Menilik kembali strategi crossbreeding: Indonesia menganut yang mana?

Oleh Nuzul Widyas

Memelihara sapi crossbred adalah alternatif yang paling optimal dalam sistem produksi sapi potong di Indonesia (Widi, 2015). Perlu diakui bahwa crossbreeding yang telah dimulai sejak tahun 1980an secara bertahap mampu meningkatkan produktifitas tiap individu sapi potong; meskipun upaya ini belum bisa meningkatkan populasi sapi potong nasional. Crossbreeding adalah program persilangan ternak dari dua atau lebih bangsa yang berbeda; ada empat strategi crossbreeding dimana masing-masing memiliki karakteristik dan tujuan masing-masing  (Leroy et al., 2016). Lalu strategi crossbreeding yang manakah yang sebenarnya diterapkan di Indonesia saat ini?

Sumber: Leroy et al., 2016

Terminal crossing

Terminal crossing adalah strategi yang paling sederhana; umumnya melibatkan 2-3 bangsa ternak yang berbeda. Produk dari terminal crossing adalah final stock yang dapat berupa F1 (jika melibatkan 2 bangsa) seperti pada sapi potong dan sapi perah; atau F2 (jika melibatkan 3 bangsa) contohnya adalah pada babi komersial. Pada terminal crossing, keturunannya baik F1 maupun F2 memiliki komposisi genetis yang seragam, sehingga mempermudah aspek manajemen pemeliharaan.

Gambar 1. Terminal crossing A) dengan 2 bangsa; B) dengan 3 bangsa.

Industri peternakan sapi potong di negara-negara berkembang yang beriklim tropis biasanya menganut strategi ini. Crossbreeding dengan sistem ini melibatkan induk betina dari bangsa ternak lokal yang terjamin kemampuan adaptasinya, serta pejantan impor superior yang merupakan produk dari program peningkatan mutu genetis dengan potensi produksi yang tinggi. Terminal crossing mengoptimalkan heterosis (kondisi dimana performan crossbred lebih baik dari salah satu atau rerata kedua tetuanya) dan pemanfaatan gen-gen adaptif dari induk local. Karena strategi ini membutuhkan suplai betina lokal yang sustainable, maka secara tidak langsung sistem ini juga akan berkepentingan untuk melestarikan dan meningkatkan sumber daya genetik lokal.

Rotational crossing

Rotational crossing pada intinya adalah mengeksploitasi peluang munculnya fenomena heterosis. Dalam system ini, betina crossbred akan disilangkan lagi dengan pejantan dari bangsa salah satu tetuanya secara bergantian (rotasi) antar generasi; sehingga suplai materi genetic ternak local yang sustainable mutlak diperlukan seperti pada terminal crossing. Ternak crossbred hasil dari system ini akan memiliki performans yang bervariasi dari generasi ke generasi, tergantung dari bangsa pejantan yang digunakan pada generasi tersebut.

Gambar 2. Skema rotational crossing

Produk crossbred dengan strategi ini diprediksi akan memiliki adaptabilitas yang baik karena melibatkan sumber daya genetis ternak local dengan porsi yang stabil pada tiap generasi; oleh sebab itu kelestariannya juga akan ikut terjaga.

Breed substitution atau upgrading

Upgrading dilakukan dengan memanfaatkan prinsip back-cross. Betina F1 hasil silangan antara betina local dengan pejantan impor akan dikawinkan dengan pejantan dari bangsa impor yang sama untuk menghasilkan F2. Individu-individu F2 betina akan dikawinkan lagi dengan pejantan dari bangsa impor yang sama dan seterusnya hingga mencapai proporsi bangsa yang diinginkan, dimana biasanya mendekati 100% bangsa ternak impor. Strategi ini sering digunakan sebagai alternatif dalam mengatasi resiko depresi inbreeding atau kepunahan pada hewan dengan populasi yang sangat kecil.

Gambar 3. Skema upgrading

Karena tujuannya adalah pemurnian kearah salah satu bangsa, maka tidak akan ada efek heterosis yang dapat diharapkan. Benefit dari aspek adaptabilitas keturunan crossbred-pun akan sangat kecil. Perlu juga digarisbawahi bahwa jika dilakukan tanpa tujuan dan program yang terencana, upgrading memiliki resiko erosi genetik hingga ancaman terhadap kelestarian sumber daya genetik ternak lokal. Contohnya pada restorasi populasi kuda Dutch Warmblood (KWPN, Belanda) yang memiliki tingkat inbreeding yang sangat tinggi sehingga terancam punah dengan upgrading menggunakan bangsa eksotik dari Arab.

Bangsa sintetis atau komposit

Pembentukan bangsa sintesis atau komposit pada dasarnya bertujuan untuk menggabungkan sifat-sifat unggul dari beberapa bangsa ternak. Pada sistem ini, individu-individu crossbred F1 akan dikawinkan dengan sesamanya selama beberapa generasi hingga diperoleh komposisi genetik yang stabil. Dari gambaran tersebut dapat dilihat bahwa proses pembentukan bangsa sintesis akan semakin kompleks dan membutuhkan waktu yang lama jika jumlah bangsa ternak yang terlibat semakin banyak. Lamanya proses pembentukan bangsa komposit tentunya juga berpengaruh terhadap feasibilitas pelaksanaan program breeding dan tingginya biaya yang dibutuhkan.

Gambar 4. Skema pembentukan bangsa sintesis atau komposit.

Setelah melewati beberapa generasi, produk dari strategi ini baru akan stabil secara genetis. Produk komposit secara teori memiliki adaptabilitas cukup baik. Namun, peluang untuk memanfaatkan heterosis sangat rendah dan ancaman terhadap sumber daya genetik lokal sangat tinggi jika tidak dikontrol dengan baik. Contoh bangsa komposit yang sukses dan mencapai kestabilan genetik di Indonesia adalah sapi Madura; yang merupakan komposit dari Bos indicus dan Bos javanicus. Hal ini dapat dibuktikan dengan  hasil perkawinan sapi pejantan dan betina Madura yang hasilnya cukup seragam.

Teori dan realita

Uraian diatas merupakan penyegaran kembali akan materi dalam ilmu pemuliaan tentang strategi crossbreeding. Meskipun konsep ini termasuk pengetahuan klasik, namun aplikasi di lapangan masih menyimpang jauh dari standar kelayakan sebuah program breeding. Gap dan ketertinggalan dalam ilmu pemuliaan klasik terkait program breeding cenderung terabaikan dan terlupakan. Akibatnya terlihat sekarang dengan carut-marutnya populasi komoditas-komoditas ternak di Indonesia; selain itu upaya produksi bibit ternak juga tidak kunjung menunjukkan hasil yang memuaskan akibat kurangnya perhatian serta pemahaman akan program breeding dan pola pewarisan sifat pada ternak.

Awalnya crossbreeding sapi potong di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan produktifitas sapi lokal dengan menyilangkannya dengan pejantan import superior. Pada konteks ini, maka strategi terminal crossing adalah yang paling sesuai. Jika konsep ini ditaati, maka crossbred F1 atau maksimal F2 semuanya merupakan final stock; dan sapi lokal murni harus dilestarikan untuk menyediakan induk-induk berkualitas. Crossbreeding di Indonesia juga tidak menganut strategi rotational crossing; dimana suplai bangsa murni harus berkelanjutan karena terus digunakan dalam persilangan. Namun kenyataan yang ada di lapangan, Inseminasi Buatan (IB) dengan semen sapi impor dapat dilakukan pada semua sapi betina tanpa perlu ada kualifikasi khusus; sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada sama sekali program breeding yang berjalan pada tataran ini. Lebih lanjut, aturan untuk tidak menyembelih ternak betina tanpa diskriminasi yang jelas juga cenderung memperkeruh serta tidak membantu dalam evaluasi dan control komposisi bangsa pada populasi sapi potong.

Ada pula sapi Simmental Indonesia yang diperoleh melalui strategi upgrading. Menurut teori, suatu bangsa dapat dianggap murni jika sudah dimuliakan minimal 5 generasi ke arah salah satu bangsa tetuanya. Dengan demikian porsi sapi impor sudah diatas 90% dan sapi local dibawah 10%; lalu apa tujuan upgrading ini? Dalam kondisi tersebut dapat dipastikan adaptabilitas sapi hasil upgrading adalah rendah sehingga membutuhkan perlakuan khusus dan tidak sesuai dengan karakteristik system produksi pada peternakan rakyat. Jika akan digunakan sebagai sumber semen; apakah kualitasnya sebanding dengan sapi pejantan impor yang sudah melalui seleksi yang sangat ketat dari negara asalnya? Apakah aspek inbreeding akibat jumlah populasi yang terbatas juga diperhitungkan dalam projek seperti ini?

Kemudian yang terbaru adalah crossbreeding dengan semen sapi Belgian Blue (BB). Karakteristik unik dari sapi ini adalah kondisi Double Muscle (DM) akibat mutasi gen myostatin (MSTN) yang menyebabkan tumbuh kembang otot tidak terkendali. Crossbred F1 BB akan mewarisi gen MSTN hasil mutasi, bukan mewarisi sifat DM-nya. Sedangkan populasi F2 (75% BB dan 25% sapi konvensional) akan memiliki peluang 50:50 untuk memunculkan keturunan-keturunan sapi DM atau normal. Strategi crossbreeding yang mana sebenarnya yang diadopsi oleh program persilangan dengan BB ini dan apa tujuannya? Jika keturunan crossbred BB tidak memunculkan karakteristik uniknya, yaitu sifat DM, lalu apa bedanya crossbred BB dengan crossbred Bos taurus konvensional yang lain? Satu-satunya pembeda dari program ini ini adalah resiko penyebaran mutasi MSTN ke populasi sapi nasional, yang berpotensi merusak sapi betina lokal.

Ide dan niat peneliti untuk membuat ternak komposit perlu dihargai. Namun harus dilakukan dengan program dan strategi yang terukur dan terkontrol. Karena baik upgrading dan komposit membutuhkan waktu sangat panjang untuk mencapai hasil yang stabil serta memiliki potensi ancaman terhadap kelestarian sumber daya genetik sapi lokal.

Belakangan juga semakin banyak komponen masyarakat yang mengimpor kambing dan domba eksotik dari berbagai lokasi di dunia. Hewan-hewan ini kemudian disilangkan dengan kambing dan/atau domba lokal dengan berbagai macam tujuan, dari mulai hobby, karena faktor keingintahuan dan ada juga yang bereksperimen untuk menciptakan produk hybrid baru. Namun tampaknya tidak ada regulasi yang mengatur tentang hak untuk melakukan aktifitas terkait breeding, seperti mengimpor hewan hidup, melaksanakan seleksi, perkawinan dan persilangan maupun diseminasi. Kita nampaknya tinggal menunggu saja sampai bangsa-bangsa ternak yang ada disekitar kita menjadi tidak bisa dikenali lagi jenis dan bangsanya.

Kini, akses informasi dan pengetahuan bagaikan tanpa batas ruang dan waktu. Pun banyak sumber daya manusia kita yang memiliki akses dan koneksi dengan kolega di seluruh dunia. Maka akan sangat mudah jika bangsa ini mau belajar atau bekerjasama dengan negara-negara yang industri peternakannya lebih maju untuk mengejar ketertinggalan di ranah breeding. Solusi yang penulis tawarkan untuk menghindari ”bencana biodiversitas ternak” ini adalah pertama membentuk konsorsium breeding ternak lokal dengan mindset dan persepsi yang ”sama”. Konsorsium berisi profesional yang kompeten dan relevan di bidang breeding baik dari kalangan akademisi, praktisi dan pembuat kebijakan. Konsorsium ini akan didampingi akademisi dan praktisi breeding terpercaya dari negara dengan industri peternakan yang maju terlepas dari kepentingan politis, ideologis dan projek tertentu. Kemudian aktifitas breeding ternak harus diatur sedemikian rupa dan hak perijinan dan pelaksanaannya dibatasi pada asosiasi, perusahaan atau lembaga pemerintah yang berwenang. Merombak peran, fungsi dan tanggung jawab balai2 pembibitan supaya bisa berkonsentrasi pada produksi indukan berkualitas dapat menjadi salah langkah awal yang baik.

Jika memang negara ini memiliki goodwill, tenaga-tenaga ahli yang brilian, fasilitas, komitmen dan dana yang memadai, mengapa tidak berupaya saja untuk melakukan program peningkatan mutu genetis sapi lokal demi menyediakan indukan yang berkualitas? Dengan demikian sumber daya genetik lokal akan terjaga, dan produktifitas dapat dioptimalkan melalui terminal atau rotational crossing dengan semen sapi impor yang investasinya lebih rendah dan resikonya tidak bersifat destruktif. 

#Conserve_maintain_utilise_SDG_lokal

Sumber:

Leroy, G., Baumung, R., Boettcher, P., Scherf, B., & Hoffmann, I. (2016). Review : Sustainability of crossbreeding in developing countries ; de fi nitely not like crossing a meadow …, 262–273. https://doi.org/10.1017/S175173111500213X

Widi, T. S. M. (2015). Mapping the impact of crossbreeding in smallholder cattle systems in Indonesia. Wageningen University and Research Centre. Retrieved from http://edepot.wur.nl/345219

2 thoughts on “Menilik kembali strategi crossbreeding: Indonesia menganut yang mana?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *