Dalam berbagai kesempatan menghadiri acara panen pedet diberbagai tempat di Indonesia Minggu lalu, Menteri Pertanian kita, Syahrul Yasin Limpo mengatakan bahwa dari perkembangan sapi dan pedet yg ada beliau yakin bahwa swasembada daging sapi dapat tercapai. Senyampang menikmati gurihnya steak daging sapi Bali Mentan tidak secara jelas tahun berapa Swasembada tersebut akan dapat diraihnya.
Pernyataan Mentan yg optimistik tersebut tentunya untuk dapat memacu dan mendorong bawahannya agar bekerja lebih keras lagi untuk meningkatkan produksi dan populasi sapi lokal yg selama ini pertumbuhannya terseok-seok tidak lebih dari 2% pertahun untuk pertumbuhan populasinya dan hanya 0, 75% pertumbuhan produksi dagingnya, sementara tingkat pertumbuhan konsumsi daging sapi sudah diatas 9% (dihitung setara dg konsumsi protein hewani) pertahunnya selama kurun waktu 2014-2019.
Akibatnya sejak tahun 1992 Indonesia terpaksa melakukan impor daging dan sejak tahun 2000 an impor sapi bakalan besar²an dari Australia, guna memenuhi demand masyarakat yg semakin meningkat akan produk daging sapi terutama tuntutan akan daging yg berkualitas seiring dg peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat._ _Kalau disetarakan dengan ternak sapi hidup, impor daging dan sapi bakalan itu sama dengan kita mendatangkan sapi 1,5 juta ekor setiap tahunnya.
Saat ini hampir 30-40% kebutuhan akan daging sapi dilakukan impor dalam bentuk daging dan ternak hidup bakalan. Ternak hidup bakalan ini digemukkan dulu di Indonesia selama 4 bulan kemudian dipotong di RPH di berbagai sentra produksi di Indonesia yg dilakukan oleh pihak swasta/importir. Perkembangan ini akhirnya membentuk tiga tipe industri sapi potong Indonesia yg secara garis besar terdiri *pertama* , industri pembibitan dan pembiakan serta penggemukan sapi rakyat. *Kedua*, pembibitan dan penggemukan pemerintah serta *ketiga* industri penggemukan (feedlooter) dan daging yang dilakukan swasta.
Sejatinya wajah industri sapi potong ini adalah bentuk yg ideal : peternak rakyat, pemerintah dan swasta.untuk menghasilkan daging sapi dan produk lainnya. Tetapi apa lacur ketiga komponen ini masing² berbisnis sendiri² sesuai dengan sifat bisnisnya. Pemerintah akhirnya berkehenhdak ingin menciptakan harga daging murah, berkualitas dan terjangkau masyarakat, sementara peternak Rakyat dengan skala peternakannya belum ⁰dapat memenuhi acuan harga yg ditetapkan pemerintah karena beternak sapi hanya bersifat tabungan yg akan dijual pada hari raya menunggu saat harga sapi tinggi. Sementara swasta terus saja melakukan impor dan penggemukan dg acuan harga pasar yg berlaku di Indonesia. Jadi, pemerintah belum berhasil mengkolaborasikan kepentingan antar ketiganya dan malahan melakukan jalan pintas dengan impor daging kerbau hanya utk menurunkan harga daging agar turun seperti harga daging di Malaysia dan Singapura yg bisa dibawah Rp.100 ribuan.
Selain itu pemerintah menginginkan agar dapat mencapai tujuan swasembada daging sapi. Menurut perhitungan pemerintah di rencanakan pada tahun 2026 Indonesia diproyeksikan sdh dapat berswasembada sebagai bagian Indonesia menjadi lumbung pangan dunia di tahun 2045 kelak. Keinginan berswasembada daging sapi ini sebenarnya tercetus sejak tahun 2000. Berbagai upaya telah dilakukan oleh lima Menteri Pertanian dan sembilan Dirjen Peternakan yang ada. Tetapi para Menteri dan kesembilan Dirjen itu belum ada yg berhasil meraih swasembada. Mulai dari membuat program khusus swasembada, GBSB (Gertak Berahi Sapi Bunting), Sekolah Peternakan Rakyat, UPSUS Sapi Betina Wajib Bunting, Gerakan IB Masif sampai terakhir saat ini dg Sikomandan (Sapi dan Kerbau Andalan Nasional) serta Desa 1000 Sapi. Padahal Blue Print yg terukur jelas pertahunnya telah dibuat pada tahun 2010 an.
