Daging Budi Daya, Kompetitor Sekaligus Disruptor

Sembilan dasawarsa lalu, Winston Churchill menulis esai “Fifty Years Beyond.” Karya tulis Perdana Menteri Inggris yang menjabat dua kali itu dimuat dalam The Strand Magazine edisi Desember 1931. Dalam esai tersebut, Churchill memprediksi bahwa ilmuwan peneliti akan berupaya mengeksploitasi sel tubuh untuk menghasilkan daging yang “dikembangbiakkan” di laboratorium.

“Kita akan menghindari absurditas menumbuhkan ayam utuh untuk memakan dada atau sayap, dengan menumbuhkan bagian-bagian ini secara terpisah di bawah media yang sesuai,” tegas Perdana Menteri yang memiliki nama lengkap Sir Winston Leonard Spencer-Churchill.

Sosok ini memang fenomenal. Saat pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri pada era 1940-1945, berhasil membawa Inggris meraih kemenangan dalam Perang Dunia II. Churchill juga dipuji sebagai pembaharu dan penulis masalah-masalah sosial. Karena kepiawaiannya itu, ia pun berhak menerima hadiah Nobel Sastra pada tahun 1953.

Daging Budi Daya

Berdasarkan definisi, daging budi daya adalah daging yang dihasilkan dari kultur sel hewan secara in vitro (cultured meat). Dengan kata lain, dibuat melalui teknik rekayasa biologi (bioengineering techniques). Bukan dari hewan yang dipelihara dalam kandang dan kemudian disembelih.

Sejauh ini, ada banyak sebutan lain untuk mendeskripsikan daging budi daya, yakni daging in vitro, daging hasil laboratorium, daging berbasis sel, daging ramah lingkungan dan daging bebas penyembelihan. Juga, ada yang menyebutnya sebagai daging bersih dan daging sintetis. Semua istilah tersebut dipergunakan oleh berbagai outlet untuk mendeskripsikan produk yang dipromosikan dan dijualnya.

Gambaran sederhananya proses produksi daging (ayam) budi daya adalah sebagai berikut. Pertama, harus dipilih ayam yang kondisinya prima dan benar-benar sehat. Kemudian, diambillah sampel otot tubuhnya dengan cara biopsi. Bisa otot dada, otot paha, ataupun otot sayap. Menyesuaikan dengan selera dan pilihan konsumen nantinya.

Selanjutnya, dilakukan ekstraksi pada sampel otot-otot tersebut. Tujuannya untuk mendapatkan sel punca (sel induk). Setelah didapatkan sel punca terbaik dan memenuhi persyaratan, sel tersebut “disemaikan” pada tempat khusus yang berjumlah banyak dalam tangki bioreactor. Tentu saja ditambahkan nutrisi (protein/asam amino, karbohidrat, vitamin dan mineral) sebagai makanannya.

Sel punca itupun berkembang biak membentuk serabut-serabut otot. Kumpulan serabut otot memadat dan membentuk massa/jaringan otot. Seluruh proses dilaksanakan dalam laboratorium khusus. Dan pastinya laboratorium tersebut benar-benar menerapkan prosedur biosekuriti sangat ketat.

Sebagai perbandingan, satu sel punca “hanya” butuh waktu 14 hari untuk memproduksi daging seberat satu ekor broiler yang dipelihara di kandang selama 30 hari. Selain itu, guna memproduksi daging budi daya dalam jumlah banyak, cukup membutuhkan satu sel punca saja.

Daging budi daya dipromosikan memiliki banyak keunggulan dibanding daging konvensional. Beberapa keunggulan itu antara lain: benar-benar daging, lebih sehat (bebas kontaminasi bibit penyakit, tanpa residu antibiotika, pestisida, insektisida dan mikotoksin), peduli kesejahteraan hewan dan lebih ramah lingkungan.

Begitu membahananya isu daging budi daya hingga memotivasi tumbuhnya start up di bidang ini. Menurut Majalah New Scientist pada Mei 2020, di seluruh dunia terdapat sekitar 60 perusahaan baru yang terlibat dalam pengembangan dan peningkatan (baca: penyempurnaan) proses daging budi daya.

Pusing Tak Berdaya

Dukungan terhadap daging budi daya itupun merebak di mana-mana. Tidak hanya dari kalangan aktivis sosial, juga ada investor liberal. Ada pula perusahaan raksasa berskala multinasional. Bahkan public figure dan super crazy rich di panggung internasional.

Namun di sisi lain, juga ada yang menentang kehadiran daging budi daya tersebut. Para penentangnya kebanyakan adalah peternak konvensional. Juga pihak-pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam pusaran pengadaan (baca: impor) ternak berikut produk hasil ternaknya.

Pelaku usaha perunggasan tentu dihadapkan pada situasi yang rumit dan pelik. Sudah tak terhingga banyaknya dana, tenaga, pemikiran yang diinvestasikan guna membuka, menumbuhkan dan mengembangkan usaha/bisnis/industri perunggasannya. Terlebih lagi untuk mempertahankan keberlangsungannya. Tak bisa dibayangkan betapa pening dan pusingnya para pelaku usaha perunggasan mencari solusi guna menyikapi dan menyiasati hadirnya daging budi daya. Kehadirannya adalah ancaman keberlangsungan usaha perunggasan. Daging budi daya merupakan kompetitor sekaligus disruptor.

Hal yang mungkin dapat dibayangkan adalah, di balik ketidakberdayaan itu bisa saja muncul ide andalan yang biasa dilakukan di Indonesia. Apa itu? Menggalang persatuan semua unsur dan elemen pelaku usaha perunggasan untuk demo/berunjuk rasa. Pertanyaannya, kepada siapa itu ditujukan? Jawabnya, tergantung kepada kepentingan sang inisiator pengunjuk rasa.

Ada baiknya kita belajar dari respon Tyson Foods (raksasa industri peternakan, produksi dan pengolahan daging Amerika Serikat). Tyson Foods mendukung dan berinvestasi dalam Memphis Meats (perusahaan yang bergerak dalam produksi daging budi daya). “Kami sengaja memutuskan untuk bertransformasi dari perusahaan daging menjadi perusahaan protein terbesar,” kata Tom Mastrobuoni, Direktur Keuangan pada Tyson Group. Respon yang cerdas dan cerdik, bukan? Semoga bisa menginspirasi pelaku usaha perunggasan di Indonesia.

Heri Setiawan
Dewan Pakar Asosiasi Dokter Hewan Perunggasan Indonesia,
tinggal di Surabaya.
Catatan: tulisan ini pernah dimuat di majalah Infovet.

One thought on “Daging Budi Daya, Kompetitor Sekaligus Disruptor

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *