PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

PERADABAN BARU SAPI BX DI INDONESIA

Oleh Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS

Heboh soal pemberitaan kantor berita ABC di berbagai media pada bulan Desember tahun  2019 lalu, bahwa ratusan sapi BX asal Australia bantuan pemerintah Indonesia untuk program perbibitan sapi mengalami malnutrisi dan mati. Pemerintah menyalurkan sapi-sapi bantuan ini ke puluhan kelompok peternak dan UPTD di sentra-sentra pengembangan sapi di Indonesia. Dampak pemberitaan ini dikhawatirkan akan menjadi polemik baru mengenai hubungan dagang antara Indonesia dan Australia. Seperti terjadinya pemotongan brutal terhadap sapi BX asal Australia di RPH Indonesia tahun 2011 lalu yang berakhir dengan penyetopan impor sapi asal Australia dan mengharuskan mengikuti standariasi rantai pasok ternak sapi Australia (exporter supply chain assurance system= ESCAS).

Pemeliharaan ekstensif
Ternak sapi BX ini, merupakan jenis sapi hasil persilangan antara sapi-sapi Brahman dengan berbagai bangsa sapi lainnya, sperti Santa Gertrudies, Limousine, Simental, Angus, Hereford dan lainnya. Sapi sapi persilangan antara Brahman dengan bangsa sapi lainnya lebih dikenal dengan ACC (Australia Commercial Cross) atau BX (brahman cross) jika sapi Brahmannya lebih dominan.

Sapi-sapi ini hidup dan dikelola dalam sistem ranch yaitu pemeliharaan yang ekstensif dilepas liarkan di padang penggembalaan. Sapi sapi ini hidup tumbuh kembang dan bereproduksi di alam bebas. Boleh disebut tanpa sentuhan teknologi reproduksi seperti inseminasi buatan yang biasa kita lakukan di dalam negeri. para peternak hanya menyiapkan makanan tambahan berupa mineral blok dan mengendalikan air yang berasal dari sumber-sumber air (embung) di tengah padang gembala.  Pada musim tertentu mereka melakukan “mustering” yaitu suatu periode untuk mengumpulkan ternak, menyeleksi, memilih, memisahkan ternak yang kecil dan yang besar, yang sakit, jantan dan betina untuk diatur kembali rasionya dalam kelompok ternak tersebut. 

Rasio lahan yang biasa digunakan di Australia bisa mencapai lebih dari 2 hektar per ekor. Bisa dibayangkan bila seorang peternak di Australia memiliki ternaknya 500 ekor, maka lahan yang dipakai tidak kurang dari 1000 hekar lahan. Apabila diperbandingkan dengan jumlah penduduk Australia yang sekitar 24,5 juta orang, sedangkan jumlah populasi sapinya sekitar 25 juta ekor. Data ini bertolak belakang dengan kondisi Indonesia dimana populasi penduduknya lebih dari 260 juta sementara populasi sapinya hanya sekitar 16 juta ekor saja.

Kematian sapi
Kematian sapi indukan dan anakannya yang terjadi selama ini pada kelompok peternak penerima bantuan, pada umumnya di sebabkan oleh sistem pemeliharaan ternak yang dilakukan peternak rakyat berbeda dengan pemeliharaan ternak tersebut di Negara asalnya. Bisa dibayangkan oleh kita, sapi-sapi ini yang asalnya hidup di alam bebas, kini mereka hidup dikurung, dengan hidung yang dikeluh. Mereka memiliki sifat berahi tersembunyi (silent heat), yaitu tatkala sapi-sapi ini minta kawin akan sulit diketahui oleh manusia. Biasanya peternak kita meyebut gejala birahi ini dengan 3 B (Beureum, Bareuh, Baseuh = sunda).

Jadi jika sapi-sapi ini minta kawin hanya jantannya saja yang mengetahuinya. Kesimpulannya para peternak akan sulit mendeteksi sapi ini kapan akan dilakukan IB (inseminasi buatan). Sapi-sapi ini ternyata memiliki sifat keibuan (mothering ability) yang rendah. Selain itu sifat jelek lainnya yang dimiliki sapi ini adalah, jika terlalu gemuk atau terlalu kurus, dia akan sulit bunting.  Sifat-sifat inilah yang tidak difahami peternak rakyat sehinga sapi sulit bunting. Namun, seandainya sapi tersebut bunting (bawaan dari Australia) sampai melahirkan,ternyata pedet yang baru dilahirkn  tersebut sudah mati di kandang karena terinjak-injak. 

Berdasarkan kondisi tersebut, sapi-sapi ini harus sangat diperhatikan agar pakan yang diberikan tidak menimbulkan kegemukan maupun kekurusan dan diberikan kandang khusus untuk melindungi pedet dari sifat induknya yang agak liar ini. Hal ini berbeda dengan sapi-sapi local kita, khususnya sapi bali dalam kondisi apapun mereka tetap bisa bunting dan melahirkan anak-anaknya dengan baik.

Sebenarnya sapi BX lebih jinak ketimbang bangsa sapi lainnya. Namun, pada kasus ini, dapat dibayangkan dari kehidupan bebas di alam terbuka tanpa manusia di sekelilingnya, kini mereka masuk di kandang yang serba tertutup dengan kesibukan manusia disekitarnya. Berdasarkan pengamatan ternyata, sebaiknya distribusi kepada peternakan rakyat perlu dilakukan domestikasi oleh industri atau korporasi/lembaga peternakan yang memahami perilaku sapi BX. Hasil dari domestikasi ini, dipastikan anak keturunannya sudah beradabtasi dengan kondisi lingkungan. 

Sebagaimana diketahui, bahwa kehidupan peternak sapi potong rakyat di Jawa, usahanya tidak berbasis lahan (non land based). Peternak memberikan hijauan pakan dan konsentrat berasal dari hasil ikutan usahataninya. Sebagian besar usahaternak sapi potong di Jawa memberikan jerami padi sebagai hijauan pakan utamanya. Hanya sebagian kecil yang memberikan tambahan berupa ampas tahu, singkong (onggok) ataupun dedak padi. Pada kondisi ini para ahli pakan sudah menduga bahwa kasus kematian pedet dan indukan pasca melahirkan penyebab utamanya adalah kualitas pakan yang tidak standard. Sehingga sapi-sapi terlihat kurus pasca melahirkan atau gemuk melibihi dari yang diharapan bagi masa suburnya seekor sapi betina.

Peradaban Baru
Berdasarkan fenomena yang terjadi pada kasus penyebaran sapi indukan dan ketidak berhasilan pengembangan sapi BX beberapa waktu lalu. Penulis menyimpulkan bahwa sapi BX asal Australia  sesungguhnya tengah menjalani peradaban baru. Yaitu berubahan kultur atau budaya pemeliharaan yang bersifat ektensif dimana sapi-sapi bebas mencari pakan dan kawin, kini berada pada kultur budidaya intensif yang dikandangkankan.

Perubahan ini, telah disalah artikan oleh khalayak, bahwa sapi-sapi tersebut telah dibuat steril, diberikan sapi-sapi potong bukannya produktif dan sebagainya. Padahal sesungguhnya, sapi-sapi tersebut sedang melakukan proses adaptasi terhadap perubahan budaya pemeliharaan. Jika kita perbandingakan dengan sapi-sapi yang dipelihara di kebun sawit, tampak lebih banyak keberhasiannya ketimbang yang dilakukan atau dipelihara secara intensif di kandang peternakan rakyat. Hal ini disebabkan, perbedaan sistem pemeliharaan tidak terlalu signifikan dengan di Negara asal.

Distribusi sapi BX
Berdasarkan beberapa pengalaman buruk dan keberhasilan sistem pemeliharaan sapi BX di tingkat peternak maupun perusahaan. Kiranya pemerintah dapat memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.

Pertama, pengembangan sapi BX sebaiknya tidak diberikan kepada peternak rakyat secara langsung dari Negara asalnya. Sapi-sapi ini perlu dilakukan domestikasi oleh korporasi yang kredibel. Yaitu, perusahaan/lembaga yang sangat paham terhadap pemerliharaan sapi BX sebagai mana di Negara asalnya. Kondisi ini sesuai dengan amanat UU No. 41 tentang Peternakan dan kesehatan hewan, bahwa perbibitan dan pegembangbiakan adalah tugas pemerintah.

Oleh karenanya, kegiatan breeding dan pembiakan harus dilakukan oleh UPTD Pemerintah atau program sapi sawit yang dikelola pemerintah/swasta, kemudian anakannya disebarkan kepada masyarakat peternak. Hal ini, mengingat pemerintah bertekad bahwa di tahun 2020 akan melakukan importasi sebayak 1.500 ekor sapi betina. Bahkan isu santernya akan mencapai satu juta ekor (?).

Kedua, distribusi kepada peternak rakyat yang dilakukan secara intensif dalam kandang sebaiknya berupa sapi-sapi bakalan untuk penggemukan. Jadi pada masalah ini peternakan rakyat tidak dibebankan oleh usaha perbibitan dan pembiakan.

Ketiga, partisipasi menghasilkan pedet-pedet asal sapi BX impor dapat  pula dilakukan oleh para pengusaha feedlot yang difasilitasi pemerintah sebagai insentif. Program ini akan mempercepat kehadiran sapi-sapi bakalan asal sapi BX bagi pengembangan peternakan sapi potong rakyat. Perusahaan feedloter ini dapat menghasilkan pedet-pedet jantan/betina yang didistribuskan kepada peternakan UPTD/sapi sawit maupun peternakan rakyat yang berminat.

Pola pengembangan ini merupakan jawaban atas kegagalan demi kegagalan yang terjadi selama ini. Semoga pemerintah, dapat mengkaji ulang arah pengembangan sapi potong di dalam negeri jika akan menggunakan sapi indukan BX sebagai salah satu model pengembangannya…… semoga.***

Penulis adalah Dewan Pakar PB ISPI

Artikel ini pernah dimuat di Majalah Infovet tahun 2020 Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS (Dewan Pakar ISPI