Menyongsong
era pemerintahan baru, pasca pemilu tahun 2019 ini, pemerintah melalui
lembaga-lembaga kajian pada kementerian maupun Bappenas, sibuk
menyiapkan peta jalan berbagai komoditi, seperti sapi potong, sapi perah
dan unggas pada sub sektor peternakan. Namun, kegiatan tersebut seolah
hanya sebatas kewajiban yang harus ada hasil kajian sebagai produk
laporan. Peta jalan sesungguhnya merupakan “petunjuk” bagi kegiatan
membangunan komoditi, faktanya dalam berbagai kebijakan operasional
lebih menitikberatkan kepada perintah atasan yang diputuskan melalui
rapat-rapat. Banyak contoh kasus kegagalan pembangunan komoditi,
misalnya swasembada daging sapi potong, yang telah berjalan lebih dari
dua dasawarsa, disebabkan karena pelaksanaan pembangunan tidak sesuai
dengan peta jalannya.
Keterlibatan stakeholder
Puluhan tahun lalu tatkala UMKM mendapatkan fasilitasi kredit dari Bank
Indonesia (BI), dimana dipersyaratkan bahwa pengusul harus mengajukan
proposal yang dibina oleh BI, maka, setiap UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah) yang mengajukan kredit dibantu, dan di kawal oleh konsultan
yang direkomendasi atau atas penunjukan BI. Selesai proposal dibuat
konsultan, kemudian perbankan mengucurkan kredit. Namun, pada umumnya
kredit program tidak berjalan sebagaimana mestinya. Berapa prosen kredit
UMKM yang macet? Apa sesungguhnya yang terjadi pada kasus ini?
Sebenarnya, yang terjadi ibarat filosofi “peti mati”, yaitu “yang
membuat tidak memakai, yang memakai tidak tahu”. Kasus ini, hampir
merata terjadi di seluruh komoditi. Filosofi inilah yang terjadi,
sebagai cikal bakal dari kegagalan dalam pelaksanaan pembangunan
komoditi secara nasional.
Sesungguhnya, keterlibatan pelaku bisnis (korporasi atau pun koperasi),
pemerintah dan kelompok masyarakat petani maupun peternak sebagai
pengguna peta jalan komoditi atau pun “bisnis plan”, dilibatkan sejak
awal bersama-sama para disainer pembangunan (konsultan maupun tenaga
ahli bina program) serta para penentu kebijakan sampai dengan “pay back
periode jika dalam kredit program” atau sampai dengan selesainya
pembangunan. Faktanya, mereka dilepas sendiri-sendiri tidak lagi
mengikuti peta jalannya, bahkan jika mengalami masalah, solusi yang
ditawarkan lebih mengarah berbasis finansial, bukannya berbasis
teknologi komoditi.
Peta Jalan
Kata roadmap, atau juga blueprint atau grand design, sudah menjadi
trending topic saat orang berbicara tentang perencanaan. Menurut arti
kamus, roadmap atau peta jalan adalah rencana kerja rinci yang
menggambarkan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan. Roadmap
umumnya disusun sebagai bagian dari rencana strategis (Toto Suharto,
2012). Kita juga tahu bahwa banyak orang yang sangat paham mengenai
metodologi pembuatan peta jalan. Mulai dari memetakan kondisi yang
sesungguhnya dan realistik tidak direkayasa dan apa adanya. Sampai
dengan, bagaimana menetapkan tujuan bersama, mendisain potensi dengan
peluang dan kekuatan yang paling rasional, sehingga semua tujuan
tersebut dapat dicapai dengan sempurna. Semua hal yang berkaitan dengan
analisis yang disusun seperti nomenklatur, tolok ukur, koefisien teknis
dan lainnya harus dipahami oleh semua pihak yang terlibat tanpa kecuali.
Bahasa yang paling popular dalam menuju keberhasilan dari suksesnya peta
jalan adalah “menyamakan persepsi”. Kata ini merupakan langkah awal
atau kata kunci tingkat keberhasilan program mencapai tujuan. Jika saja
persepsi untuk mencapai tujuan tidak sama antara pimpinan manajemen
tertinggi pelaksana pembangunan sampai dengan di tingkat terendah,
sampai kapan pun tujuan dari program bersama tersebut tidak akan pernah
dinikmati bersama. Contoh kasus; sebenarnya kata-kata yang diucapkan
oleh Menteri Pertanian – Suswono, di era akhir masa jabatannya yang
menyatakan bahwa kegagalan swasembada daging sapi karena salah hitung,
sesungguhnya merupakan manifestasi dari kegagalan tata kelola manajemen
perencanaan yang tidak berkesusaian dengan implementasinya.
Harapan
Penyusunan perencanaan yang dibuat dalam peta jalan atau blue print atau
grand design, mutlak dimulai dari mengetahui eksisting kondisi dimana
kita berada saat ini, sampai dengan mengatur strtategi pencapaian dan
menjalankannya dilakukan secara bersama sesuai dengan tugas, peran dan
fungsinya. Oleh karenanya, jika pemerintah baik di tingkat pusat maupun
di daerah menginginkan keberhasilan pembangunannya tinggi, maka para
penyusun program perencanaan pembangunan harus pula dilibatkan dan
ditempatkan sebagai “pengawal program pembangunan” yang diberikan
kekuasan khusus karena mereka bukan tenaga struktural, pada saat program
tersebut dilaksanakan. Sebab, para perencana ini seperti konsultan,
biro perencana atau tenaga ahli, mereka yang tahu persis mengenai
pembangunan komoditi tersebut. Selain itu, pelaksanaan tugas pengawalan
dalam bentuk monitoring dan evaluasi (Monev) merupakan tugas yang cukup
berat dalam proses ini, tanpa kecuali. Mereka harus mampu memecahkan
berbagai persoalan yang muncul dengan segala daya dan upayanya, baik
secara teknis, sosial maupun ekonomis dan politis untuk menyelamatkan
program pembangunan komoditi dimaksud. Disinilah tugas dan fungsi yang
menuntut profesionalisme kehadiran sarjana peternakan dalam pembangunan
peternakan. Semoga. Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI, Dosen Fapet Unpad dan Peneliti Senior LSPPI). IT & Media ISPI