Memperbaiki Pola Pikir Bisnis Perunggasan

drh. Paulus Setiabudi, MM.,Ph.D (Staf Ahli majalah Poultry Indonesia, pengamat perunggasan, dan pengajar Global Marketing Management.)

Kita perlu memperbaiki dan membangun pola pikir masyarakat untuk makin sadar tentang pentingnya gizi, sehingga angka malnutrisi ataupun stunting pada anak-anak makin menurun serta masyarakat makin sehat, imunitas tinggi, dan cerdas.

Mindset atau pola pikir seorang pebisnis bahkan suatu bangsa sangat penting dalam kehidupan manusia terlebih di zaman modern yang selalu berubah. Perubahan adalah keniscayaan yang abadi. Itu adalah hal yang harus kita pahami dan harus berubah ke sesuatu hal yang positif yang bermanfaat bagi diri pribadi dan juga lingkungan, serta bagi suatu bangsa dan negara. Dari berbagai media, kita bisa melihat banyak perubahan yang terjadi di dunia termasuk di negara kita. Ada perubahan yang positif, tetapi ada juga perubahan yang membuat kita prihatin terlebih perilaku manusia, dampak dari pandemi COVID-19 yang melanda lebih dari 220 negara.

Perubahan perilaku masyarakat di negeri tercinta ini ada yang bisa membuat kita tertawa, tetapi ada yang membuat kita prihatin, serta ada juga yang bisa membuat kita geram melihatnya. Padahal kita semua tahu bahwa sejak dahulu budaya bangsa, karakter, dan perilaku nenek moyang kita itu sopan santun penuh tata krama yang sangat dihargai bangsa-bangsa lain di dunia. Semua tentu berharap di masa depan, kita terutama generasi muda penerus yang dinamis akan berubah ke hal yang positif yakni pola pikir berubah maju dalam hal ilmu pengetahuan serta perilaku yang lebih bagus dan lebih hebat dari generasi tua dengan landasan iman, dan takwa yang kuat serta moral akhlak yang semakin baik.

Bagaimana perilaku konsumsi?

Sekitar 50 tahun yang lalu, sebelum usaha peternakan ayam ras tumbuh dan berkembang, konsumsi daging unggas lokal serta telur ayam dan bebek sangat minim, selain karena pendapatan masyarakat yang rata-rata sangat rendah dan kesadaran serta edukasi tentang gizi juga sangat minim. Awalnya masyarakat kurang antusias dalam mengonsumsi telur ayam ras dan daging broiler dengan berbagai alasan, terutama dari segi rasa yang kalah enak dibanding ayam lokal dan anggapan telur ayam ras kalah bergizi.

Sekarang dengan majunya industri perunggasan, konsumsi daging dan telur unggas terus meningkat serta mengenai rasa (taste) tidak menjadi hambatan utama. Namun kenapa konsumsi per kapita masih relatif rendah dibanding negara jiran? Kendala utama adalah pola pikir masyarakat yang lebih cenderung mengonsumsi makanan lain yang lebih mengandung energi bukan protein, dan masyarakat juga cenderung membelanjakan uang untuk berbagai kebutuhan. Tidak mudah membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi atau nutrisi pangan. Itulah pola pikir masyarakat kita. Apalagi dalam masa pandemi yang melanda Indonesia, konsumsi merosot sehingga harga broiler ambruk, dengan berbagai alasan terutama daya beli menurun dan pembatasan pergerakan orang lintas daerah, sehingga pemerintah khsususnya Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) terpaksa melakukan cutting HE Broiler berkali-kali.

Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2021

Pada tanggal 29 Juli 2021 yang lalu, Presiden Joko Widodo menandatangani Perpres Nomor 66 Tahun 2021 tentang Badan Pangan Nasional, yang bisa berarti bahwa pangan merupakan hal strategis bagi bangsa dan negara Indonesia. Populasi rakyat kita setiap tahun terus bertambah sekitar 1-1,5% yang artinya kebutuhan pangan juga terus bertambah. Padahal pertambahan suplai pangan di dunia tidak seimbang dibandingkan dengan pertambahan penduduk dunia akibat gagal panen, cuaca ekstrem, maupun bencana alam sehingga harga pangan di pasar global semakin meningkat.

Sementara itu, tidak ada satu negara di dunia yang mampu mencukupi seluruh bahan pangan bagi rakyatnya, sehingga mengharuskan mereka melakukan impor dari negara lain baik berupa biji-bijian hasil pertanian sebagai sumber karbohidrat dan bahan pangan sumber protein nabati, protein hewani, serta lemak sebagai sumber energi. Hal tersebut nampaknya sangat disadari oleh Presiden Joko Widodo sehingga membentuk Badan Pangan Nasional (BPN) yang bertanggung jawab langsung pada beliau (bukan sekedar Satgas Pangan), tentang bahan pangan strategis termasuk daging ayam, telur, dan daging sapi. Dulu Satgas Pangan menjaga kesinambungan suplai pangan strategis dan pengendalian harga pasar yang terjangkau daya beli masyarakat umum.

Namun yang menjadi masalah adalah kondisi bagi peternak ayam pedaging (broiler), bukan dalam hal suplai daging ayam, namun  peternak mengalami masa sulit selama beberapa tahun akibat fluktuasi harga ayam hidup yang di bawah Harga Pokok Produksi (production cost). Apakah kebijakan dan langkah BPN nantinya juga mampu mendongkrak dan menstabilkan harga broiler yang sangat volatile rendah? Tentu semua berharap adanya lembaga BPN mampu berperan besar sehingga nanti bisa membuat peternak mandiri/kemitraan broiler bisa tersenyum bahagia dalam jangka panjang bukan hanya waktu sekejap saat hari raya saja. Ini yang masih menjadi tanda tanya bagaimana kelak kiprah BPN dalam menstabilkan harga broiler hidup (live bird).

Kondisi mulai pulih

Dengan bergulirnya program vaksinasi di berbagai negara serta kasus COVID-19 di beberapa negara maju makin menurun, serta ekonomi global mulai bergerak, pelonggaran transportasi antarnegara meskipun tetap ketat dalam prokes dan karantina, maka kondisi industri perunggasan mulai ikut terangkat seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Brasil, Inggris, Uni Eropa, Tiongkok, Thailand, Jepang, dan lain-lain.

Contoh pasar seperti Jepang dengan populasi 126,6 juta penduduk, di sana untuk konsumsi daging ayam masih tetap tinggi sekitar 21 kilogram per kapita per tahun. Selain konsumsi daging sapi, babi, ikan, udang, telur, dan susu mengalami penurunan akibat resesi. Namun untuk tahun 2021, diprediksi untuk produksi daging broiler di Jepang akan sekitar 1,77 miliar kilogram (1,77 juta ton) atau naik sedikit 0,4% dibandingkan tahun 2020. Meskipun memang untuk Jepang sendiri masih tetap impor  sekitar 1,01 juta ton terutama dari Thailand, Tiongkok, dan Brasil.

Lalu pertanyaannya adalah kenapa pengusaha Indonesia tidak mampu menembus pasar Jepang (hanya sedikit ekspor ayam olahan/cooked products)? Tentu jawabannya karena Indonesia masih terkendala belum bebas HPAI serta biaya produksi lebih tinggi sehingga  tidak mampu bersaing dengan Thailand, Tiongkok, dan Brasil.

Mengutip data dari www.wattagnet.com tertanggal 16 Agustus 2021, Charoen Pokphand Food, Plc. Thailand pada semester pertama 2021 mampu mencetak laba sebesar US$350 juta (sekitar Rp5 triliun) saat keadaan resesi ekonomi. Sales revenue naik 8% di Thailand operation bahkan overseas business naik 14%. Hal itu karena kenaikan volume penjualan dan harga produk. Itu sebagai salah satu contoh industri pangan berbasis ternak unggas tetap berjaya.

Memperbaiki pola pikir

Kita tahu bahwa bangsa kita merupakan bangsa yang besar dengan jumlah populasi terbesar nomor empat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Menurut Presiden Joko Widodo pada tanggal 25 Agustus 2021, sekarang ini Indonesia menduduki peringkat keenam dalam hal melakukan vaksinasi COVID-19 di dunia setelah India, Amerika Serikat, dan Brasil. Tentu diharapkan dengan vaksinasi yang terus dilakukan dan masyarakat juga makin tertib dan disiplin protokol kesehatan 3M dan 5T, maka pertumbuhan ekonomi diharapkan bisa semakin membaik, sebab triwulan kedua sudah tumbuh sekitar 7%, yang tentu harapannya untuk industri perunggasan terutama bisnis broiler juga bisa membaik.

Itulah pentingnya kita memperbaiki dan membangun pola pikir masyarakat untuk makin sadar tentang pentingnya gizi sehingga angka malnutrisi ataupun stunting pada anak-anak makin menurun serta masyarakat makin sehat, imunitas tinggi, dan cerdas. Oleh karena itu perlu terus dilakukan pencerahan, edukasi tentang nutrisi dan kampanye gizi pada masyarakat. Memang tidak mudah mengubah pola pikir yang tentu butuh waktu, pikiran, tenaga serta biaya, namun kita pasti bisa, sehingga ke depan konsumsi daging unggas dengan harga yang relatif terjangkau terus meningkat dan pasar lebih stabil seperti beberapa negara lain, tidak seperti keadaan pasar broiler di Indonesia yang sangat fluktuatif.

Broiler adalah komoditas dunia

Sudah dikatakan bahwa memperbaiki ataupun merubah pola pikir itu tidak mudah bahkan sukar, demikian juga perubahan itu suatu hal yang pasti dan abadi. Sekitar 50 tahun telah terjadi perubahan besar di Indonesia, dari usaha backyard farming ke industri perunggasan modern, dari budi daya ayam lokal ke ayam ras (hasil genetik impor), dengan nilai ratusan triliun rupiah setiap tahun. Tentu hal tersebut menarik investor dari manapun serta eksportir daging broiler dari berbagai negara yang berbiaya rendah.

Pengalaman dan pengamatan penulis, selama hampir 50 tahun serta kunjungan di berbagai negara seperti ke beberapa negara bagian di Amerika Serikat, Amerika Latin, Uni Eropa, Inggris Raya dan negara-negara di Eropa Timur, Thailand, Vietnam, Tiongkok, Jepang, Taiwan, Korea Selatan, India, Bangladesh dan lain-lain, melihat bahwa bisnis broiler sudah menjadi komoditas dunia. Bisnis  industri broiler secara global yang nilainya ratusan miliar dolar Amerika setiap tahun itu nampaknya hanya perusahaan yang punya modal besar dan kuat, teknologi, akses pasar dan tentu manajemen yang bagus dan solid  yang bisa bertahan dan bersaing di pasar global maupun domestik.

Pasar global tidak ada batas dan sekatan apapun, juga persaingan sangat keras, sehingga hanya perusahaan yang menguasai sumber daya genetik, sumber bahan pakan, sumber daya manusia berkualitas bagus dan teknologi yang bisa bertahan dan maju. Bagi peternak broiler kelas menengah bawah apalagi kelas bawah yang lemah modal dan teknologi serta tidak punya akses pasar nampaknya akan sulit bertahan di bisnis tersebut.

Menurut pandangan penulis, masyarakat lemah modal dan teknologi di berbagai negara Asia, bahkan di Amerika Serikat, ada peluang usaha yang masih bisa dikerjakan adalah menjadi peternak plasma yang ikut aturan kerja perusahaan inti. Sebagai contoh faktual peternak broiler di negara bagian Arkansas, Amerika Serikat yang berinvestasi sekitar US$2 juta (hampir Rp30 miliar) dengan return 5-6% nett per tahun sebagai plasma, masih lebih baik daripada uang ditaruh di bank dengan bunga sangat rendah di bawah 0,5%. Dia menikmati hidup yang santai sebab asetnya yang bekerja keras.

Ada alternatif lain atau mungkin lebih cocok berusaha sebagai peternak mandiri di ceruk pasar seperti usaha ternak ayam lokal (kampung asli), ayam jantan, ayam joper, burung puyuh atau ternak bebek lokal yang dual purpose (bisa diambil telur dan kemudian bila apkir sebagai bebek pedaging).

Sebagai contoh usaha peternakan bebek di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Semula ia merupakan peternak kecil yang kemudian saat ini bisa menjual telurnya sekitar 200.000 butir per bulan (7.000 butir/hari) daripada menjadi manajer suatu perusahaan. Peluang ini masih terbuka karena ada banyak plasma nuftah di Indonesia yang bisa dikembangkan oleh para ahli genetik unggas. Pemerintah khususnya Ditjen PKH Kementan harus hadir melindungi masyarakat kecil sebagai pengusaha peternak ayam lokal dengan undang-undang di mana perusahaan besar tidak boleh masuk ke dalam bisnis tersebut.

Sepuluh besar produsen daging broiler di dunia
Daftar peringkat produsen telur di Amerika Serikat

Sumber: Poultry Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *