Lampung Lumbung Ternak: Antara Harapan dan Kenyataan

Ketika bersilaturahim dengan pemimpin perguruan tinggi negeri dan swasta se-Provinsi Lampung, Gubernur Arinal Djunaidi menyampaikan bahwa beliau mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kapasitas Lampung sebagai lumbung ternak nasional. Harapan Presiden tentu harus disambut dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa dengan resources yang ada hal tersebut secara bertahap dapat diwujudkan. Bahkan penugasan khusus dari Presiden tersebut dapat menjadi momentum pemerintah daerah untuk meningkatkan peran subsektor peternakan dalam perekonomian daerah, termasuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesempatan kerja/berusaha, dan peningkatan PAD. 

Harapan yang disampaikan Presiden tentu sangat beralasan dan cukup realistis. Lampung dinilai berpotensi untuk berkontribusi signifikan dalam mengatasi salah satu masalah besar nasional di bidang pangan, yaitu defisit daging sapi yang terus membesar. Tahun 2015 produksi sapi siap potong nasional hanya sekitar 2,4 juta ekor (setara 416,1 ribu ton daging). Sedangkan kebutuhan ternak sapi untuk dipotong mencapai sekitar 3,8 juta ekor (setara 653,9 ribu ton daging). Berarti pada tahun 2015 ada defisit sebesar 1,4 juta ekor sapi yang setara 237,88 ribu ton daging. Defisit inilah yang selalu diatasi melalui impor sapi bakalan dan daging beku. 

Ditinjau dari berbagai aspek, Lampung memang daerah yang sangat layak untuk pengembangan agribisnis sapi potong. Kelayakan ini menjadi daya tarik khusus, sehingga hampir semua perusahaan besar penggemukan sapi berinvestasi di Lampung. Potensi SDM, sumber daya alam, kelembagaan, dan infrastruktur lainnya sangat menunjang untuk mendukung pengembangan Provinsi Lampung sebagai sentra produksi ternak sapi. Para peternak, tenaga inseminator, balai inseminasi buatan, poskeswan, perguruan tinggi dan lembaga litbang, industri/swasta, lembaga pembiayaan, serta pelaku bisnis sapi potong lainnya siap digerakkan Gubernur dalam “orchestra” menuju Lampung lumbung ternak. 

Salah satu akar permasalahan agribisnis sapi potong nasional adalah populasi sapi potong yang terlalu kecil. Populasi sapi potong nasional hanya sekitar 12.329.477 ekor (BPS- ST2013), sangat kecil untuk negara sebesar Indonesia dengan penduduk lebih dari 265 juta. Fakta ini mencerminkan bahwa upaya mempercepat peningkatan basis populasi sapi potong nasional harus menjadi agenda prioritas pemerintah. Pada sisi lain, upaya meningkatkan populasi sapi potong dipastikan bukan pekerjaan mudah. Selama puluhan tahun upaya pemerintah belum pernah berhasil signifikan dalam program ini. Sejumlah masalah dasar harus diatasi. Oleh karena itu, program pengembangan Lampung lumbung ternak harus dirancang dengan cermat.

Masalah lain yang perlu dianalisis secara cermat adalah struktur agribisnis sapi potong nasional tidak proporsional. Sejumlah 97.5% populasi sapi potong berada di tangan petani kecil dengan rata-rata kepemilikan 2-3 ekor. Skala ini masuk kategori bisnis yang tidak efisien. Sisanya sebagian besar sapi di tangan pengusaha fedloter besar dengan skala 10 – 30 ribu ekor. Peternak yang bergerak di segmen skala menengah 50 – 500 ekor sangat langka. Struktur bisnis seperti ini kerap disebutmissing in the middle, yang harus segera diperbaiki. Salah satu sebab segmen skala menengah bisnis sapi potong tidak berkembang adalah langkanya peternak atau calon peternak yang berkualifikasi entrepreneur

Dari berbagai kajian dapat dirangkum sejumlah masalah lain pada agribisnis sapi potong yang perlu ditangani serius. Masalah tersebut meliputi aspek mutu SDM; mutu genetik dan efisiensi reproduksi; jumlah dan mutu pakan; manajemen pemeliharaan dan kesehatan; cekaman lingkungan tropis; sistem tataniaga; pengendalian jumlah populasi, dll. Sebagai contoh, jarak antara sapi beranak dengan beranak berikutnya (calving interval) sapi rakyat masih tinggi (1,8-2,5 tahun), padahal idealnya 1 tahun. Pada aspek pakan, yang paling krusial adalah rendahnya kadar energi, protein, dan zat nutrisi mikro dalam ransum. Dari sisi lingkungan, stres panas adalah masalah lain yang dihadapi ternak di Indonesia. 

Dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi potong di Provinsi Lampung diperlukan sejumlah langkah, yaitu: peningkatan kemampuan entrepreneur peternak; introduksi bibit sapi unggul; pengadaan sapi induk dan inseminasi buatan; peningkatan mutu pakan; dan penerapan good farming practices. Diperlukan gerakan penerapan praktik budidaya ternak yang baik secara masif. Kapasitas peternak dalam menerapkan praktik budidaya yang baik dapat ditingkatkan melalui penyiapan sarana pembelajaran khusus yang lengkap. Sarana tersebut dapat dirancang berupa Pusat Kecemerlangan Agribisnis Sapi Potong (PK-ASP) berbasis masyarakat. PK-ASP harus dilengkapi sarana kaji-terap (action research); pelatihan/magang (training center); dan inkubator bisnis (business incubator) sapi potong. 

Dalam jangka panjang PK-ASP dikembangkan menjadi model/percontohan nasional sebagai fasilitas one stop services untuk pembelajaran agribisnis hulu-hilir sapi potong berbasis masyarakat. Provinsi Lampung dapat menggunakan momentum ini untuk mengajukan inisiatif pengembangan PK-ASP yang layak dibiayai APBN. Pada PK-ASP diperagakan proses inovasi teknologi hulu-hilir agribisnis sapi potong berwawasan lingkungan serta analisis bisnis sapi potong (business plan, kemitraan, pembiayaan, dan pemasaran). Peserta magang/tenant diberi kesempatan seluasnya untuk mempelajari dan mempraktikkan paket teknologi agribisnis sapi potong yang baik, sampai mereka layak memiliki sertifikat kompetensi dan siap memulai start-up bisnis. 

Penyusunan blue-printPK-ASP tentu harus melibatkan partisipasi akademisi, birokrasi, dan pelaku bisnis. PK-ASP yang terancang baik sangat penting untuk memotivasi, meyakinkan, serta membangkitkan semangat dan kepercayaan diri stakeholder peternakan. PK-ASP juga dirancang untuk membumikan konsep sinergi antara akademisi, bisnis, pemerintah, dan masyarakat (ABG-C) dalam membangun peternakan. Sebagai pusat pembelajaran khusus, PK-ASP dapat dikelola oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dinilai memiliki kapasitas cukup dan regulasi yang lebih lentur untuk memimpin kolaborasi ABG-C. 

Kegagalan program-program bertajuk Lampung lumbung ternak terdahulu lebih disebabkan ketidakberhasilan dalam mendorong proses inovasi teknologi di level petani. Inovasi teknologi adalah upaya entrepreneur yang fokus pada penerapan invensi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya secara efisien menuju peningkatan daya saing produk. Oleh karena itu, sudah saatnya kebijakan pembangunan peternakan lebih diarahkan pada peningkatan kemampuan entrepreneurshippara SDM peternak melalui inkubator bisnis. Inkubator bisnis sapi potong dirancang khusus untuk mencetak sebanyak mungkin wirausahawan muda. Karena paraentrepreneur adalah pelaku bisnis yang sesungguhnya. 

Kita berharap “orchestra” menuju Lampung lumbung ternak di bawah “conductor” Gubernur Lampung kelak bisa sukses mendekatkan harapan Presiden pada kenyataan. Selamat bekerja Pak Gubernur. Semoga Lampung segera Berjaya. Tabik Pun! Dr. Ir. Erwanto, M.S.
 (Dosen Jurusan Peternakan FP Unila, Anggota DRD Lampung). IT & Media ISPI