Swasembada Ditinggalkan?
Sementara itu pada tahun 2011 Tim OECD telah berdiskusi dg pihak Kementan bahwa kebijaksanaan Swasembada itu merupakan langkah yg kurang tepat dan keliru. Waktu itu ditentang habis²an oleh Kementrian Pertanian termasuk Ditjen Peternakan saat itu karena paradigma Swasembada masih kental menyelimuti para perencana kita. OECD berpendapat bahwa hampir dapat dipastikan suatu negara didunia tidak dapat melakukan Swasembada komoditi sepenuhnya melihat sistem perdagangan komoditi didunia yg telah menganut rezim perdagangan bebas antar negara sehingga menurut OECD lebih penting mengambil kebijakan ketahanan pangan.
Sehingga mulai tahun 2018, mulai timbul pemikiran bukan untuk swasembada daging sapi tapi swasembada protein hewani yg masih rendah tingkat pencapaiannya di Indonesia. Swasembada protein hewani mengandung arti tidak lagi dari daging sapi tetapi dari berbagai komoditi ternak yg lainnya yaitu dari daging kambing, domba, babi, unggas dan telur serta susu. Memang benar adanya, dikaitkan dengan *Pola Pangan Harapan* (PPH) Indonesia justru tertinggal dalam pencapaian PPH karena sebagian besar digandoli oleh masih rendahnya nilai PPH pangan asal hewan (termasuk ikan) yang memiliki bobot cukup besar dalam PPH yaitu 20% dari sembilan kelompok pangan lainnya._Rendahnya nilai PPH mencerminkan masih rendahnya konsumsi suatu kelompok pangan, dalam hal ini pangan hewani asal ternak daging, telur dan susu yang harus berkontribusi pada nilai PPH nya sebesar 100. Tingkat pencapaian PPH pangan hewani masih ada dalam kisaran nilai 70. Masih cukup berat untuk mencapai nilai 100. Yang justru nilainya melampaui adalah kelompok pangan padi²an ( karbohidrat) yg mengakibatkan banyak penduduk menderita diabetes mellitus type 2 menurut Riskesdas, Riset Kesehatan Dasar Kemenkes.
Jadi swasembada komoditi misalnya daging sapi sudah banyak ditinggalkan bergeser jadi pendekatan komoditi ke nutrisi. Dari daging sapi ke protein hewani. Orang tidak lagi bermimpi ingin berswasembada daging sapi tetapi bergeser jadi swasembada protein hewani. Pendekatan ini dipandang lebih tepat karena pendekatannya lebih komprehensif , menyeluruh dan tidak parsial yang melibatkan seluruh komoditi dalam kelompok pangan tetentu. Singapura, Jepang dan Korea Selatan misalnya Ketahanan pangannya nomor Wahid didunia padahal sumber daya alamnya miskin. Karena mereka melakukan food grabbing, yaitu menanam dan panen di negara lain kemudian dia olah jadi bahan pangan dan malahan diekspor selain utk kebutuhan dalam negerinya. Toh kandungan nutrisinya sama² menghasilkan protein hewani yg sama² dibutuhkan oleh tubuh manusia untuk mengganti sel² yg rusak kalau itu pangan asal ternak.
Dampak positifnya, tidak dapat dipaksa suatu bangsa untuk swasembada daging sapi misalnya. Karena masih ada keunggulan lainnya yg sama² menghasilkan protein hewani sesuai dengan keunggulan di suatu wilayah. Jadi,upaya swasembada itu berarti pengembangan komoditi sumberdaya lokal yg kita miliki dan bukan dengan memakmurkan petani luar negeri……
Depok, 28 Agustus 2020
M. Chairul Arifin