Fluktuasi harga produk asal unggas terus terjadi hingga saat ini. Oversupply disinyalir menjadi salah satu faktor yang membuat hal ini terus terjadi.
Usaha perunggasan baik pedaging dan petelur menjadi salah satu komoditas ternak paling strategis dalam upaya pembangunan sumber daya manusia. Keberlanjutan ketersediaan dan keterjangkauan membuat daging dan telur ayam ras banyak digemari oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut juga dibarengi dengan perkembangan yang sangat pesat pada industri pendukungnya. Namun demikian , di tengah potensi dan perkembangannya, masalah klasik fluktuasi harga jual ayam hidup atau livebird (LB) serta telur di tingkat peternak menjadi sebuah pekerjaan rumah yang harus dipikirkan bersama.
Seperti kita tahu, bahwa harga suatu komoditas selalu berhubungan dengan hukum permintaan dan penawaran. Hal ini merupakan sebuah kelaziman dalam mekanisme pasar. Begitu pun pada komoditas produk unggas. Seperti contoh, beberapa tahun lalu ketika kasus Covid-19 sedang tinggi dan berhasil mengguncang perekonomian Indonesia, sehingga daya beli masyarakat melemah, serapan dan permintaan produk unggas menurun sehingga membuat harga jatuh. Ataupun saat momen puasa/lebaran, dimana harga produk unggas kecenderungannya naik karena permintaan yang tinggi dari masyarakat.
Fluktuasi harga pada 2 komoditas produk unggas pun masih terjadi pada bulan ini. Berdasarkan data yang telah dihimpun oleh Poultry Indonesia melalui asosiasi Pinsar Indonesia memperlihatkan bahwa sepanjang bulan telah terjadi fluktuasi harga telur ayam ras tingkat peternak di berbagai daerah di Indonesia. Gejolak harga cukup nyata terjadi di Blitar sebagai sentra produksi, yang mana pada minggu pertama, harga telur di daerah ini berada di kisaran Rp22.000,00/kg. Dengan demikian harga tersebut berada di bawah harga acuan pembelian/penjualan (HAP) Perbadan no 5 tahun 2022. Memasuki minggu kedua harga mulai naik dan berhasil berada di atas HAP, namun kembali terpuruk pada minggu berikutnya.
Kemudian, untuk daerah pantauan lain,, fluktuasi harga juga berlangsung. Kendati tidak sampai berada di bawah HAP, namun gejolaknya juga berlangsung sepanjang bulan. Seperti di daerah Bandung, dengan harga jual tertinggi sebesar Rp24.500,00/kg dan terendah pada level Rp23.200,00/kg. Tak terkecuali bagi daerah di luar pulau Jawa. Seperti Aceh dengan harga jual yang stabil diangka Rp25.600/kg dan di akhir bulan Februari justru tingkat harga jatuh di level Rp20.300/kg. Sedangkan untuk daerah Kalimantan, terkhusus Balikpapan harga telur ayam ras stabil tinggi dikisaran Rp27.000,00-28.000,00/kg.
Di sisi lain, gejolak lebih berat dirasakan oleh para pelaku usaha ayam ras pedaging. Berbeda dengan telur yang gejolaknya masih berada di atas atau sedikit di bawah HAP, harga LB bergejolak di bawah HAP, bahkan dengan selisih cukup jauh. Berdasarkan daerah yang dipantau Poultry Indonesia, hampir semua harga LB ditingkat peternak berada di bawah HAP. Bogor sebagai daerah penyangga Ibukota Jakarta harus menerima harga jual yang rendah di kisaran Rp16.500,00-19.250,00/kg. Kemudian Semarang sebagai daerah yang juga berada pulau Jawa juga bernasib serupa, dengan harga jual LB dikisaran Rp15.250,00-17.250,00/kg.
Setali tiga uang, kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di luar pulau Jawa. Yang mana Lampung dan Makassar sebagai sampel pantauan menerima harga jual LB di kisaran Rp15.000,00-18.000,00/kg. Kemudian serupa dengan telur, daerah Balikpapan masih perkasa dengan harga yang tinggi mencatatkan harga tertingga Rp27.250,00/kg dan harga terendah Rp20.000,00/kg.
Terpuruknya harga jual LB di tingkat peternak ditengarai karena oversupply yang berlebihan dan susah untuk dikendalikan. Dalam sebuah seminar daring, Minggu (19/2) I Gusti Ketut Astawa selaku Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilisasi Pangan, Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) menjelaskan bahwa berdasarkan prognosa daging ayam nasional tahun 2023, menunjukkan bahwa terjadi potensi surplus produksi hampir setiap bulan kecuali pada Maret 2023. Secara keseluruhan pada akhir tahun 2023 terjadi potensi surplus sebesar 538,999 ton. Menurut Ketut hal ini harus diperhatikan, karena apabila posisi setiap bulan seperti ini, maka harga di peternak akan susah untuk diangkat.
“Di ayam ras pedaging ini cukup berbeda dengan komoditas pangan lain, seperti halnya beras. Walaupun terjadi surplus di beberapa bulan ketika panen raya, namun terdapat bulan yang produksinya kosong sehingga produksi surplus dapat menutup kebutuhan di bulan lain. Berbeda dengan ayam ras pedaging yang hampir setiap bulan terjadi surplus produksi. Untuk itu, hal inilah yang harus bersama kita cari solusinya,” terang Ketut.
Terkait harga, Ketut mengakui bahwa di beberapa wilayah memang masih terdapat tingkat harga yang rendah dan di bawah harga acuan. Seperti halnya di Jawa Tengah, dimana harga LB di tingkat peternak per 17 Februari berada di kisaran Rp18.000,00/Kg. Dirinya melanjutkan beberapa hal yang telah dilakukan NFA untuk menyikapi hal tersebut adalah penetapan Harga Acuan Pembelian atau Penjualan (HAP) berdasarkan Perbadan No 5 Tahun 2022. Hal ini sebagai pedoman intervensi kebijakan yang akan dilakukan oleh NFA apabila terdapat fluktuasi perunggasan.
“Selain itu kebijakan jangka pendek yang telah dilakukan oleh NFA untuk mengendalikan harga LB di tingkat farm adalah dengan memfasilitasi mobilisasi daging ayam serta memfasilitasi penyerapan LB oleh BUMN pangan dan perusahaan integrator. Kemudian NFA juga telah menyiapkan beberapa cold storage sebagai stabilisasi pasokan dengan peningkatan umur simpan pangan perishable. Walaupun sistem rantai dingin telah dikembangkan, tapi oversupply berlebihan masih terjadi fenomenanya pun akan sama saja. Untuk itu pengendalian produksi tetap harus berjalan dengan baik,” tambahnya.
Masih dalam acara yang sama, Singgih Januratmoko, Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan (Pinsar) Indonesia menyampaikan bahwa selama beberapa tahun terakhir peternak ayam ras pedaging menghadapi gonjang-ganjing yang luar biasa dan menyebabkan banyak peternak yang merugi. Saat ini pun, Singgih melanjutkan peternak banyak mengalami masalah pembayaran dengan pabrik pakan, bahkan ada yang sampai dibawa ke meja pengadilan (PKPU).
“Kondisi berat juga dirasakan oleh usaha budi daya breeding, di awal tahun 2023 harga DOC jatuh hingga Rp1.500,00/ekor. Kalau kita melihat kebelakang, seharusnya panen saat ini sudah membaik karena impor GPS nya sudah berkurang. Namun ternyata, praktik di lapangan secara genetik ayam telah bekembang sehingga produksi GPS ke PS dan berlanjut ke FS sudah semakin baik. Jadi hal itu membuat kesalahan hitung dan berlanjut ke oversupply hingga di peternak. Perhitungan ini tentu harus menjadi koreksi. Apabila hal ini tidak segera tertangani dengan baik, maka kondisinya akan sama seperti peternak mandiri yang jumlahnya semakin kecil. Artinya para breeding kecil pun juga akan tidak mampu bertahan apabila kondisi seperti ini terus,” tegasnya.
inggu (19/2) eminar daring, yang berlebihan dan susah untuk dikendalikan. ang tinggi Dirinya juga menyinggung walaupun saat ini juga sudah ada kebijakan cutting dikeluarkan,namun harga LB juga tidak mampu terangkat. Singgih melihat hal ini disebabkan karena hitungannya yang kurang tepat. Dan saat ini, lanjut Singgih berdasarkan info yang didapatkan di cold storage terdapat 200 ribu ton lebih karkas atau setara dengan produksi 1 bulan DOC. Jadi apabila dulu oversupply berada di kandang, tapi sekarang di kandang dan di cold storage. Sandi
*Artikel sebelumnya telah dipublikasikan pada majalah Poultry Indonesia