
Ekonom Kwik Kian Gie , Menteri Koordinator Perekonomian di era Presiden Megawati, dalam tulisannya di salah satu media massa, secara gamblang telah membuka mata kita semua tentang liberalisasi ekonomi yang kebablasan di negara kita. Kebablasan itu sendiri dapat diartikan melewati batas-batas kewajaran. Proses liberalisasi ekonomi yang dibungkus dengan berbagai peraturan perundangan mulai UU No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing yang kemudian diiikuti berbagai paraturan perundangan lainnya, sampai dengan di era Presiden SBY dengan diterbitkannya UU No. 25 tahun 2007, telah membawa perekonomian negara kita benar-benar liberal dan kapitalistis..
Ada yang tertinggal dalam tulisan Kwik Kian Gie terkait dengan proses liberalisasi perekonomian Indonesia yakni perihal penandatanganan Letter of Intent (LOI) antara Presiden Soeharto dari Pemerintah Indonesia dengan Michel Camdessus dari International Monetary Funds (IMF) pada bulan November 1997.
LOI yang berisikan 50 butir kesepakatan untuk mengatasi krisis moneter yang ada pada saat itu, semakin melegitimasi proses liberalisasi ekonomi di negara kita. Melalui 50 butir kesepakatan tersebut, berbagai kebijakan pemerintah yang bersifat proteksi untuk petani atau peternak, digilas habis. Antara lain Inpres No. 2 Tahun 1985 tentang Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, dicabut melalui Inpres No. 2 Tahun 1998. Sejak tidak berlakunya Inpres No. 2 Tahun 1985, maka Industri Pengolahan Susu tidak lagi wajib menyerap susu segar yang dihasilkan peternak sapi perah rakyat. Juga tidak berlaku lagi, adanya kebijakan rasio antara impor susu dengan penyerapan susu segar peternak sapi perah rakyat melalui wadah koperasi. Dengan perkataan lain peternak sapi perah rakyat diceburkan ke kancah liberalisasi tanpa rompi pelindung sama sekali.
Dampak dari liberalisasi yang dianggap kebablasan, masih banyak lagi lapangan usaha rakyat yang terpaksa tergusur. Kita tidak bisa lagi mendengar sayup-sayup suara Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) yang dulu sangat berkembang pesat di daerah Klaten. Gaung suara pasar tradisional juga sudah menyusut dengan pesat, seiring dengan berkembangnya pasar swalayan dan saat ini, bisnis online. Ramalan Jayabaya tentang pasar ilang kumandange sudah terwujud secara signifikan.
Tidak mudah untuk merubah kondisi liberal dalam perekonomian kita, karena dalam kenyataan, liberalisasi yang ada saat ini memiliki payung hukum seperti yang disebutkan oleh Pak Kwik, mulai dari UU no. 1 tahun 1967 dan berbagai peraturan perundangan lainnya. Pada saat ini sangat tidak mengherankan, kalau ada pengusaha yang menguasai lahan sawit lebih dari satu juta hektar karena memiliki puluhan perusahaan perkebunan sawit. Sepertinya sangat mudah untuk mensiasati peraturan perundangan yang ada.
Kaitan dengan Peternakan Unggas/Ayam Ras Rakyat
Dalam beberapa waktu terakhir ini, industri perunggasan diwarnai adanya protes atau demo para peternak unggas baik pedaging maupun petelur. Masalah klasik muncul. Harga telur yang jauh di bawah biaya produksi. Juga peternak unggas/ayam pedaging mengeluh karena harga ayam hidup yang mereka hasilkan, jauh di bawah biaya produksi. Salah satu yang menjadi sasaran protes mereka, adalah dominasi oleh para integrator yang dianggap sebagai biang kerok.
Integrator adalah sebutan perusahan besar perunggasan (baik MNC maupun PMDN) yang melakukan diversifikasi vertikal maupun horisontal dalam industri perunggasan. Para integrator ini bukan hanya menguasai produksi farm input seperti day old chick (DOC) dan pakan ternak. Mereka juga selain melakukan usaha budidaya – baik untuk ayam pedaging dan petelur dalam kapasitas besar dan modern – juga mengembangkan pola inti plasma dengan peternak kecil.
Sejarah perkembangan industri perunggasan khususnya ayam ras atau perunggasan di tanah air kita, sangat menarik. Usaha peternakan ayam ras mulai tahun 1950an dan dipelihara secara tradisional seperti ayam lokal. Pada tahun 1970an mulai berkembang dan mulai dipelihara secara intensif dalam skala yang lebih besar. Mengantisipasi perkembangan yang ada, pada tahun 1981, Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1981 yang isinya antara pembatasan dalam melakukan usaha peternakan ayam ras ini. Untuk ayam pedaging produksi dibatasi maksimum 750 ekor per minggu. Sedangkan untuk untuk ayam petelur dibatasi memelihara maksimum 5.000 ekor.
Dalam waktu yang relatif singkat usaha peternakan ayam berkembang dengan pesat. Banyak usaha besar baik PMA maupun PMDN yang menginvestasikan uangnya pada usaha peternakan unggas atau ayam ras ini. Mengantisipasi perkembangan tersebut, pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1990 Tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Dalam Keppres ini, salah satu isinya adalah bahwa investasi skala besar diwajibkan mengekspor 65% dari produksinya. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi konflik di wet market dengan peternak kecil. Tapi perusahaan besar yang adalah integrator ini sangat cerdas, mereka mengembangkan pola inti – plasma dengan peternak rakyat, yang pasti dapat menembus pasar dalam negeri .
Sebagai tindak lanjut LOI antara Pemerintah Indonesia dan IMF tersebut, kebijakan perunggasan yang tertuang dalam Keppres No. 22 Tahun 1990 dicabut melalui Keputusan Presiden No. 85 tahun 2000, sehingga industri perunggasan mutlak masuk dalam liberalisasi yang – menurut Pak Kwik – kebablasan.
Sangat tidak mudah mengatasi masalah perunggasan yang ada saat ini, khususnya bagi peternak mandiri baik untuk ayam petelur maupun pedaging. Pemerintah sudah mencoba mengatasi antara lain dengan melakukan kebijakan cutting untuk mengurangi produksi final stock DOC. Diyakini bahwa jatuhnya harga ayam pedaging dalam beberapa waktu ini, karena kondisi over supply, solusinya adalah jumlah pasokan ayam pedaging, harus dikurangi. Tampaknya kebijakan ini belum ampuh sehingga harga masih belum seperti yang diharapkan para peternak ayam pedaging.
Untuk peternak ayam petelur, masalah lebih spesifik. Selain harga telur yang rendah, harga jagung yang tinggi dan sulit diperoleh, menjadi masalah mereka. Menurut Kementerian Pertanian, stok jagung cukup yakni sekitar 2,3 juta ton. Pernyataan ini disanggah oleh Menteri Perdagangan, Mohamad Lutfhi bahwa saat ini stok jagung kurang.
Kebijakan yang ditempuh pemerintah masih model seperti memadamkan kebakaran. Ketika ada peternak ayam petelur bernama Suroto membawa spanduk di depan Presiden Jokowi, langsung ditanggapi dengan memberi bantuan jagung 30 ton. Peternak ayam petelur tidak hanya di Blitar dan hanya Suroto. Di daerah lain, masih ada ribuan peternak ayam petelur. Menurut BPS berdasar Sensus Pertanian tahun 2013, di Indonesia terdapat sekitar 29.900 peternak ayam ras petelur. Mereka juga butuh perhatian sepertinya halnya Suroto.
Perlu solusi
Masalah perunggasan yang ada sekarang ini sangatlah pelik. Sama peliknya untuk menata ulang perekonomian kita yang sudah liberalistis. Secara ekonomi, industri perunggasan sudah sangat besar. Diperkirakan, nilai bisnis dalam industri perunggasan sudah lebih dari Rp300 triliun per tahun, dan ini indikasi bahwa perunggasan memiliki peran yang besar dalam perekonomian nasional.
Peran pemerintah sangat penting agar tiga stake holder besar yakni perusahaan perunggasan (integrator), peternak mandiri baik petelur maupun pedaging dan konsumen semua happy. Dibutuhkan kearifan dari pihak integrator dan peternak rakyat mandiri untuk saling bekerjasama. Kebijakan seperti Keppres No. 22 Tahun 1990 tidak mungkin diulang. Masalah yang ada bukan hanya di internal negara kita, tetapi ancaman masuknya produk unggas dari luar negeri, juga tidak bisa diabaikan.
Kita percayakan kepada Menteri Pertanian dan Menteri Perdagangan serta instansi terkait lainnya untuk duduk bersama dan merumuskan kebijakan yang tepat mengatasi kemelut perunggasan di tanah air di era liberalisasi ekonomi yang kebablasan ini. Kita tidak ingin masalah masalah yang ada dan berkaitan dengan kepentingan rakyat ini, terbenam dalam hiruk pikuk tahun politik. Pada sisi lain, harus diantisipasi pula masuknya daging ayam impor yang pasti akan menimbulkana dampak.