gembira & optimis untuk membuka kantor perwakilan di negara tersebut serta menjadikan Salesman muda tersebut sebagai Kepala Penjualan. Pada akhir sesi kuliah, alm Guru besar ilmu Marketing memberi tugas pada para mahasiswa untuk membuat penilaian tentang ilustrasi market development tersebut sebagai tool dalam suatu business case study.

 Membimbing dan mendidik industri hilir & konsumen

Mengubah dan memperbaiki pola pikir masyarakat dalam berbisnis bukan hal yang mudah. Sekitar 50 tahun lalu, budi daya ayam masih tradisional secara backyard, dengan jenis ayam lokal dan banyak yang belum mengenal ayam ras. Maka perlu upaya keras dan terus menerus untuk memperkenalkan jenis ayam ras tipe petelur dan pedaging yang harus di impor dari luar negeri (AS dan Eropa). Tidak mudah mengubah cara budi daya tradisional ke peternakan modern dengan berbagai kendala teknis perkandangan, tata laksana budidaya dan upaya menjaga kesehatan ayam agar tidak terserang penyakit. Padahal dulu pelihara ayam kampung tidak perlu buat kandang, sebab memakai sistem umbaran, tidak perlu diberi vaksin & obat, tidak perlu sanitasi, tidak usah beli bibit ayam dan pakan, vaksin, obat. Terkesan dulu serba mudah, dan sekarang harus diubah dengan cara baru yang ribet dan perlu modal (itulah kenangan penulis pada waktu mengadakan bimbingan / penyuluhan teknis di berbagai pelosok desa dan kota kabupaten serta tidak jarang bermalam di desa atau pulang pagi sehabis ceramah).

Setelah beberapa tahun peternak ayam mulai berhasil dalam budi daya dengan populasi ayam ras semakin besar, kemudian mereka menghadapi kesulitan dalam menjual hasil produksi (telur ayam ras dan apalagi ayam ras pedaging). Kala itu, masyarakat belum terbiasa makan telur dan daging ayam ras. Banyak konsumen yang menolak dengan berbagai argumen yang umum & wajar, sehingga sebagai petugas perusahaan juga harus membimbing dan melakukan aktivitas promosi makan telur dan daging ayam ‘londo’ /Leghorn/ras. Ketika harga telur dan ayam turun, tidak jarang justru membuat harga doc dan pakan naik, sehingga tim pemasaran juga harus memberi penjelasan pada peternak yang tidak paham & marah, selain tetap terus membantu promosi makan telur & daging ayam ras dengan bermacam-macam cara di berbagai daerah di Jawa dan luar pulau.

Tidak mudah bagi petugas tim teknis dan pemasaran dalam menghadapi berbagai masalah yang dialami para peternak, pengusaha poultry shop serta mengubah perilaku konsumen akhir dan pedagang ayam, pemilik kios / warung makan yang menjual menu ayam. Dulu mendidik peternak/petani/pengusaha dalam budidaya ayam ras sungguh tidak mudah. Namun yang lebih tidak mudah lagi adalah mengatasi harga telur dan ayam yang jatuh hingga di bawah biaya produksi, padahal harga sapronak justru naik. Itulah kasus zaman dulu yang terus terjadi sampai zaman sekarang ini yang belum bisa diatasi secara tuntas.

Industri hulu harus mendidik konsumen

Di berbagai negara mana pun, industri perunggasan di hulu (upstream), baik breeding, feedmill dan animal health pharmaceutical pasti mempunyai kemampuan dalam hal manajemen, teknologi, sumber daya manusia, modal, dan berbagai pengalaman di berbagai aspek yang lebih unggul dan kuat apabila dibandingkan para peternak yang bergerak di industri hilir perunggasan (downstream). Dari itu, sudah seharusnya pihak pelaku perunggasan di hulu mau dan terus membantu, membimbing para peternak di hilir dalam hal budi daya, terutama dalam pemasaran, khususnya dalam memperbesar consumer market size dengan mendorong peningkatan konsumsi telur dan daging ayam.

Edukasi konsumsi ayam dan telur di masyarakat menjadi langkah strategi pemasaran penjualan

Edukasi masyarakat harus terus dilakukan, sebab dari waktu ke waktu terjadi perubahan perilaku konsumen yang berubah gaya hidupnya, dan karena pergantian generasi baru yang memengaruhi pola pikir mereka. Di negara maju yang populasi penduduknya lebih kecil dari Indonesia, perusahaan perunggasan terus melakukan edukasi, promosi, dan berbagai aktivitas pemasaran untuk meningkatkan konsumsi dalam situasi dan kondisi apa pun.

Dengan jumlah penduduk 270 juta jiwa dan menempati urutan populasi nomor 4 dunia, Indonesia didominasi oleh generasi muda produktif, cerdas, dinamis, namun dinilai masih dalam kondisi prihatin sebab konsumsi telur dan daging ayam per kapita masih rendah.

Yang mana seharusnya hal ini bisa lebih besar, bila para pelaku bisnis, asosiasi peternak, pemerintah, serta akademisi peternakan mau bergandeng tangan untuk terus melakukan edukasi, promosi, dan berbagai aktivitas terkait pemasaran. Terlebih, 25% balita di Indonesia masih mengalami stunting akibat kurang gizi sejak dalam kandungan ibu yang hamil, sebab edukasi tentang gizi makanan yang tidak berkesinambungan.

Perilaku konsumen

Dari waktu ke waktu, perilaku konsumen terus berubah seiring dengan perubahan pola pikir, daya beli, dan gaya hidup masyarakat sebagai makhluk sosial. Populasi dunia yang sudah mencapai sekitar 8 miliar didominasi generasi milenial dan generasi Z yang tentu berbeda dengan generasi tua dalam berbagai pola hidup dan pola makan.

Banyak di antara mereka yang belum paham tentang pentingnya gizi suatu bahan pangan misalnya pangan yang mengandung protein, atau karbohidrat dan lemak yang bisa berbahaya akibat tingginya kandungan kolesterol dan trigliceride. Hal ini membuat di negara yang edukasi relatif rendah tentang kesehatan dan nutrisi, masih banyak balita yang mengalami stunting dan juga penyakit obesitas serta serangan jantung, sehingga sangat perlu dilakukan kegiatan edukasi kesehatan & nutrisi yang berkesinambungan pada masyarakat. Selain itu, peternak ayam pedaging juga perlu memahami bagaimana melakukan budi daya yang lebih baik dan maju bukan hanya dalam hal standar budidaya seperti FCR, Mortality, BW, Growth rate dan IP, tetapi juga bagaimana menjaga kualitas daging ayam yang dihasilkan.

Grafik 1. Peringkat negara penghasil telur teratas di dunia tahun 2020

Kita bisa mencontoh China sebagai negara dengan populasi sekitar 1,425 milyar, mampu menjadi negara produsen telur ranking 1 di dunia dan terus meningkatkan produksinya guna memenuhi kebutuhan masyarakat. Demikian juga produksi daging ayam putih & berwarna, bebek, daging sapi, babi, dll. Hal ini tak lepas dari kebutuhan pasar yang terus naik, walaupun ekonomi terpuruk akibat wabah Cavid 19 yang belum reda.

Tabel 1. Perusahaan penghasil telur teratas di Asia

Kemudian India yang populasi masyarakat sekitar 1,428 milyar, beberapa tahun lalu produksi telur ranking 4, dan sekarang sudah menduduki posisi ranking 3 dan akan terus meningkat menggeser posisi Indonesia pada tahun 2019. Namun konsumsi telur per kapita tertinggi tetap didominasi oleh Mexico 409 butir (naik dari 380 butir), Jepang 337 butir dan Columbia 334 butir.

Negara Italia menjadi salah satu negara di EU, dengan konsumsi telur yang juga meningkat walaupun masih relatif rendah akibat kondisi ekonomi. Yang mana konsumsi ayam sekitar 69%, kalkun 19%, daging lain 12%. Bentuk daging ayam yang disukai konsumen 34% processed meat, 32% breast fillets, 21% whole chicken meat, 13% cuts chicken. Itulah selera konsumen yang bisa terus berubah, yang harus dipahami produsen.

Untuk kasus di Indonesia, harus diakui bahwa penulis sulit mendapat data yang akurat tentang populasi ayam, apalagi data tentang selera konsumen terhadap daging ayam. Bahkan di penghujung tahun ini masyarakat sempat dibuat bingung dengan data produksi beras nasional. Yang mana berdasarkan data dari Kementan beberapa bulan sebelum Presidensi G.20 mengatakan produksi beras surplus dan sudah 3 tahun tidak impor, sehingga pada 14 Agustus 2022 Presiden RI mendapat penghargaan dari IRRI. Namun menjelang akhir Desember 2022 ada kabar Kemendag mengeluarkan izin impor beras yang dilakukan Perum Bulog sekitar

200.000 ton, sebab masih di bawah target cadangan nasional 1,2 juta ton. Akurasi data ini menjadi hal fundamental yang harus dibenahi, sebelum melangkah lebih jauh lagi.

Grafik 2. Preferensi Pasar Konsumen Produk Unggas di Negara Italia

Tetap optimis menghadapi tantangan

Kita semua sudah tahu bahwa kondisi ekonomi global tahun 2022 tidak dalam keadaan baik baik saja. Mulai dari ancaman inflasi tinggi, stagflasi, resesi, kenaikan suku bunga bank, The FED 4% untuk USD, BI Rate 5,5%, nilai rupiah terdepresiasi sekitar 6 – 9% terhadap berbagai valas, pasar modal masih galau, ancaman krisis energi dan pangan serta konflik geopolitik Rusia vs Ukraina yang masih berlanjut di tahun 2023, Covid 19 varian baru XBB 1.5 di AS naik 40% dan terdeteksi di 70 negara, berbagai berita negatif di media serta suhu politik dalam negeri. Ekonomi China masih terpuruk, PMI Manufaktur turun dibawah index 50 serta kasus pandemi Covid 19 varian BF.7 makin meningkat, bahkan pemerintah RRT menarik program zero case pandemi, untuk memberi kebebasan mobilitas masyarakat di dalam maupun luar negeri (sebab mereka jenuh dikurung). Pemerintah Indonesia per tanggal 30 Desember 2022 juga sudah mencabut PPKM sehingga masyarakat bebas beraktifitas & merayakan acara tahun baru, wisatawan melonjak naik, tiket pesawat & biaya hotel naik.

Presiden RI pada 30 Desember 2022 juga menandatangani PERPPU No. 2 / 2022 Cipta Kerja (walau ada kontroversi) untuk antisipasi sikon global dan kepastian hukum guna menjamin terealisasinya target investasi 1.400 triliun sebagai penggerak ekonomi Indonesia sehingga pertumbuhan bisa diatas 5%, cadangan devisa per Desember 2022 sekitar USD 134 milyar, inflasi th 2022 yoy 5,5% .

Dengan berbagai dinamika yang terjadi, kita harus bersikap optimis dalam menghadapi situasi seburuk apapun yang mungkin terjadi dengan tetap berdoa memohon pertolongan pada Allah SWT. Tetap waspada dan cerdas mengatur keuangan keluarga secara cermat serta prioritas pangan yang bergizi baik demi untuk kesehatan dan kecerdasan balita & anak. Industri perunggasan harusnya tetap bisa tumbuh dengan berbagai upaya aktifitas pemasaran yang proaktif, inovatif, dinamis untuk meningkatkan konsumsi masyarakat di berbagai daerah, sehingga harga on farm bisa lebih baik. Perlu juga adanya bantuan dari Pemerintah & Perbankan bagi peternak UKM yg terpuruk akibat harga ayam hidup yang rendah. Kita tidak boleh pasrah dan menyerah, seperti kata Confucius seorang filsuf China pada 500 tahun SM, yang mengatakan tidak peduli seberapa lambat Anda berjalan, yang penting jangan berhenti.

 

]]>
https://pb-ispi.org/pemasaran-dalam-industri-perunggasan/feed/ 0 2675
PMK dan Pasar Daging Sapi https://pb-ispi.org/pmk-dan-pasar-daging-sapi/ https://pb-ispi.org/pmk-dan-pasar-daging-sapi/#comments Sat, 21 May 2022 15:12:34 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2565
Oleh : Rochadi Tawaf Dewan Pakar PB ISPI (Perkumpulan Insinyur dan Sarjana Peternakan Indonesia) dan Penasehat PP PERSEPSI (Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan Indonesia)

Indonesia sebagai Negara yang mengonsumsi daging sapi sekitar 706.388 ton pada tahun 2022 diprediksi hanya mampu memproduksi daging sekitar 436.704 ton. Selama ini permintaannya tumbuh sekitar 6.4%/tahun jauh lebih tinggi dari kemampuan produksinya, yang hanya 1,3% per tahun. Kekurangannya, didatangkan melalui impor. Fenomen inilah yang menjadikan negeri ini ajang pasar daging bagi Negara produsen daging sapi dunia. India sebagai salah satu Negara exportir daging sapi dan kerbau terbesar di dunia, sangat berkepentingan dengan besarnya pasar daging Indonesia. Namun, sayangnya India hingga kini masih belum bebas PMK (Penyakit Mulut dan Kuku).

Keinginan para pedagang dari India untuk memasarkan daging ke Indonesia,  dimulai sejak Indonesia dinyatakan sebagai Negara bebas PMK tanpa vaksinasi, yang diakui oleh organisasi kesehatan hewan dunia (OIE) pada tahun 1990. Sejak itu, mulai marak daging selundupan yang berasal dari india melalui pintu masuk di perbatasan Negara seperti Malaysia, Brunei Darusalam dan Singapura. India sebagai Negara yang sebagian besar rakyatnya tidak memakan daging sapi, memiliki keunggulan komparatif dimana harga daging relative jauh lebih murah bila dibandingkan dengan Negara lainnya.

Selisih harga yang cukup signifikan inilah yang menarik para pedagang untuk menguasai pangsa pasar di negeri ini. Berbagai upaya para pedagang yang ingin memasukan dagingnya ke Indonesia dengan cara-cara bergerilya melakukan berbagai manuver. Isu yang dihembuskan muncul kepermukaan terutama mengenai selisih harga, monopoli, harga daging mahal sampai dengan konsep perdagangan imbal beli. Manuver ini mulai menampakkan hasilnya dengan munculnya opini monopoli soal impor daging sapi di Indonesia, sekitar awal tahun 2000an.

Sejak opini ini muncul, mulailah manuver berikutnya untuk membuka proteksi maksimum sekuriti dalam perlindungan atas serangan penyakit PMK dibuka, dengan diubahnya UU PKH (peternakan dan Kesehatan Hewan) dari UU No.6/1967 menjadi UU No. 18/2009. Dalam perubahan UU ini, jelas-jelas pemerintah bersama DPR menghendaki proteksi terhadap penyakit di Indonesia tidak lagi berbasis Negara (country based), tetapi berbasis terhadap zona (zona based) dengan alasan Indonesia Negara kepulauan. Selain itu, mencuatnya isu dominasi perdagangan daging yang hanya berasal dari satu Negara (monopoli), yang kesemuanya di ramu seolah penyebab mahalnya harga daging lantaran hal tersebut.

Frasa ini telah ditentang oleh masyarakat peternak dan para tokoh senior dokter hewan (mantan Dirjen PKH) yang sangat menyadari bahwa negeri ini tidak memiliki sarana untuk melindungi diri terhadap kemungkinan serangan penyakit hewan menular strategis (PMK). Silang pendapat pun terjadi pada saat RDPU pada sidang-sidang di DPR RI. Namun, sepertinya ada pemaksaan kehendak, sehigga frasa tersebut tetap tercantum dalam perubahan UU PKH No. 18/2009. Silang pendapat ini pun berkhir di sidang MK yang ditetapkan dalam surat keputusan Nomor 137/PUU-VII/2009 bahwa pemasukan ternak dan produk ternak tetap menganut basis Negara (country based) bukan wilayah (zona).

Namun, tidak selang berapa lama pada tahun 2014, terjadi kembali perubahan terhadap terhadap UU No. 18/2009 yang mencantumkan kembali bahwa frasa pemasukan ternak dan produk ternak berbasis zona. Pada kasus yang kedua, dilakukan gugatan kembali ke MK oleh sebagian masyarakat peternak. Kesimpulan gugatan melalui keputusan MK No. 129/PUU-XIII/2015 bahwa frasa import ternak dan produk ternak boleh dilakukan dari Negara yang berbasis zona.

Produk hukum inilah yang menurunkan kebijakan operasional berupa kebijakan Peraturan Pemerintah No. 4/2016, Permentan No.17/Permentan/PK.450/5/2016 dan SK Mentan No.  2556/2016 yang membolehkan masuknya daging dari India.  Berdasarkan hal tersebut, masyarakat peternak melakukan judicial review ke MA atas diterbitkannya PP No. 4/2016. Pasalnya, bahwa India merupakan Negara yang belum bebas PMK dan tidak memiliki Zona. Namun, lagi-lagi putusan MA no. 27/P/HUM/2018 yang tetap memberlakukan PP No.4/2014 tersebut. Sejak kebijakan ini diundangkan importasi daging sapi asal india ini menjadi legal, sejak bulan Juni 2016.

Semua, fenomena yang terjadi ini, merupakan jurus jungkir baliknya Jokowi untuk menurunkan harga daging sapi. Namun faktanya, harga daging yang digadang-gadang harus Rp. 80.000,00/kg tidak pernah menjadi kenyataan. Bahkan dipasar konsumen, harga daging india ini yang naik harganya sama dengan harga daging domestik. Fakta berikut yang sangat memprihatinkan adalah, terjadinya out break penyakit PMK di Jawa Timur, yang menjadi alasan utama kekhawatiran dan penolakan dari kebijakan tersebut telah menjadi kenyataan. PMK ini mengakibatkan kerugian nasional yang luar biasa besarnya, tidak kurang dari Rp. 15.5 Trilyun (Sudardjat, 2015), belum termasuk  dampak kerugian di sektor ekonomi lainnya, seperti pariwisata, export komoditi pertanian, penurunan populasi ternak dan keterperangkapan pangan asal daging sapi.

Berdasarkan atas hal tersebut, kiranya Ombudsman segera melakukan evaluasi kebijakan atas kecerobohan pemerintah. Selain itu, Pemerintah segera menetapkan status outbreak, satgas PMK serta moratorium atas kebijakan importasi dari negara-negara yang belum bebas PMK. Hal ini diperlukan guna memudahkan pemerintah melakukan eradikasi, menetapkan dana tanggap darurat, vaksinasi masal dan lainnya…. Semoga.

*Sebelumnya sudah dipublikasikan di Kompas.id 21 Mei 2022 dengan judul yang sama

]]>
https://pb-ispi.org/pmk-dan-pasar-daging-sapi/feed/ 1 2565
Dampak Penyakit Mulut dan Kuku https://pb-ispi.org/dampak-penyakit-mulut-dan-kuku/ https://pb-ispi.org/dampak-penyakit-mulut-dan-kuku/#respond Tue, 17 May 2022 03:55:32 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2557
Oleh : Rochadi Tawaf (Komite Pendayagunaan Petani, Dewan Pakar PB ISPI dan Penasehat PP PERSEPSI)

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit hewan yang paling ditakuti didunia. Penyakit ini termasuk kelompok Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS). PMK disebabkan oleh virus yang bersifat akut dan penularannya sangat cepat pada sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya, walaupun tingkat mortalitasnya rendah. PMK disebut juga sebagai air borne disease karena sangat kecilnya virus ini mampu menyebar cepat dengan bantuan angin sampai ratusan kilometer.

Belajar dari Kasus Outbreak PMK di Inggris (2001), ternyata hanya dalam waktu 14 hari saja seluruh wilayah Inggris Raya sudah terinfeksi. Penyakit ini telah memorakporandakan perekonomian negeri itu, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Prism (2002) bahwa PMK berdampak terhadap kegiatan usaha ternak (71%), bisnis hotel dan restoran (52%), sektor pertanian  (58 %), perdagangan (47%), Industri manufaktur (42 %), transportasi (42 %), Jasa dan pelayanan (55%), Bisnis finansial (23%) dan Konstruksi (49%).

Kerugian ekonomi bagi kegiatan usaha peternak terutama disebabkan, Kehilangan produktivitas karena Penurunan produksi susu (25% per tahun), Penurunan tingkat pertumbuhan sapi potong (10-20%), Kehilangan tenaga kerja (60-70%), Penurunan fertilitas (10%) dan perlambatan kebuntingan, Kematian anak (20-40%), dan Pemusnahan ternak yang terinfeksi secara kronis.

Menurut analisis Naipospos (2012) bahwa perkiraan kerugian ekonomi akibat berjangkitnya PMK di Indonesia sekitar Rp. 9,6 Trilyun, sedangkan menurut Sofjan Sudardjat (2015) sekitar Rp. 15,5 Trilyun. Jika koefisien teknis analisisnya dikonversi pada data saat ini, kerugian ekonominya mungkin tidak kurang dari Rp. 20 trilyun. Hal ini belum dihitung besarnya biaya pengendalian, dampak sektor primer, dampak sektor pengolahan, dampak yang terkait dengan turisme dan non-pertanian, serta dampak hilangnya peluang perdagangan dan akan terjadi keterperangkapan pangan daging sapi nasional.

Selain kerugian ekonomi yang terjadi tersebut, kerugian sosial pun cukup memprihatinkan. Kini di sentra wabah di Jawa Timur, telah beredar isu (via medsos) bahwa masyarakat jangan memakan daging dan susu sapi karena diduga akan tertular. Dampak selanjutnya dimungkinkan akan terjadi stunting yang yang meningkat.

Berkaitan dengan outbreak PMK yang terjadi di Jawa Timur pada awal bulan Mei 2022 ini, pupuslah sudah harapan Indonesia untuk meraih swasembada daging sapi 2026 dan menjadi lumbung ternak asia 2045. Pasalnya berdasarkan analisis tersebut di atas dan pengalaman yang terjadi untuk terbebas dari PMK membutuhkan waktu yang panjang (100 tahun).

Sesungguhnya seluruh analisis prediksi dampak kerugian yang akan terjadi tersebut, jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh para tokoh senior peternakan dan asosiasi peternak rakyat pada saat proses perubahan UU PKH No. 6/1967 menjadi UU No. 18/2009. Konsep dasar mengenai maksimum sekuriti (country based) perlindungan terhadap kemungkinan masuknya penyakit hewan ke negeri ini, yang diubah menjadi wilayah (zona based). Silang pendapat ini berakhir di sidang MK yang ditetapkan dalam surat keputusan Nomor 137/PUU-VII/2009 bahwa pemasukan ternak dan produk ternak tetap menganut basis Negara (country based) bukan wilayah (zona).

Namun pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR mengubah kembali UU No. 18/2009 yang mencantumkan lagi frasa Zona Based menggantikan Coutry Based, atas masuknya produk ternak. Pada kasus yang kedua, dilakukan gugatan kembali ke MK. Kesimpulan gugatan melalui keputusan MK No. 129/PUU-XIII/2015 bahwa frasa import ternak dan produk ternak boleh dilakukan dari Negara yang berbasis zona.

Produk hukum inilah yang menurunkan kebijakan operasional berupa kebijakan Peraturan Pemerintah No. 4/2016, Permentan No.17/Permentan/PK.450/5/2016 dan SK Mentan No.2556/2016 yang membolehkan masuknya daging dari India.  Berdasarkan hal tersebut, lagi-lagi masyarakat peternak melakukan judicial review ke MA atas diterbitkannya PP No. 4/2016. Pasalnya, bahwa India merupakan Negara yang belum bebas PMK dan tidak memiliki Zona. Namun, lagi-lagi putusan MA no. 27/P/HUM/2018 yang tetap memberlakukan PP No.4/2014 tersebut. Sejak kebijakan ini diundangkan importasi daging sapi asal india ini menjadi legal, pada bulan Juni 2016. Kebijakan inilah sebenarnya awal dari bencana outbreak PMK di negeri ini. Pasalnya, kecerobohan longgarnya kebijakan memasukan produk ternak dari Negara yang belum bebas PMK dan tidak memiliki zona.

Kini, status Indonesia di organisasi kesehatan dunia (OIE) sudah tidak lagi sebagai Negara yang bebas PMK tanpa vaksinasi. Konsekuensinya bahwa setiap Negara yang akan melakukan perdagangan bilateral dengan Indonesia akan berpikir dua kali. Seperti halnya beberapa waktu lalu Indonesia menolak importasi komoditi pertanian/peternakan dari Negara yang tertular PMK.

Untuk mengembalikan agar negeri ini menjadi Negara yang bebas PMK, tentu memerlukan kerja keras, biaya yang tinggi dan waktu yang panjang. Langkah yang dapat ditempuh, segera melakukan eradikasi dengan dana tanggap darurat yang cukup dan vaksinasi masal serta peternak melakukan biosekuriti yang ketat. Selanjutnya, sesuai saran Jokowi perlu mengusut faktor penyebabnya agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Selain itu, diharapkan Ombudsman dapat melakukan evaluasi atas kebijakan yang ada dan pemerintah segera melakukan moratorium bagi kebijakan yang berkaitan dengan terjadinya outbreak PMK ini…semoga

*Sudah diterbitkan di Bisnis.com 17 Mei 2022

]]>
https://pb-ispi.org/dampak-penyakit-mulut-dan-kuku/feed/ 0 2557
Jadikan Susu Sebagai Bapokting https://pb-ispi.org/jadikan-susu-sebagai-bapokting/ https://pb-ispi.org/jadikan-susu-sebagai-bapokting/#respond Mon, 11 Apr 2022 11:56:50 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2521
Rochadi Tawaf
(Komite Pendayagunaan Petani, Penasehat PP Persepsi dan Dewan Pakar PB ISPI)

Industri persusuan di dalam negeri terpuruk sejak kebijakan Keppres No. 2/1985 yang melindungi pengembangan peternak sapi perah rakyat dicabut oleh Inpres 4/1998. Kebijakan ini sebagai konsekuensi ditandatanganinya LoI (letter of intent) dengan Bank Dunia, pasca krisis ekonomi tahun 1997.

Mulai saat itu, peternakan sapi perah rakyat berada pada kondisi pasar bebas. Dampak yang terjadi, ternyata sebelum krisis ekonomi tahun 1997 produksi susu segar dalam negeri (SSDN) mampu berkontribusi 50% terhadap permintaannya, yang diproduksi oleh 235 koperasi susu. Kini, kemampuan produksi SSDN tidak lebih dari 22,73 % yang diproduksi oleh 55 koperasi susu. Sisanya, sekitar 3.392.760 ton susu diimpor dengan nilai tidak kurang dari Rp. 17,5 triliun per tahun. Artinya, SSDN tidak memiliki daya saing sehingga devisa negara terkuras hanya untuk impor susu guna memenuhi kebutuhan konsumsi di dalam negeri.

Susu, termasuk kelompok komoditas pangan pokok bagi kehidupan manusia. Sejak puluhan tahun lalu, tagline yang sangat terkenal mengenai fungsi susu dalam menu pangan adalah “empat sehat lima sempurna”. Hal ini dimaksudkan bahwa susu merupakan bagian penting dari makanan pokok masyarakat. Komoditas ini memiliki andil dalam membentuk manusia Indonesia yang cerdas, karena kandungan gizinya yang lengkap mampu menyempurnakan pembentukan sel otak manusia dimasa pertumbuhan.

Menurut data BPS, bahwa partisipasi konsumsi susu dan telur berkisar (62,89%- 93,41%) tertinggi di antara pangan protein hewani lainnya (Soedjana, 2013). Tingginya tingkat partisipasi konsumsi ini menunjukan bahwa susu dikonsumsi luas oleh masyarakat segala umur baik di perdesaan maupun di perkotaan.

Menyadari betapa pentingnya komoditi susu bagi kehidupan masyarakat, dan terpuruknya industri ini pasca krisis ekonomi 1997, pemerintah telah melakukan berbagai upaya guna meningkatkan produksi dan produktivitas peternakan sapi perah. Namun, berbagai upaya pemerintah dalam beberapa puluh tahun terakhir belum membuahkan hasil yang signifikan.

Dalam beberapa tahun terakhir ini, telah terjadi penurunan jumlah peternak sapi perah dari 142.000 (2013) menjadi 136.000 (2018). Sementara produksi SSDN tumbuh relatif rendah (3,83%/tahun) yang dihasilkan dari populasi sapi sekitar 570 ribuan ekor dengan produksi susu sekitar 950 ribuan ton/tahun. Namun disisi lain permintaannya meningkat tajam dari 4,3 juta ton (2016) menjadi 5,4 juta ton (2020), atau tumbuh cukup tinggi (6,43%/tahun).

Melihat fenomena yang terjadi selama ini, rasa-rasanya peta jalan yang disusun pemerintah untuk mencapai terwujudnya jaminan keamanan dan kemandirian pangan asal susu, produksi yang berdaya saing, harga yang kompetitif, peningkatan kecukupan gizi yang mengarah kepada peningkatan kecerdasan generasi bangsa di tahun 2025 tidak akan mungkin tercapai. Pasalnya, asumsi strategis yang dibuat pada peta  jalan tersebut tidak terealisasi. Asumsi tersebut, antara lain yaitu susu harus masuk kedalam barang kebutuhan pokok dan barang penting (Bapokting) pada Perpres No. 59/2020.

Dalam Perpres No. 59/2020, dinyatakan bahwa yang menentukan Bapokting adalah pemerintah, dengan persyaratan bahwa alokasi pengeluaran rumah tangga secara nasional untuk barang tersebut tinggi, dengan memperhatikan pengaruhnya terhadap inflasi dan/atau memiliki kandungan gizi untuk kebutuhan manusia. Penetapannya bersifat strategis dalam pembangunan nasional, dengan memperhatikan mendukung program pemerintah dan disparitas harga antar daerah yang tinggi.

Berdasarkan atas persyaratan yang diberikan pemerintah dalam Perpers tersebut, serta melihat fenomena ekosistem usahanya yang terjadi diyakini bahwa persyaratan tersebut dapat dipenuhi. Namun, masalahnya belum ada kajian akademik yang akuntabel dan komprehensif, sehingga mampu membuktikan bahwa komoditi susu memiliki keterkaitan dengan sector ekonomi lainnya baik ke depan maupun ke belakang (back ward and fore ward linkage). Untuk itu diperlukan adanya kajian dari lembaga yang independen, guna memberikan keyakinan kepada pemerintah mengenai fungsi dan peran komoditi susu dan produk turunannya dalam ekonomi pembangunan nasional.

Selain itu menurut Taufik (2019) pemerintah perlu menerbitkan regulasi (Perpres) yang mengatur serapan pasar SSDN penganti Inpres 4/1998 dan  kebijakan mengenai “program susu sekolah”. Pasalnya, tiga kebijakan strategis tersebut (susu sebagai komoditi Bapokting, Perpres Persusuan dan Program Susu Sekolah) akan mampu menggerakkan industrialisasi persusuan yang terpuruk selama ini.

Beberapa kasus keberhasilan program susu sekolah di beberapa Negara dapat dijadikan teladan, karena selain mampu mendukung program peningkatan kecerdasan masyarakat, menurunkan angka stunting sekaligus akan mampu membangun industri persusuan berbasis peternakan sapi perah rakyat/koperasi di perdesaan dan mengurangi pengurasan devisa Negara.

Telah diterbitkan di Bisnis Indonesia (11 April 2022)

]]>
https://pb-ispi.org/jadikan-susu-sebagai-bapokting/feed/ 0 2521
Melawan Lupa, Sarjana Dan Insinyur Peternakan Menggugat https://pb-ispi.org/melawan-lupa-sarjana-dan-insinyur-peternakan-menggugat/ https://pb-ispi.org/melawan-lupa-sarjana-dan-insinyur-peternakan-menggugat/#comments Sat, 09 Apr 2022 09:01:14 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2516
Ir. Daud Samsudewa, S.Pt., M.Si., Ph.D., IPM. (Staf Pengajar Ilmu Reproduksi Ternak, Departemen Peternakan, Fakultas Peternakan dan Pertanian, Universitas Diponegoro, Semarang)

Tahun 2019 Sarjana Peternakan diresahkan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Pertanian No 3 Tahun 2019.  Permentan ini mengatur tentang pelayanan jasa medik veteriner yang di salah satu pasalnya yaitu Pasal 6 memasukkan Petugas Inseminasi Buatan dan Pemeriksa Kebuntingan ke dalam Petugas Paramedik Veteriner dan di Pasal 9 dan 10 menggolongkannya ke dalam Petugas Paramedik Veteriner yang di dalam pelaksanaannya harus di bawah penyeliaan dokter hewan (Pasal 13 ayat 3). Ketidaklogisan Peraturan Menteri pertanian 03 Tahun 2011 semakin jelas dengan adanya persyaratan administrasi pengajuan Surat Izin Praktek Paramedik (SIPP) sebagai tenaga Inseminator harus memiliki fotokopi ijazah sarjana kedokteran hewan, diploma Kesehatan Hewan, atau ijazah sekolah kejuruan bidang Kesehatan Hewan dan meniadakan ijazah sarjana peternakan.

Lalu, bagaimana nasib Sarjana Peternakan?? Sarjana yang memiliki kompetensi sebagai Pengawas Bibit Ternak sekaligus Tenaga Reproduksi dan Perbibitan (inseminator dan pemeriksa kebuntingan). Patut diingat dan diperhatikan, Seorang Sarjana Peternakan di dalam Rancangan Pembelajaran di Perguruan Tinggi juga didukung dengan mata kuliah utama yang berhubungan dengan Ilmu Reproduksi Ternak, Fertilitas dan Sterilitas Ternak, Teknologi Bioreproduksi, Ilmu Pemuliaan Ternak dan Manajemen Perbibitan Ternak dan Perundang-undangan Perbibitan Nasional.

Rahayu Kusumaningrum, S.Pt., M.Pt. (Fungsional Pengawas Bibit Ternak, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah)

Inseminasi buatan tidak bisa dipahami secara sempit hanya dengan proses deposisi (memasukkan) semen pejantan ke organ reproduksi betina, namun juga wajib dipahami secara komprehensif sebagai kegiatan IB yang dimulai dari Seleksi Bull/pejantan, Penyediaan Semen Beku, dan proses evaluasi dan handlingnya. Inseminasi buatan juga membutuhkan kemampuan memilih seekor indukan yang layak ataukah tidak untuk dilakukan inseminasi. Selain itu, inseminasi buatan juga membutuhkan ketrampilan mendeteksi berahi dan menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan inseminasi. Terlebih lagi inseminasi buatan juga membutuhkan kemampuan dalam menyusun sebuah rekording ternak dan menentukan semen pejantan mana yang paling tepat untuk dideposisikan ke dalam organ reproduksi betina. Tentunya semua ketrampilan dan pengetahuan tersebut akan sangat berhubungan dengan keberhasilan perkawinan seekor ternak betina. Dimana, semua ketrampilan dan pengetahuan itu merupakan kompetensi seorang mahasiswa untuk menjadi seorang Sarjana Peternakan. Lalu, mengapa seorang Sarjana Peternakan tidak masuk dalam kriteria sebagai inseminator di Permentan 3 Tahun 2019?? Bagaimana pula, nasib petugas inseminasi buatan dan pemeriksa kebuntingan yang berpendidikan sarjana non kedokteran hewan dan peternakan atau bahkan Diploma III ataupun Diploma IV peternakan??.

Peraturan Menteri Pertanian 03 Tahun 2019 Pasal 46 yang mengatur tentang pengawasan dan pembinaan  dokter hewan dalam pelaksanaan IB dan PKb juga sangat bertentangan dengan beberapa peraturan yang lain yang mengatur bahwa pembinaan dan pengawasan Inseminasi Buatan ada di bawah kendali Pengawas Bibit Ternak. Beberapa peraturan tersebut antara lain Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi No 02 tahun 2011 yang mengatur Jabatan Fungsional Pengawas Bibit Ternak dan dijelaskan rinci dalam Permentan No 08 tahun 2012 Bab II tentang Penjabaran Tugas Pokok, Bidang Kegiatan, Rincian Dan Tolok Ukur Kegiatan antara lain :

  • Melakukan pemeriksaan kelayakan akseptor dan atau resipien dalam rangka pembiakan ternak melalui inseminasi buatan
  • Melakukan IB pada ternak (ternak besar, kecil dan unggas) pada proses produksi bibit ternak
  • Melakukan Pemeriksaan Kebuntingan dalam rangka pembiakan ternak melalui IB.

Pengawas Bibit Ternak dengan kompetensi pendidikan Sarjana Peternakan, secara legal peraturan di atas memiliki hak dalam Kegiatan Inseminasi Buatan dan Pemeriksaan Kebuntingan, sehingga ruang lingkup IB bukan pada ranah/ruang lingkup kesehatan hewan saja, namun menjadi ruang lingkup bersama yang tidak boleh dimonopoli oleh satu profesi kedokteran hewan saja.

Selain berhak dalam teknis pelaksanaan Inseminasi Buatan dan Pemeriksaan Kebuntingan, Pengawas Bibit Ternak memiliki tugas dan wewenang dalam hal Pengawasan Peredaran bibit/benih *) baca = semen beku, embrio dan mengatur mengenai perencanaan, evaluasi dan rekomendasi hasil pengawasan IB. Ini merupakan bagian dari fungsi-fungsi Penyeliaan Kegiatan IB yang perlu dipahami secara makro atas keberhasilan program IB secara keseluruhan (Permentan No.42, tahun 2014 pasal 14-19 dan PP No. 48 Tahun 2011)

Sehingga, semakin jelas bahwa tidak bisa di klaim bahwa Kegiatan IB dan PKb merupakan kegiatan medik veteriner, karena di dalam pelaksanaan dan evaluasi banyak terkait tugas pokok dan wewenang Pengawas Bibit Ternak dari mulai Pengawasan di sektor produksi benih (semen beku), teknis pelaksanaan IB/PKb,  peredaran semen beku sampai evaluasi dan rekomendasi keberhasilan program IB.

Dalam hal Pelaksanaan IB/PKb dengan Penyeliaan oleh Dokter Hewan, seyogyanya perlu dipikirkan lagi konsep Penyeliaan yang berasaskan manfaat dan keadilan, mengingat dalam pelaksanan di lapangan, penyeliaan dengan Mou bertarif sebagai salah satu syarat mengajukan/memperpanjang SIPP menimbulkan tambahan beban biaya bagi Inseminator. Penyeliaan dokter hewan seyogyanya dilakukan atas dasar spesialisasi kompetensi di bidang medik reproduksi mengingat dokter hewan di Indonesia belum punya Jurusan Spesialis. Pada prakteknya, dokter hewan tanpa kompetensi di bidang medik reproduksi dengan leluasa ber-Mou dengan Inseminator melakukan penyeliaan. Hal ini tidak mendukung kemajuan profesionalisme azas kedokteran dengan contoh Profesi Bidan dalam Penyeliaan Dokter Spesialis Kandungan, bukan dalam penyeliaan Dokter Umum.

Lebih mulia, konsep Penyeliaan di definisikan dalam Ruang Lingkup melakukan pengawasan bersama-sama dengan Sarjana Peternakan (Pengawas Bibit Ternak) dalam hal menyiapkan, melaksanakan dan mengevaluasi proses IB yang berjalan sehingga mendorong keberhasilan program IB.

Seperti yang pernah saya tulis di Website ISPI tanggal 13 Desember 2020, Jumlah tenaga reproduksi (Inseminator dan pemeriksa kebuntingan) se-Indonesia berdasarkan data ISIKHNAS per 1 Agustus 2020 sejumlah 13.575 orang dengan distribusi sbb:

NO TENAGA REPRODUKSI JUMLAH (Orang)
1 Inseminator 9.277
2 Pemeriksa Kebuntingan 4.298

 

Lalu, dari jumlah data tersebut, berdasarkan hasil pendataan dari DPW Paravetindo Jawa Tengah 901 inseminator (10%) berasal dari Jawa Tengah. Distribusi pendidikan dari 901 orang tersebut adalah sebagai berikut:

NO PENDIDIKAN JUMLAH (orang) PERSENTASE (%)
1 S1 Peternakan 158 17,54
2 Dokter Hewan dan S1 Kedokteran Hewan 92 10,21
3 Sekolah Kejuruan Peternakan 13 1,44
4 Pendidikan Lain-lain 638 70,81
TOTAL 901 100

 

Jumlah inseminator diatas 50% lebih telah berusia 50 tahun keatas. Kondisi ini akan sangat mempengaruhi paling tidak 10 tahun ke depan kekurangan petugas teknis reproduksi (Inseminator dan pemeriksa kebuntingan) kerena akan menuju purna tugas. Di lain pihak, dengan tidak diijinkannya calon petugas inseminasi dan pemeriksa kebuntingan yang telah mengikuti pelatihan teknis reproduksi setelah tahun 2019 untuk mendapatkan Surat Ijin Praktek Paramedik (SIPP) karena tidak berpendidikan dokter hewan, sarjana kedokteran hewan dan diploma III Kedokteran Hewan akan berdampak pada zero growth pertambahan petugas non kesehatan hewan, kondisi ini tidak mungkin terpenuhi oleh jumlah lulusan kesehatan hewan dan akan berpengaruh pada penurunan pelayanan inseminasi buatan dan keberhasilan program pembibitan ternak.

Namun, kondisi tersebut tidak disikapi oleh kementrian Pertanian dengan Mencabut Permentan 3 Tahun 2019, namun diperparah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian 15 Tahun 2021 yang mengatur standar kegiatan usaha dan standar produk pada penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko bidang pertanian. Permentan 15 Tahun 2021 ‘TETAP” memasukkan Jasa Perkawinan Ternak (01622) ke dalam Standar Pelayanan paramedik Veteriner yang mengatur bahwa :

  1. Paramedik Veteriner adalah Tenaga Kesehatan Hewan lulusan sekolah kejuruan, pendidikan diploma, atau memperoleh sertifikat untuk melaksanakan urusan Kesehatan Hewan yang menjadi kompetensinya dan dilakukan di bawah penyeliaan Dokter Hewan
  2. Surat Izin Paramedik Veteriner Pelayanan Inseminator yang selanjutnya disebut SIPP Inseminator adalah bukti tertulis untuk melakukan praktik pelayanan inseminasi buatan di bawah Penyeliaan Dokter Hewan.

Persyaratan umum sebagai Tenaga paramedik Veteriner salah satunya adalah fotokopi ijazah sarjana kedokteran hewan, ijazah diploma Kesehatan Hewan, atau ijazah sekolah kejuruan bidang Kesehatan Hewan dan TETAP tanpa memberikan kesempatan terhadap ijazah sarjana peternakan

Di lain pihak, profesi keinsinyuran semakin diakui melalui Undang-undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran yang menyebutkan bahwa keinsinyuran adalah kegiatan teknik dengan menggunakan kepakaran dan keahlian berdasarkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan nilai tambah dan daya guna secara berkelanjutan dengan memperhatikan keselamatan, kesehatan, kemaslahatan, serta kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan.dan di dalamnya terdapat Badan Keinsinyuran Teknik Peternakan seharusnya profesi insinyur memiliki wewenang yang lebih luas. Selanjutnya, lima macam keteknikan dalam keinsinyuran peternakan adalah:  1). teknik pembenihan, pembibitan, dan produksi ternak; 2). teknik pakan; 3). teknik budidaya ternak; 4). teknik peralatan dan permesinan peternakan, dan 5). teknik pemanenan dan pengolahan pasca panen. Apabila kita menilik keprofesian ininyur peternakan ini maka profesi Keinsinyuran Peternakan sangat “dikebiri” dengan adanya Permentan 3 Tahun 2019 dan Permentan 15 Tahun 2021 terutama pada ketenikan bidang pertama.

Kondisi ini seharusnya sangat meresahkan Sarjana Peternakan dan pemegang profesi keinsinyuran peternakan, sehingga melalui tulisan ini, kami “Melawan Lupa Sarjana dan Insinyur Peternakan Menggugat”. Stop diskrimasi terhadap Sarjana Peternakan. Kami menggugat dan merekomendasikan satu kata CABUT!! Permentan 03 Tahun 2019 dan Permentan 15 Tahun 2021 yang berpotensi besar “mengkebiri” Sistem Perbibitan Nasional di Indonesia sekaligus menghilangkan kesempatan Sarjana dan Insinyur Peternakan dalam berkontribusi untuk menjaga marwah Sistem Perbibitan Nasional melalui pelaksanaan Inseminasi Buatan!!

]]>
https://pb-ispi.org/melawan-lupa-sarjana-dan-insinyur-peternakan-menggugat/feed/ 13 2516
Hadirkan Ternak untuk Pemulihan Lahan Pertanian https://pb-ispi.org/hadirkan-ternak-untuk-pemulihan-lahan-pertanian/ https://pb-ispi.org/hadirkan-ternak-untuk-pemulihan-lahan-pertanian/#respond Sat, 26 Mar 2022 03:16:51 +0000 https://pb-ispi.org/?p=2497
Disusun oleh Dr. Ir. Erwanto, M.S.
(Dosen Fakultas Pertanian Unila,
Anggota PB ISPI Bidang Kajian Ilmiah)

Jika dicermati kinerja pertanian tanaman pangan di Indonesia, terutama padi sawah, sangat mencemaskan. Berdasarkan data BPS (diolah) selama kurun waktu 2013-2021 produktivitas padi nasional stagnan di level rata-rata 51,88 kuintal/Ha (lihat gambar). Hal ini mencerminkan bahwa berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi secara nasional belum berhasil.

Upaya-upaya yang sudah dilakukan cukup banyak antara lain, subsidi pupuk kimia, penggunaan bibit unggul, pasokan air irigasi, mekanisasi pertanian, kredit usaha tani, pengendalian hama-penyakit tanaman, dan berbagai inovasi dalam teknologi budidaya. Melihat fenomena itu, maka sangat wajar jika ada hipotesis bahwa ada suatu masalah yang sangat mungkin menghambat upaya peningkatan produktivitas tanaman.

Sejauh pengamatan penulis, selama puluhan tahun budidaya padi di Indonesia (sawah dan ladang) sangat minim bahkan lebih sering tidak ada penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk kandang, atau bentuk pupuk organik lainnya). Pemberian pupuk untuk tanaman lebih didominasi oleh penggunaan pupuk kimia (urea, ZA, TSP, KCl, dll.). Cara budidaya tanaman semacam ini telah disadari oleh semua kalangan kurang bagus.  Namun, ‘entah kenapa’ praktik bertani seperti ini, yang sudah diyakini kurang baik, masih saja terus berlanjut hingga saat ini. Pertanyaan ini harus segera dijawab, sebelum muncul pertanyaan masyarakat: ahli pertanian dan pemerintah kita ini ‘ngapain aja’?

Patut diduga kegagalan mendongkrak produktivitas tanaman padi setelah berbagai upaya dilakukan disebabkan oleh semakin menurunnya kualitas lahan pertanian. Setelah puluhan tahun dicurahi pupuk kimia dan praktik memungut keseluruhan hasil panen (padi) dan biomassa sisa panen (jerami padi) menyebabkan kadar bahan organik tanah makin menurun. Penurunan kadar bahan organik tanah berimplikasi langsung terhadap kehidupan konsorsium organisme tanah (soil microbe-flora & fauna). Akibat negatif lainnya adalah penurunan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, termasuk agregat tanah, kemampuan menahan air, penurunan beberapa enzim tanah,  kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara, dll.

Resultan dari semua gangguan ketidakseimbangan pada ekosistem tanah adalah tidak mampunya lahan mendukung tingkat produksi tanaman yang tinggi. Terkait dengan situasi ini dapat digunakan istilah awam bahwa lahan pertanian di Indonesia ‘sudah lelah’ untuk mendukung produktivitas tanaman yang tinggi. Lahan pertanian yang sudah lelah ini harus segera dipulihkan kondisinya.

Mencermati problem pertanian dan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini, penulis berkeyakinan bahwa menghadirkan komponen ternak dalam sistem usaha tani dapat menjadi alternatif solusi cerdas untuk memulihkan lahan pertanian di Indonesia. Integrasi usaha ternak-tanaman (crop-livestock system) selain terbukti ampuh mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan, juga dapat mengatasi kondisi defisit produk ternak nasional (daging dan susu) yang juga makin mencemaskan.

Penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk organik selain berdampak positif terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, juga akan mengoreksi kelangkaan mineral mikro tanah yang diduga sudah menjadi salah satu faktor pembatas peningkatan produktivitas. Pada pasokan zat-zat nutrisi untuk tanaman dikenal istilah “Liebig’s law of minimum”, yang menjelaskan bahwa produksi tanaman tidak ditentukan oleh jumlah ketersedian seluruh zat nutrisi tetapi ditentukan oleh zat nutrisi yang paling defisien.

Praktik memungut keseluruhan hasil panen dan biomassa sisa panen, selain menyebabkan kadar bahan organik tanah menurun, juga menyebabkan kadar mineral tanah (makro dan mikro) terkuras. Mineral makro tanah (K, Ca, N, S, dan P) bernasib baik karena selalu akan ‘dikembalikan’ melalui pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, dan KCl).

Tetapi nasib mineral mikro tanah sering tidak diperhitungkan dan luput dari perhatian, sehingga beberapa mineral-mineral mikro ini mungkin sudah ‘terperangkap’ dalam situasi Liebig’s law of minimum. Penggunaan pupuk kandang, terutama yang berasal dari feses unggas secara bertahap dapat mengatasi fenomena ini. Ketika menyusun ransum, para formulator ransum selalu memastikan suplementasi mineral, termasuk mineral mikro, yang tentu tidak semuanya tercerna dan kelak sebagian akan ke luar melalui feses.

Tulisan ini disusun untuk bahan suplemen dalam Rakernas ISPI 2022. Harapan penulis kiranya PB ISPI dapat berjuang meyakinkan pemerintah dan pihak terkait lainnya bahwa diperlukan kebijakan strategis guna menghadirkan ternak dalam sistem usaha tani untuk pemulihan lahan pertanian. Bagaimana cara menghadirkannya, tentu PB ISPI bisa diajak berdiskusi.  Selamat Rakernas ISPI, salam dari Lampung, Tabik Pun !

]]>
https://pb-ispi.org/hadirkan-ternak-untuk-pemulihan-lahan-pertanian/feed/ 0 2497