Jika dicermati kinerja pertanian tanaman pangan di Indonesia, terutama padi sawah, sangat mencemaskan. Berdasarkan data BPS (diolah) selama kurun waktu 2013-2021 produktivitas padi nasional stagnan di level rata-rata 51,88 kuintal/Ha (lihat gambar). Hal ini mencerminkan bahwa berbagai upaya pemerintah untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi secara nasional belum berhasil.
Upaya-upaya yang sudah dilakukan cukup banyak antara lain, subsidi pupuk kimia, penggunaan bibit unggul, pasokan air irigasi, mekanisasi pertanian, kredit usaha tani, pengendalian hama-penyakit tanaman, dan berbagai inovasi dalam teknologi budidaya. Melihat fenomena itu, maka sangat wajar jika ada hipotesis bahwa ada suatu masalah yang sangat mungkin menghambat upaya peningkatan produktivitas tanaman.
Sejauh pengamatan penulis, selama puluhan tahun budidaya padi di Indonesia (sawah dan ladang) sangat minim bahkan lebih sering tidak ada penggunaan pupuk organik (pupuk kompos, pupuk kandang, atau bentuk pupuk organik lainnya). Pemberian pupuk untuk tanaman lebih didominasi oleh penggunaan pupuk kimia (urea, ZA, TSP, KCl, dll.). Cara budidaya tanaman semacam ini telah disadari oleh semua kalangan kurang bagus. Namun, ‘entah kenapa’ praktik bertani seperti ini, yang sudah diyakini kurang baik, masih saja terus berlanjut hingga saat ini. Pertanyaan ini harus segera dijawab, sebelum muncul pertanyaan masyarakat: ahli pertanian dan pemerintah kita ini ‘ngapain aja’?
Patut diduga kegagalan mendongkrak produktivitas tanaman padi setelah berbagai upaya dilakukan disebabkan oleh semakin menurunnya kualitas lahan pertanian. Setelah puluhan tahun dicurahi pupuk kimia dan praktik memungut keseluruhan hasil panen (padi) dan biomassa sisa panen (jerami padi) menyebabkan kadar bahan organik tanah makin menurun. Penurunan kadar bahan organik tanah berimplikasi langsung terhadap kehidupan konsorsium organisme tanah (soil microbe-flora & fauna). Akibat negatif lainnya adalah penurunan sifat-sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, termasuk agregat tanah, kemampuan menahan air, penurunan beberapa enzim tanah, kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara, dll.
Resultan dari semua gangguan ketidakseimbangan pada ekosistem tanah adalah tidak mampunya lahan mendukung tingkat produksi tanaman yang tinggi. Terkait dengan situasi ini dapat digunakan istilah awam bahwa lahan pertanian di Indonesia ‘sudah lelah’ untuk mendukung produktivitas tanaman yang tinggi. Lahan pertanian yang sudah lelah ini harus segera dipulihkan kondisinya.
Mencermati problem pertanian dan pangan yang dihadapi Indonesia saat ini, penulis berkeyakinan bahwa menghadirkan komponen ternak dalam sistem usaha tani dapat menjadi alternatif solusi cerdas untuk memulihkan lahan pertanian di Indonesia. Integrasi usaha ternak-tanaman (crop-livestock system) selain terbukti ampuh mendukung sistem pertanian yang berkelanjutan, juga dapat mengatasi kondisi defisit produk ternak nasional (daging dan susu) yang juga makin mencemaskan.
Penggunaan kotoran ternak sebagai pupuk organik selain berdampak positif terhadap perbaikan sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, juga akan mengoreksi kelangkaan mineral mikro tanah yang diduga sudah menjadi salah satu faktor pembatas peningkatan produktivitas. Pada pasokan zat-zat nutrisi untuk tanaman dikenal istilah “Liebig’s law of minimum”, yang menjelaskan bahwa produksi tanaman tidak ditentukan oleh jumlah ketersedian seluruh zat nutrisi tetapi ditentukan oleh zat nutrisi yang paling defisien.
Praktik memungut keseluruhan hasil panen dan biomassa sisa panen, selain menyebabkan kadar bahan organik tanah menurun, juga menyebabkan kadar mineral tanah (makro dan mikro) terkuras. Mineral makro tanah (K, Ca, N, S, dan P) bernasib baik karena selalu akan ‘dikembalikan’ melalui pupuk kimia (Urea, ZA, TSP, dan KCl).
Tetapi nasib mineral mikro tanah sering tidak diperhitungkan dan luput dari perhatian, sehingga beberapa mineral-mineral mikro ini mungkin sudah ‘terperangkap’ dalam situasi Liebig’s law of minimum. Penggunaan pupuk kandang, terutama yang berasal dari feses unggas secara bertahap dapat mengatasi fenomena ini. Ketika menyusun ransum, para formulator ransum selalu memastikan suplementasi mineral, termasuk mineral mikro, yang tentu tidak semuanya tercerna dan kelak sebagian akan ke luar melalui feses.
Tulisan ini disusun untuk bahan suplemen dalam Rakernas ISPI 2022. Harapan penulis kiranya PB ISPI dapat berjuang meyakinkan pemerintah dan pihak terkait lainnya bahwa diperlukan kebijakan strategis guna menghadirkan ternak dalam sistem usaha tani untuk pemulihan lahan pertanian. Bagaimana cara menghadirkannya, tentu PB ISPI bisa diajak berdiskusi. Selamat Rakernas ISPI, salam dari Lampung, Tabik Pun !