Oleh: Joko Susilo dan Nuzul Widyas
Mengapa Indonesia memerlukan kemandirian bibit?
Dalam sebuah pertemuan dengan Asosiasi Peternak Rakyat Unggas Lokal beberapa waktu lalu, terbersit sebuah ide yang cukup bagus dari pengurus APRUL (Asosiasi Peternak Rakyat Unggas Lokal) yakni bagaimana mengatasi kesulitan penyediaan bibit bagi para anggota. Tidak kurang hampir 2 jam berdiskusi membahas sebuah tema “Mencari Solusi untuk menghidupkan peternak mandiri sebagai penggerak ekonomi kerakyatan”.
Petanyaan yang menggelitik sekaligus sebuah aoutokritik untuk para pelaku usaha budidaya ayam lokal adalah kenapa harga doc nya mahal? Karena kesan mahal ini menyebabkan kreatifitas akhirrnya muncul dengan cara instan untuk mendapatkan doc Ayam Kampung kualitas kedua atau penampakannya ayam kampung tetapi berasal dari indukan ayam Petelur (dan ini sudah menjadi pemakluman semua pihak). Akankah negara kita membiarkan kondisi ini secara terus menerus berlangsung, sehingga justru mematikan usaha pembibitan yang benar-benar memurnikan dan megawinkan dari sumber ayam lokal asli indonesia?
Di Indonesia, selain strain ayam komersial, terdapat pasar khusus untuk ayam lokal baik pedaging maupun petelur. Meskipun pasar produk unggas local ini cukup besar dan terus meningkat, namun ketersediaan bibit yang berkualitas menjadi masalah yang paling besar dalam perkembangan peternakan unggas local. Breeding unggas local saat ini dilakukan oleh breeder swasta local atau oleh Satuan Kerja (Satker) perbibitan dibawah Dinas Peternakan dimana akses terhadap pendanaan dan teknologi breeding mutakhir relatif terbatas. Dalam kondisi demikian, diperlukan adanya desain program breeding yang sederhana dan aplikatif demi menjamin ketersediaan bibit ayam local baik secara kualitas maupun kuantitas.
Pengembangan Bibit AYAM Maron
Salah satu Satker pembibitan dibawah Dinas peternakan Propinsi yang mengembnagkan bibit ayam local kalua boleh saya sampaikan adalah UPT Pembibitan Ayam Lokal Maron Temanggung, Balai Budidaya dan Pembibitan Ternak Terpadu, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Jawa Tengah ini beralmay diJl. S. Kadar Maron, Sidorejo, Kec. Temanggung, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, satu tahun terakhir kami menggunakan bibit betina dan pejantan berasal dari UPT Maron.
Pola Breeding yang dilakukan dapat dilihat pada gambar 1 berikut:
Identifikasi Breeding Ayam Maron :
- Pemurnian Ayam Kedu
Ayam Kedu memiliki keunggulan pada kualitas daging yang khas ayam kampung, namun lambat di pertumbuhan dan memiliki sifat mengeram. Permintaan bibit Ayam Kedu murni terbatas pada konsumen Breeder dimana ayam akan dikembangkan lebih lanjut sesuai skala pasar Breeder tersebut. Peternak di tatanan Niaga kurang menyukai Ayam Kedu Murni karena pertumbuhan lambat, sehingga di Satker Ayam Maron dilakukan pemurnian dan persilangan Ayam Kedu untuk menangkap situasi pasar unggas lokal tersebut
- Permurnian Ayam Lingnan
Ayam Lingnan adalah ayam kampung yang berasal dari China, memiliki keunggulan pada pertumbuhan cepat dengan bobot dewasa jantan mencapai 2,5 – 3 Kg. Namun kualitas daging kurang disukai.
- Pemurnian Ayam Arab Sembawa
Ayam Arab yang digunakan di Satker Ayam Maron adalah Ayam Sembawa yang berasal dari BPTU_HPT Sembawa Kementan di Palembang dengan keunggulan produksi telur tinggi mencapai 240 butir/tahun, tidak memiliki sifat mengeram, namun pertumbuhan lambat dan postur tubuh kecil.
Konsep Breeding
Ketika dihadapkan pada istilah “breeding”, masyarakat peternakan Indonesia otomatis mengasosiasikannya dengan perkawinan. Padahal, kegiatan dalam breeding meliputi banyak hal dimana perkawinan adalah salah satu diantaranya. Breeding adalah suatu rangkaian kegiatan untuk menghasilkan ternak generasi berikutnya dengan kualitas genetis yang lebih unggul dibanding dengan generasi sebelumnya.
Program breeding dimulai dengan melihat tujuan ternak dipelihara (misal sebagai penghasil daging, susu atau telur) untuk selanjutnya menentukan sifat-sifat apa saja yang ingin ditingkatkan. Langkah berikutnya adalah mengidentifikasi system produksi yang meliputi bagaimana ternak tersebut dipelihara, dimana lokasinya dan siapa yang akan melaksanakan program breeding (breeder). Hal ini terkait sumberdaya (alam dan manusia) dan besaran investasi yang dapat dicurahkan dalam pelaksanaan program breeding.
Setelah informasi penunjang tersebut diperoleh, breeder harus mendesain program seleksi yang diawali dengan pengumpulan data tentang sifat-sifat yang menjadi tujuan breeding. Data yang diperoleh (fenotip, silsilah kekerabatan dan data molekuler) diolah untuk mendapatkan nilai pemuliaan yang merupakan kriteria untuk melakukan seleksi. Berdasarkan nilai ini, maka makan muncul kandidat-kandidat tetua jantan dan betina unggul.
Selanjutnya diperlukan desain perkawinan yang terstruktur dengan baik agar individu-individu unggul ini dapat menghasilkan populasi di generasi berikutnya dengan rerata performan yang lebih tinggi dari generasi tetuanya. Program breeding perlu dievaluasi setiap generasi untuk mengetahui efektifitas dan efisiensinya. Jika kurang optimal, maka program breeding dapat diperbaiki untuk mendapatkan respons yang lebih baik.
Breeding unggas komersial
Breeder unggas pemilik strain komersial baik broiler maupun layer pada umumnya adalah perusahaan-perusahaan multinasional (contoh: Lohmann, Cobb, Hendrix Genetics, H&N International, dll). Strain komersial yang mereka miliki merupakan hasil penggabungan beberapa galur murni yang komposisi genetiknya adalah “resep rahasia” dari perusahaan-perusahaan tersebut. Di era genomic saat ini, galur murni ini merupakan Recombinant Inbred Line (RIL), dimana DNA mereka telah dirancang sedemikian rupa melalui serangkaian proses seleksi dan perkawinan sehingga seragam dan dapat dengan mudah digunakan untuk memetakan Quantitative Trait Loci (QTL).
QTL adalah lokasi pada genom yang diketahui terkait dengan sifat-sifat produksi; informasi ini sangat penting bagi strain komersial. Galur-galur murni ini kemudian dikawinkan silang menurut desain tertentu untuk menghasilkan final stock (FS) yang diinginkan seperti pada Gambar 2. Investasi yang diperlukan untuk membuat dan menjaga RIL ini sangat besar; sehingga program breeding seperti ini tidak sesuai diterapkan oleh breeder-breeder dengan kemampuan investasi terbatas.
Desain breeding unggas sederhana
Ayam local pedaging yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia saat ini diberi label sebagai “ayam kampung”. Ayam kampung memiliki variasi yang tinggi baik dari segi bobot potong, warna bulu, warna jengger dan juga warna kakinya (shank). Dengan kondisi ini, ayam kampung di pasar konsumsi tidak direkomendasikan untuk dijadikan bibit (tetua) karena proses seleksi akan sangat kompleks.
Sebagai ilustrasi, breeder bertujuan untuk menghasilkan ayam pedaging local. Pertama-tama perlu diidentifikasi sifat-sifat apa saja yang perlu diperhatikan dalam program breeding. Dalam hal ini sifat yang menjadi tujuan seleksi adalah Pertumbuhan Bobot Badan Harian (PBBH) yang tinggi, warna bulu yang beragam dan shank berwarna abu-abu hingga kehitaman (preferensi pasar untuk ayam kampung). Pelaku breeding adalah breeder local dengan investasi terbatas, informasi yang tersedia saat ini adalah fenotip (performan) sehingga seleksi hanya dilaksanakan berdasarkan data ini.
Di beberapa daerah, ada ayam kampung yang terlah dipelihara sejak lama oleh masyarakat setempat; sehingga adaptif dan memiliki karakteristik yang cenderung seragam dan dapat dibedakan dengan jenis ayam local lain. Ayam kedu pada umumnya terdiri dari ayam kedu hitam (jengger merah dan jengger kehitaman) serta kedu putih jengger merah. Ayam kedu yang terseleksi memiliki PBBH tinggi. Namun, ayam kedu memiliki sifat mengeram; sehingga perkembangbiakannya lambat dan tidak sesuai jika digunakan sebagai galur betina; maka ayam kedu potensial digunakan untuk galur jantan. Ayam Arab memiliki produksi telur yang tinggi dan tidak mengeram; maka ayam ini potensial untuk digunakan sebagai material galur betina.
Jika ayam Kedu terseleksi dikawinkan dengan ayam Arab, maka diharapkan akan diperoleh ayam silangan dengan perkembangbiakan cepat dan PBBH tinggi. Namun demikian muncul masalah baru terkait preferensi pasar. Ayam Kedu memiliki warna bulu hitam atau putih sedangkan ayam Arab berwarna seragam hitam bercak putih; maka warna bulu pada silangannya diduga akan monoton dan kurang bervariasi. Untuk itu diperlukan materi genetic yang berasal dari ayam jenis lain dengan warna bulu selain hitam dan putih. Setelah menyisir data ayam local, maka diperoleh ayam Merawang dengan warna bulu cokelat, merah dan kuning keemasan. Ayam ini bertipe dwiguna, ukuran tubuh rata-rata lebih besar dari ayam kampung dan mengeram. Preferensi pasar berikutnya adalah warna shank yang abu-abu sampai kehitaman. Karakteristik ini dimiliki oleh ayam Kedu bulu hitam (baik jengger merah maupun jengger kehitaman); sehingga Ayam Kedu harus dalam kondisi murni Ketika disilangkan, agar warna shank ini terekspresi.
Berdasarkan informasi diatas, maka dapat didesain system perkawinan sebagai berikut: terminal cross dilakukan antara ayam Merawang jantan dan ayam Arab betina; yang keturunannya kemudian disebut ayam MA. Ayam MA betina diharapkan memiliki produksi telur tinggi, tidak mengeram, warna bulu beragam dengan warna kaki putih-kuning. Ayam Kedu jantan hitam terpilih kemudian digunakan untuk mengawini ayam MA betina; sehingga diharapkan diperoleh ayam final stock (FS) dengan jumlah yang optimal tiap periodenya (karena induknya produktif sebagai penghasil telur), PBBH tinggi dan warna bulu yang lebih beragam. Namun setelah menjalankan desain ini ternyata hanya 75% FS yang memiliki shank kehitaman. Setelah dipelajari, ternyata ada aspek genetic yang membuat keturunan ayam kedu memiliki warna kaki yang kurang seragam. Informasi genetic molekuler diperlukan untuk menentukan pejantan Kedu mana yang memiliki materi genetic penghasil warna kaki hitam. Melalui teknologi ini, maka akan dapat dihasilkan FS kaki hitam hingga 99%.
Demikian ilustrasi dari sebuah program breeding aplikatif beserta manfaat tiap langkah dan informasi yang digunakan. Perlu diingat, jika akan mengadopsi program breeding seperti ini, maka ayam-ayam murni sebagai sumber daya genetik tetap harus dipertahankan dengan baik agar suplai galur murni tetap berkelanjutan. Semakin tinggi kualitas ayam-ayam local, maka produk FS yang dihasilkan melalui scenario ini akan semakin baik. Selain itu, pelestarian ayam local di wilayah asal masing-masing akan berfungsi sebagai pengganti tahap pembentukan RIL (meskipun tidak identik); sehingga dapat memangkas waktu dan biaya pelaksanaan program breeding. Dari uraian diatas sangatlah kita pahami, bahwa untuk menghasilkan bibit ayam local yang bener-sesuai harapan peternak tidaklah mudah, olehb karena itu sangatlah wajar bila harga bibit ayam local murni juga dihargai dengan harga wajar sebagai kreatifitas anak bangsa.
Artikel sebelumnya sudah dipublikasikan di Majalah Poultry Indonesia (www.poultryindonesia.com) edisi Maret