Fapet IPB, Cikal Bakal Pendidikan Peternakan

Awal pendidikan peternakan di Indonesia tidak bisa terlepas dari perjalanan Institut Pertanian Bogor yang merupakan kelanjutan dari lembaga-lembaga pendidikan menengah dan pendidikan tinggi pertanian dan kedokteran hewan pada awal abad ke-­20 di Bogor. Sebelum perang dunia II lembaga-lembaga pendidikan menengah tersebut dikenal dengan nama Middelbare Landbouw School, Middelbare Bosbouw School dan Nederlandsch Indische Veeartsen School.

Sebagaimana disebut dalam buku “50 Tahun Fapet IPB (1963-2013)”, pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mendirikan Lembaga Pendidikan Tinggi Pertanian di Bogor dengan nama Landbouw Hogeschool. Pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) lembaga itu ditutup tetapi Nederlandsch Indische Veeartsenschool tetap berjalan. Hanya namanya diubah menjadi Bogor Zui Gakku (Sekolah Dokter Hewan Bogor). Pada tahun 1946, Menteri Kemakmuran  Indonesia, atas nama pemerintah, membuka Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan di Bogor yang merupakan pengembangan dari Bogor Zui Gakku (sebelumnya bernama Nederlandsch Indesche Veeartsenschool).

Kampus Fapet IPB tempo doeloe

Memasuki tahun 1947 Landbouw Hogeschool dibuka kembali dengan nama Faculteit voor Landbouw-wetenschappen, yang mempunyai jurusan Pertanian dan Kehutanan. Bersamaan dengan itu, dibentuk pula Faculteit der Diergeneskunde yang sebelumnya adalah Perguruan Tinggi Kedokteran Hewan (PTKH). Secara organik kedua faculteit di Bogor tersebut bernaung di bawah Universiteit van Indonesie yang kemudian berubah nama menjadi Universitas Indonesia.

Sebagaimana diketahui, saat negeri ini memproklamasikan kemerdekaannya, Republik Indonesia hanya memiliki dua universitas yakni Universitas Gajah Mada (UGM) di Jogjakarta dan Universitas Indonesia (UI) di Jakarta dengan penekanan bidang pendidikan ekonomi, hukum, kedokteran, teknik, dan pertanian. Semua jurusan itu sangat dibutuhkan untuk membangun Indonesia di awal kemerdekaannya.

Di awal perjalanannya, kampus UI tersebar di tiga kota yaitu di Jakarta untuk Fakultas Kedokteran, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Hukum; di Bogor untuk Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan (FKH); dan di Bandung untuk Fakultas Teknik. Pemilihan lokasi di tiga kota tersebut bukan tanpa alasan. Sejak jaman Belanda, di Bandung telah berdiri sekolah teknik yang disingkat THS (Technische Hoge School), di Bogor juga telah berdiri Sekolah Dokter Hewan, dan di Jakarta adalah kota tempat mendidik para dokter muda dengan sekolahnya yang disebut Mosvia beserta fasilitas praktek yang dahulu dikenal sebagai Zieken Huise. Nama Zeiken Huise kemudian diganti menjadi RSUP dan terakhir dikenal dengan nama Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).

Pada tahun 1950 Faculteit voor Landbouw-wetenschappen berubah nama menjadi Fakultas Pertanian UI dengan tiga jurusan yaitu Sosial Ekonomi, Pengetahuan Alam, dan Kehutanan. Kemudian pada tahun 1957 dibentuk jurusan baru yakni Perikanan Darat. Adapun Faculteit voor Diergeneeskunde berubah nama menjadi Fakultas Kedokteran Hewan UI.

Berawal Dari Lembaga Ilmu Ternak

Seiring dengan mulai berjalannya Fakultas Kedokteran Hewan UI, muncul usulan pembentukan Lembaga Ilmu Ternak dan Lembaga Ilmu Makanan Ternak di dalam struktur Fakultas Kedokteran Hewan. Usul tersebut diajukan oleh Prof. Dr. Sutisno Djuned Pusponegoro, salah seorang staf pengajar Fakultas Kedokteran Hewan. Beliau adalah koordinator kegiatan operasional FKH dan Fakultas Pertanian UI di Bogor. Ini merupakan bagian dari sistem birokrasi, disebut sebagai interim rektor UI di Bogor. Usulan Prof. Djuned tersebut diterima dan dilanjutkan dengan pembentukan Lembaga Ilmu Ternak dan Lembaga Ilmu Makanan Ternak. Dr. Fisher ditunjuk sebagai ketua Lembaga Ilmu Makanan Ternak.

Pada tahun 1960, FKH dikembangkan menjadi Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan (FKHP). Sejak itu, dibuka dua minat studi yaitu Minat Utama Kesehatan Hewan (MUKES) dan Minat Utama Peternakan (MUTER). Program akademik di MUTER terkait dengan keilmuan yang diemban Lembaga Ilmu Ternak dan Lembaga Ilmu Makanan Ternak. Saat memasuki tahun ke tiga (setara dengan semester enam) mahasiswa FKH UI angkatan 1958-1959 dibagi sesuai peminatannya yaitu MUKES dan MUTER. Mahasiswa bagian MUTER telah diberi pelajaran peternakan pada tahun ketiga.

Pada tahun 1961, FKHP dikembangkan lagi menjadi FKHP-PL (Fakultas Kedokteran Hewan, Peternakan, dan Perikanan Laut). Kampusnya berlokasi di Taman Kencana, Bogor. Nama FKHP-PL menggambarkan adanya tiga jurusan yaitu Jurusan Kedokteran Hewan, Jurusan Peternakan, dan Jurusan Perikanan Laut. Pada masa itu di kampus tersebut sudah dilengkapi laboratorium Ilmu Peternakan. Mahasiswa baru FKHP-PL angkatan 1961 yang pada tahun 1962 telah naik ke tingkat II bergabung dengan mahasiswa angkatan di atasnya (angkatan tahun 1959 dan angkatan 1960 yang sering disebut “residivis”). Mereka diberi kesempatan memilih satu dari tiga jurusan tersebut. Pada saat itu, yang bertindak sebagai dekan FKHP-PL adalah Drh. Daman Danuwidjaja. Jurusan peternakan FKHP-PL UI itu merupakan cikal bakal berdirinya Fakultas Peternakan IPB.

Masih di tahun 1962 tepatnya pada tanggal 23 Juli 1962, panitia persiapan kurikulum Fakultas Peternakan di Indonesia membuat laporan berjudul “Konsiderasi Pendirian Fakultas Peternakan di Indonesia”. Dalam kata pengantarnya dinyatakan bahwa menindaklanjuti pesan Jang Mulia Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) yang disampaikan oleh Ketua Fakultas Pertanian UI Bogor dalam suratnya tertanggal 10 Juli 1962, No. 743/03, untuk menyusun kurikulum Fakultas Peternakan di Indonesia, telah dibentuk panitia persiapan kurikulum.

Susunan panitia terdiri atas Ketua merangkap anggota Dr. Didi Atmadilaga (bidang peternakan), dengan anggota lainnya Prof. Dr. J.H. Hutasoit (bidang Peternakan), Prof. Dr. Moh. Mansjoer (bidang kedokteran hewan) yang diwakili oleh Drs. Suratno, M.Sc., Ir. G. Satari (bidang Pertanian) dan Ir. A. Suharjo (bidang Pertanian). Selain menyusun kurikulum yang dibuat dalam lima tingkatan, panitia menggunakan kesempatan tersebut untuk mengemukakan pengukuhan gagasan pendirian Fakultas Peternakan tersendiri. Selain itu, panitia juga mengajukan agar tamatannya nanti dikukuhkan dengan undang-undang dan titelatur alumninya apakah Drs atau lainnya.

Panitia berpendapat bahwa, hingga tahun 1962, organisasi bidang peternakan di pemerintahan masih diselenggarakan oleh dokter hewan sesuai dengan hak historisnya sejak tahun 1905. Wewenang ini diperoleh karena dokter hewan telah terlebih dahulu mendapat kesempatan bekerja sebagai dokter hewan kavaleri Belanda. Ditinjau dari segi Pembangunan Nasional Semesta (istilah waktu itu) yang harus berjalan secepat mungkin, maka tugas ganda dokter hewan yakni menjaga kesehatan hewan serta bertanggung jawab memajukan usaha dan industri peternakan dirasakan makin berat.

Selain itu, seiring dengan kamajuan pesat dalam ilmu kedokteran hewan maupun dalam ilmu peternakan, mau tidak mau mahasiswa harus mengikuti kurikulum yang sedemikian penuhnya jika pendidikan kedokteran hewan dan pendidikan peternakan masih disatukan. Ini tentu saja akan memberatkan beban mahasiswa. Masa kuliah menjadi lama dan tidak efisien. Demikian pula dengan tugas-tugas pemerintahan di daerah yang menjadi tanggung jawab dokter hewan akan bisa terbengkalai.

Sebaliknya, jika tugas ganda itu dipisah menjadi bidang kesehatan veteriner dan bidang peternakan, efisiensinya akan jauh lebih besar.
Pemisahan tugas ini dengan sendirinya membawa konsekuensi, baik dalam organisasi jawatan maupun organisasi pendidikan. Dalam organisasi jawatan, dokter hewan yang sedang bertugas harus menghadapi dua pilihan, yang tergantung dari karya dan jasanya. Mereka yang lebih banyak pengalaman dan jasanya dalam kedokteran hewan masuk ke Jawatan Kesehatan Veteriner, sedangkan mereka yang karya, jasa, dan minatnya dalam bidang peternakan masuk ke Jawatan Peternakan. Pembentukan kedua jawatan ini selanjutnya menjadi wewenang pemerintah.

Pemisahan pendidikan kedokteran hewan menjadikan dua bidang yakni bidang kesehatan hewan dan bidang peternakan dapat memberikan keuntungan sebagai berikut. Pertama, pendidikan di masing-masing bidang dapat diselenggarakan secara lebih intensif. Kedua, masing-masing tempat pendidikan (Fakultas) dapat didirikan sendiri-sendiri sehingga bukan lagi kombinasi fakultas atau fakultas yang menyelenggarakan jurusan-jurusan.

Menurut keperluannya daerah tertentu dapat mendirikan Fakultas Kedokteran Hewan atau Fakultas Peternakan atau keduanya. Fakultas Peternakan menjadi fakultas terbaru dalam sejarah pendidikan pada saat itu. Jika diselenggarakan dengan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekitarnya dan lengkap dengan fasilitasnya, maka Fakultas Peternakan akan menjadi pusat pendidikan yang sangat berfaedah dan lebih mampu menunaikan kewajibannya dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian/penyuluhan.

Panitia persiapan kurikulum Fakultas Peternakan di Indonesia berketetapan bahwa penyusunan kurikulum diusahakan sedemikian rupa sehingga para lulusannya memperoleh bekal ilmiah gunalaksana yang kuat, pengalaman tangan pertama selama on the job training, dan mampu menghadapi masalah yang mungkin muncul di lapangan. Pendidikan di fakultas peternakan hendaknya dapat meyakinkan para lulusannya bahwa disamping dapat membaktikan jasa ilmiahnya kepada negara, mereka yang telah dibekali sikap kepemimpinan dapat pula bekerja di perusahaan swasta untuk membantu mengembangkannya, atau dapat juga memulai membangun perusahaan sendiri.

Pada saat rencana pendirian Fapet IPB tersebut, Prof Didi Atmadilaga menunjuk R. Edi Gurnadi mencari 10 orang untuk ditawari menjadi staf pengajar. Saat itu R. Edi Gurnadi mengajak mahasiswa yang sudah magang di Lembaga Ilmu Peternakan seperti Kartinah, Pallawaruka, Rachmat Herman, Dudung Supandi, dan lainnya. Masing-masing memilih bagian sesuai kompetensinya. Pallawaruka memilih ilmu ternak perah, Kartinah memilih ilmu ternak unggas, R. Edi Gurnadi dan Dudung Supandi memilih ilmu ternak daging dan kerja, sedangkan Rachmat Herman memilih ilmu ternak domba dan kambing.

Berdirinya Fakultas Peternakan

Prof JH Hutasoit, dekan pertama Fapet IPB

Dengan kesiapan yang dimiliki para staf pengajarnya, pada tanggal 1 September 1963, berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan (PTIP) Nomor 91 tahun 1963, Fakultas Pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Petemakan UI melepaskan diri menjadi bagian dari IPB dan disahkan oleh Presiden RI dengan Keputusan No. 2791 tahun 1965. Dengan berdirinya IPB, maka FKHP-PL UI yang saat itu dipimpin Drh. Daman Danuwidjaja dipecah menjadi tiga yaitu Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Perikanan. Ditambah dengan pembentukan Fakultas Kehutanan, maka pada saat itu IPB memiliki lima fakultas yaitu Fakultas Pertanian, Fakultas Kedokteran Hewan, Fakultas Perikanan, Fakultas Peternakan, dan Fakultas Kehutanan. Kelima fakultas ini yang menginspirasi logo IPB dengan gambar lima pucuk daun.

Dengan demikian mahasiswa pertama yang terdaftar di FKHP-PL UI bagian MUTER dan sudah berada di tingkat III pada tahun 1963 merupakan mahasiswa Fakultas Peternakan IPB angkatan minus-2. Ketika FKHP-PL masih berumur satu dan dua tahun, lokasi kampusnya di Taman Kencana Bogor. Kemudian saat FKHP-PL terbagi menjadi Fakultas Peternakan tahun 1963, lokasi kampus atau tempat perkuliahannya pindah ke Gunung Gede

Pada awal berdirinya Fapet IPB, berdasarkan kurikulum pendidikan peternakan, mata kuliah yang diberikan sangat banyak dengan alokasi waktu kuliah sekitar 6 enam tahun. Meski tidak semua mata kuliah bernuansa peternakan dikelompokkan secara tersendiri, tetapi sejak masih dalam perkuliahan bersama bidang kedokteran hewan, minat peternakan sudah mengerucut ke dalam ilmu produksi dan ilmu nutrisi. Mata kuliah lain yang terkait dengan pengembangan bidang peternakan juga ada, misalnya ilmu pengolahan hasil ternak.

Dengan pemisahan FKHP menjadi FKH dan Fapet, dahulu ada beberapa tokoh FKH yang kurang nyaman sehingga menimbulkan friksi di antara dokter hewan yang pro dan yang kontra. Bahkan ada tenaga pengajar asal Belanda yang kembali ke negaranya sempat berkirim surat ke Prof Didi Atmadilaga. Intinya dia masih keberatan jika Fapet memisahkan diri dari FKH karena lulusan FKH juga menguasai ilmu peternakan. Dikemukakan bahwa di Eropa dan di beberapa negara maju, peternakan masuk ke dalam lingkup kedokteran hewan dan nama fakultasnya adalah science veteriner.

Lepas dari catatan adanya friksi tersebut, sejarah mencatat, sejak berdirinya Fakultas Peternakan IPB, Pendidikan Peternakan terus berkembang di kampus lain di seluruh Indonesia yang menghasilkan sarjana peternakan yang berkiprah di berbagai industri peternakan maupun lembaga pemerintah.

Penulis : Bambang Suharno

Sumber : Buku 50 Tahun Fapet IPB (1963-2013)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *