Seminar dan Konggres XII ISPI: Fokus Grup Diskusi (Video 2)

Didiek Purwanto terpilih menjadi ketua umum Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (PB ISPI) pada Kongres ISPI XII di Universitas Brawijaya – Malang pada Jumat (7/12). Sebelumnya dia menduduki jabatan Sekretaris Jenderal PB ISPI 2014-2018.

Didiek yang berlatar belakang pengusaha sapi asal Lampung ini menggantikan Prof Ali Agus yang menjabat dari 2014-2018. Dia terpilih melalui mekanisme musyawarah tim  formatur. Anggota tim formatur yang dipilih melalui pengajuan nama oleh perwakilan pengurus cabang dan pengurus besar, sekaligus menjadi calon ketua. Didiek terpilih menjadi ketua formatud dan secara mufakat didaulat menjadi ketua ISPI. Didiek merupakan ketua tim formatur berbekal 30 suara cabang, melampaui 5 calon ketua lainnya, yaitu Audy Joinaldy (13 suara), Prof Ali Agus (12 suara), Joko Susilo (11 suara), dan Suyadi (9 suara).

Usai penyerahan pataka dari ketua ISPI demisioner dan dilantik oleh tim formatur, Didiek menggelar konferensi pers. Dia menyatakan akan meneruskan program konsolidasi internal seperti menata keanggotaan, mengaktifkan kepengurusan cabang,  pembentukan pengurus cabang baru, dan penggalian sumber dana internal. Selain itu juga melanjutkan upaya meneguhkan legalitas ISPI di Kemenhukham, terlebih pada Kongres XII organisasi ini tepat berusia 50 tahun.

Didiek juga memiliki visi memajukan peternakan nasional era industri 4.0 dengan cara melibatkan sarjana-sarjana peternakan muda. “Membuat organisasi ISPI dan industri peternakan nasional menarik bagi anak muda. Terlebih sektor hilir yang sangat terbuka untuk inovasi dan bisa ditarik ke arah industri kreatif, bisa dijalankan dengan pola-pola industri berbasis digital,” ungkapnya.

Meskipun demikian Didiek tidak menutup kemungkinan pola industri 4.0 juga bisa diadopsi oleh generasi milenial untuk menjalankan segmen budidaya industri peternakan.

Basis data industri peternakan juga menjadi perhatian Didiek. “ISPI akan mendorong perbaikan basis data peternakan dan data pendukungnya terlebih dulu, agar bisa disusun program yang tepat untuk meningkatkan produksi dan efisiensi,” tandasnya.

Selain itu pemilik bendera PT Karunia Alam Sentosa Abadi ini juga menyatakan urgensi untuk mendorong redefinisi dan sinkronisasi ulang parameter / koefisien teknis peternakan terhadap HS Number dan peraturan perdagangan internasional lainnya yang menimbulkan pemahaman dan kebijakan multi tafsir terhadap komoditi yang ditetapkan.

“Contohnya induk sapi, tidak ada dalam nomenklatur perdagangan sehingga kita kesulitan jika akan mengimpor induk sapi. Karena dalam HS Number hanya dikenal istilah sapi bibit dan sapi feeder (bakalan penggemukan). Kalau sapi bibit perlu sertifikat pedigree dan akan dipelihara dalam waktu lama, kalau sapi feeder tak perlu pedigree namun dipelihara dalam waktu singkat. Sapi induk, tidak punya pedigree namun dipelihara dalam waktu lama. Sehingga sapi induk terkena bea masuk karena bulan bibit dan bukan sapi feeder,” urai dia.

Didiek pun menyatakan akan memperjuangkan  revisi peraturan yang mengatur lama penggemukan sapi minimal selama 120 hari menjadi lebih singkat. “Karena teknologi budidaya penggemukan sapi sudah maju, mampu menggemukkan lebih cepat. Peraturan harusnya disesuaikan dengan realita industri yang semakin tinggi efisiensinya,” dia menjelaskan.

Pada sisi kelembagaan peternak, dia menyatakan akan melanjutkan upaya ISPI untuk mentransformasi peternak dari peternak individual menjadi korporasi peternak,  baik dalam bentuk kelompok peternak maupun koperasi berdasar komoditas ternaknya. “Modelnya bisa mengumpulkan ternaknya, bisa juga dengan join modal. Nanti tergantung kondisi lokal peternaknya,” jelas Didiek.

Pelestarian sumberdaya genetik lokal seperti sapi PO, ketua ISPI terpilih menyatakan harus tetap dilestarikan karena. “Sapi PO secara genetik sangat sesuai dengan kondisi alam Indonesia. Jangan sampai generasi nanti hanya melihat sapi PO dari gambar atau patung saja,” tandas Didiek.

Prof Ali Agus yang mendampingi ketua terpilih menyatakan perputaraan uang di industri peternakan sebesar Rp 600 triliun. “maka subsektor peteenakan semakin seksi bagi siapa saja, bukan hanya sarjana peternakan dan dokter hewan,” ungkapnya.

sumber: trobos, poultry, infovet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *