SENGKARUT INDUSTRI AYAM NASIONAL, AKANKAH PETERNAK UNTUNG ?

Dr. Siti Azizah, S.Pt, M. Sos., M. Commun

Kalah menang posisi tawar dalam keberdayaan peternak broiler di Indonesia memang selalu menjadi perhatian bagi pemerhati sistem industri perunggasan, baik dari aspek sosial, politik dan tentu saja dari sudut pandang ekonomi.

Masalah kemitraan yang tidak terlaksana sesuai tujuan, kebijakan pemerintah yang dianggap tidak berpihak pada peternakan rakyat dan posisi Indonesia yang tidak menguntungkan dalam industri perunggasan secara global adalah isu-isu yang tidak pernah terpecahkan sampai saat ini. Semua pemikiran dan strategi sudah tercurahkan dari berbagai pihak namun hanya sebatas ide saja. Ketika sampai pada tataran kebijakan semua terbentur pada berbagai kepentingan.

Sejenak mari kembali kita menelaah sistem industri perunggasan Indonesia yang berbasis pada kemitraan/contract farming untuk bisa melihat sejauh mana pelaksanaan kemitraan ini dilaksanakan jika dibandingkan dengan prinsip awal kemitraan. Kemitraan pada dasarnya adalah sebuah hubungan ekonomi berdasarkan sebuah kontrak dimana seharusnya saling menguntungkan tapi tetap tidak mampu seimbang secara adil.

Jelas hal ini digambarkan White (dalam Stessens, et.al., 2004) yang menyatakan bahwa Contract farming dapat dilihat sebagai vektor transisi dari pasar lokal tradisional menuju pertanian kapitalis yang sangat komersil. Implementasi skema contract farming terletak dalam konteks sosial dan politik yang spesifik karena contract farming merupakan sebuah respon institusional terhadap ketidaksempurnaan pasar (kredit, input, jaminan, dan sebagainya).

Biaya transaksi tinggi yang berasosiasi dengan kontrak menciptakan keuntungan bagi perusahaan untuk memanfaatkan pasar (pembelian dalam pasar bebas) atau untuk meniadakan pasar dengan menginternalisasi proses produksi (integrasi vertikal). Ketidakseimbangan posisi antara peternak dan perusahaan memang sudah diramalkan karena adanya biaya transaksi dalam pemasaran produk pertanian. Ketimpangan ini memang sudah diramalkan sejak pada tataran teoritis sehingga masalah sebenarnya tidak lagi pada perusahaan yang lebih diuntungkan (karena memang sudah menjadi kondisi yang tidak terhindarkan) tetapi keuntungan relatif apa yang bisa didapatkan oleh peternak antara sebelum dan sesudah mereka bermitra.

Namun kenyataannya keuntungan relatif yang diharapkan bisa membaik dari sebelum bermitra tidak terwujud. Modal yang terbatas dan sulitnya pemasaran yang membuat peternak terpaksa untuk bermitra. Mutual trust dan transparansi sejak beberapa tahun terakhir memburuk ditambah kebijakan yang dianggap merugikan salah satu pihak semakin membuat konflik antar pihak yang bermitra meruncing. Pertemuan antar stakeholders jarang mencapai sebuah solusi dan lebih pada klarifikasi untuk pengambilan keputusan dan tanya jawab yang bersifat debat kusir.

Munculnya PT. Berdikari pada tahun 2016, sebuah BUMN yang diharapkan sebagai buffer perunggasan di Indonesia, direspon pro dan kontra. Banyak pihak mengkhawatirkan akan adanya over supply karena meningkatnya impor Grand Parent Stock (GPS), yang kemudian dibantah oleh pihak PT. Berdikari bahwa tidak ada perubahan di sektor hulu. Namun harapan PT. Berdikari dapat menstabilkan kondisi perunggasan Indonesia juga belum bisa terbukti akibat masalah yang kompleks dan tidak mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan integrator yang mendominasi industri perunggasan selama bertahun-tahun.

Seharusnya PT. Berdikari merupakan sebuah solusi agar pemerintah tidak harus memilih antara memberdayakan peternak rakyat, ataukah harus memberikan harga daging broiler yang terjangkau kepada masyarakat.

Belum selesai masalah penguasaan integrator yang mengarah pada oligopoly yang dicurigai membentuk adanya kartel, kita kemudian dihadapkan pada pedihnya dua kali kekalahan Indonesia dari Brazil di pegadilan WTO. Euromeat News (2020) mencatat situasi di pasar domestik Indonesia yang tidak berubah pada tahun 2020 dimana jutaan unggas dimusnahkan untuk menstabilkan harga menyebabkan tidak ada peluang nyata bagi unggas Brasil untuk memasuki pasar Indonesia. Alasannya karena produksi unggas melebihi tingkat konsumsi dalam negeri.

Namun Ricardo Santin, presiden Brazilian Animal Protein Association (ABPA) menyatakan bahwa pihaknya juga sudah siap untuk membantu masalah ketahanan pangan Indonesia. Hal ini bukan hanya pernyataan tanpa data, ekspor ayam dari Brasil meningkat 5,1% menjadi 1,365 juta ton, selama 4 bulan pertama tahun 2020 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal itu disimpulkan dalam laporan ABPA yang menunjukkan bahwa negara tersebut mengukuhkan posisinya sebagai eksportir utama tahun lalu, meski terkena Covid-19 (Poultry World, 2020).

Laporan dari DBS Group Research (Equity, 23 Juli 2019), yaitu sebuah grup jasa keuangan terkemuka yang menaungi beberapa perusahaan unggas ikut memberikan prediksi jika impor dari Brazil ini terjadi. Dikatakan bahwa potensi tekanan pada margin EBIT (laba kotor) broiler, jika lebih banyak pasokan muncul dari impor. Enam bulan terakhir 2019, harga broiler berada pada Rp16,9rb / kg (atau -15.5% y-o-y). Dengan harga jagung domestik dan harga DOC yang tinggi saat ini, biaya produksi ayam broiler mencapai Rp18,5rb / kg pada akhir 1Q19. Situasi ini menjadi pertanda buruk bagi margin EBIT ayam pedaging untuk perusahaan unggas di Indonesia dan hal ini terlihat pada hasil 1Q19 mereka. Mengingat potensi peningkatan pasokan karena impor dari Brasil, harga broiler dapat terus menurun. Hal ini selanjutnya dapat membebani margin EBIT untuk perusahaan unggas di bawah cakupan DBS Group Research, yaitu Japfa Comfeed (JPFA) dan Charoen Pokphand (CPIN). Maka dengan laporan ini kita bisa membayangkan bahwa semua aktor industri broiler akan mengalami tekanan mulai dari hulu ke hilir, walau tentu saja yang paling menderita tetaplah peternak rakyat.

Melihat kondisi seperti ini waktunya kita menarik napas sebentar, melihat peluang, lalu terjun kembali ke arena untuk menyusun strategi. Setidaknya ada tiga poin yang patut kita cermati sebagai starting point, yaitu isu halal dan berat karkas daging impor dari Brazil, serta perbaikan aturan, misalnya sistem kemitraan dan CSR (Corporate Social Responsibility).

Pertama mengenai isu halal, kita patut menghargai kehadiran lembaga-lembaga yang concern dengan kehalalan pangan misalnya Universitas Brawijaya dengan Halal Centre-nya, UI Halal Centre dari Universitas Indonesia, Serial Halal Class oleh UGM. Keberadaan lembaga-lembaga ini memberikan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang pentingnya kehalalan produk yang mereka konsumsi. Ketiadaan jaminan status halal daging impor dari Brazil ke Indonesia dapat mengurangi minat konsumen masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Kita berharap muslim Indonesia mematuhi syariat agamanya dan memilih daging broiler yang terjamin kehalalannya selain ke-thoyib-annya. Kecuali kelak jika Brazil bisa memenuhi aturan impor daging halal di Uni Emirat Arab.

Kedua, diketahui bahwa Brasil mengekspor ayam utuh ke Indonesia dengan bobot tinggi (di atas 2 kg), sedangkan preferensi masyarakat Indonesia adalah ayam lokal yang bobotnya antara 1,8-2 kg. Selain itu, masyarakat Indonesia juga menyukai karkas segar dibandingkan beku.

Ketiga adalah pemberdayaan peternak gurem yang selama ini tidak diperhitungkan keberadaannya dengan pembenahan kemitraan dan/atau program CSR. Poin ini membutuhkan kebersamaan dan good will yang baik diantara para stakeholders dimana pemerintah wajib memberikan aturan kemitraan atau CSR perusahaan yang tujuannya pada pemberdayaan peternak dari level yang terendah. Kemitraan perlu ditinjau kembali transparansi dan pelaksanaannya, sebagaimana selama ini kita sebenarnya sudah mengetahui seluk beluk permasalahannya tapi belum ada ketegasan yang berarti dari pemerintah.

Aturan CSR yang saat ini juga tidak memberikan teknis pelaksanaan dan persentase jumlah yang harus “dikembalikan” kepada masyarakat. Jika pembenahan terkoordinasi dengan baik dan pelaksaan aturan juga tegas maka diharapkan bisa memberdayakan peternak disemua level dan memenuhi kebutuhan daging broiler untuk menyaingi impor dari Brazil.

Akademisi juga hendaknya tidak selalu berorientasi untuk membangun jejaring dengan perusahaan-perusahaan besar sekedar untuk mencari dana bantuan dan kemudian disalurkan secara pada peternak. Namun, akademisi harus berorientasi memberdayakan peternak broiler dengan cara menciptakan sebuah strategi agar peternak bisa mandiri tanpa tergantung kepada pihak manapun secara sustainable.***

Dr. Siti Azizah, S.Pt, M. Sos., M. Commun, Pengajar di Minat Sosial Ekonomi Fak. Peternakan Universitas Brawijaya (UB)


2 thoughts on “SENGKARUT INDUSTRI AYAM NASIONAL, AKANKAH PETERNAK UNTUNG ?

  1. Saya senang ada staf pengajar/ gurubesar dari Fapet UB yang mulai bersuara dikancah perunggasan. Opini, analisa maupun usulan yg disampaikan bisa menambah wacana & wawasan bagi semua insan perunggasan. Selain itu menunjukan existensi Fapet UB terhadap dinamika dan problematika dikancah perunggasan. Maju terus Fapet UB.

  2. Semoga peternak rakyat yg kegiatan usahanya utk menafkahi keluarga/makan bisa lebih baik lagi, sebaiknya pemerintah lebih toleran trhadap mreka, bukan terus mempasilitasi mreka yg usaha broiler utk menumpuk harta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *