Hukum “aliran barang” mengatakan bahwa jumlah barang yang dialirkan sebagai penyedia, yang dipasok atau supply harus seimbang dengan jumlah barang yang dibutuhkan atau diterima oleh yang membutuhkan. Maka inilah yang disebut dengan hukum keseimbangan “supply – demand”. Sebenarnya hukum “suppay – demand” ini berlaku pada bidang apa saja. Pada bidang lingkungan biasa disebut dengan “homoestasis”, yaitu hukum keseimbangan antara barang yang diterima oleh organisme dari lingkungannya baik biotik maupun abiotik, maka ini juga disebut dengan konsep ekologi.
Konsep ekologi dan keseimbangan antara pasok dan kebutuhan ini juga sangat kental sebagai hukum dasar dalam pengembangan perunggasan, dan sangat patut dicermati dan ditaati aturannya khususnya di Indonesia yang saat ini lagi dilanda berbagai masalah ketidak seimbangan “supply – demand” ini.
Apa yang terjadi? Kalau supply jauh lebih sedikit atau di bawah angka yang dibutuhkan oleh konsumen, maka dikatakan kekurangan barang, berlanjut kepada kelangkaan, yang lebih parah akan menjadi barang yang dijadikan “rebutan” oleh para konsumen. Dalam kondisi seperti ini maka harga akan cepat sekali melambung tinggi. Ada yang berfikir, wah ini berarti menguntungkan perternak karena harga jual ayam hidup semakin tinggi pula. Hal ini bisa dijawab “ya” atau “tidak”. Memang dunia perunggasan merupakan dunia yang agak rumit, dan sering misterius. Alasannya, karena perunggasan ini adalah “seksi” merupakan komoditas yang dikatakan sudah memasuki dunia industri, sementara pelakunya sangat bervariasi mulai dari tingkat peternak kalangan rendah, menengah sampai kepada peternak atau skala industri tingkat tinggi.
Itu tadi kalau supply barang perunggasan berada pada kekurangan. Bagaimana sebaliknya kalau “supply” barang jauh melebihi kebutuhan yang diperlukan konsumen? Jawabannya sudah bisa ditebak ”barang melimpah”, pembeli tidak mampu menyerap barang yang disediakan. Pasti akan menjadi petaka bagi dunia perunggasan. Kenapa? Karena produk perunggasan sebagian besar tidak bisa bertahan lama dalam kondisi alam biasa. Ini salah satu faktor penting yang menyebabkan nilai tawar produk peternakan (unggas) menjadi rendah. Ambil contoh ayam hidup yang harus dipanen dan dijual oleh peternak. Peternak biasanya sudah menjadwal kapan ayamnya akan dipanen dan dikosongkan dari kandang. Di saat sudah ada jadwal untuk dipanen, maka sudah diperhitungkan berbagai hal. Pertama, jumlah pakan yang akan diberikan sudah dihitung sesuai dengan kebutuhan. Misalnya ayam terlambat dipanen 2 – 3 hari saja, maka peternak harus memberikan pakan tambahan yang jumlahnya tidak sedikit dan ini akan mengganggu kesetabilan keuangan peternak. Untuk peternak yang dananya pas-pasan bisa jadi harus pontang-panting mencari dana talangan atau bisa juga secara terpaksa menghutang lagi pakan diluar perhitungan awal.
Kedua, jatuh tempo pembayaran angsuran hutang sarana produksi yang bisanya tenggang waktu sudah ditentukan (misalnya 1 bulan), bisa jadi molor. Dan ini pasti akan mengganggu keuangan peternak dan juga meresahkan para peternak. Ketiga, prediksi harga bisa jadi berubah, yang tadinya punya posisi tawar tinggi langsung turun drastis dikarenakan barang tidak bisa disimpan dan bahkan masih harus memberikan biaya pakan setiap hari. Akibatnya, bisa-bisa melemah di posisi tawar harga dan seringkali tidak terkendali sesuai dengan harapan. Keempat, perencanaan kandang bisa jadi berubah. Mestinya kandang sudah segera dibersihkan untuk disiapkan pemeliharaan periode berikutnya menjadi terhambat. Pun juga, bila kandang sebelahnya ada DOC yang dimasukkan, maka keamanan bisa terganggu.
Kelebihan pasok atau over supply DOC pada skala luas misalnya di wilayah atau daerah dan bahkan nasional (bukan skala peternak) berakibat sangat fatal. Akibat ini bisa terhadap dua sisi. Pada sisi produsen DOC dan pada sisi peternak hilir atau final stock. Pada peternak hilir disebut juga sebagai perusahaan pembibitan. Over supply pastinya terjadi akibat dua hal pula. Pertama, perhitungan kebutuhan DOC yang direfleksikan dengan prediksi tingkat konsumi oleh masyarakat atau jumlah produk yang diekspor (baik dalam bentuk DOC maupun dalam hasil panen broiler), dan kedua, kemungkinan adanya terjadi dinamika dan penurunan konsumsi dan nilai beli masyarakat yang menurun, sehingga barang produk hasil broiler melimpah di masyarakat. Obsesi yang berlebihan perusahaan pembibitan untuk mengembangkan usahanya menyebabkan over estimate sehingga produksi DOC berlebihan. Produksi DOC pastinya tidak begitu saja muncul, namun melalui suatu perhitungan prediksi yang panjang dan rumit. Namun yang jelas telah melalui perencanaan matang yang melibatkan pengadaan atau impor GPS untuk menghasilkan PS. Ini melibatkan banyak aspek seperti lahan, perkandangan, pakan, tenaga kerja, obat-obatan, penetasan dan tenaga pemasaran. Sehingga bisa dikatangan adanya oversupply atau kelebihan pasok DOC berdampak fatal juga bagi perusahaan, karena harus berupaya keras menekan atau mengurangi produksi yang sebenarnya tidak bisa dikurangi atau tidak bisa ditekan. Kenapa? Karena mesin GPS dan PS adalah “mesin bilogis” yang tidak bisa dihentikan proses produksinya. Pasti berbeda dengan mesin-mesin di pabrik barang-barang non-biologis seperti pabrik mobil, atau barang-barang elektronik yang setiap saat bisa dihentikan tanpa berpengaruh terhadap rusaknya barang. Pada kenyataannya, kondisi tersebut (over supply) terlihat sangat mengerikan.
Lantas bagaimana seandainya kondisi “over supply” sudah benar-benar terjadi? Berbagai strategi nyatanya juga dikonsep dan bahkan sudah diimplementasikan di dunia perbibitan Indonesia yang sejak beberapa tahun lalu sampai hari ini mengalami problematika kondisi “over supply”. Suatu dilematik untk mengambil kebijakan. Mau dibiarkan akan memberikan dampak melesunya usaha peternakan dan berakibat pada meruginya peternak, mau dilakukan pengurangan dengan memotong PS atau menghancurkan telur tetas yang sudah dieramkan/inkubasi juga sangat tidak manusiawi dan berperikehewanan. Maka langkah yang diambil oleh Pemerintah adalah dengan mendiskusikan bersama dengan para pengusaha, dan akhirnya diperoleh kesepakatan untuk melakukan “cutting” dan “aborsi”. Istilah “cutting” digunakan untuk mengafkir dini induk PS yang berumur lebih dari 50 minggu (di awal dulu pada tahun 2015 di atas 70 minggu), sedangkan istilah “aborsi” adalah melakukan penghentian proses perkembangan embrio ayam yang sudah dieramkan dalam mesin penetas (inkubasi) pada umur tertentu, bisa sampai dengan umur 19 hari.
Sementara, di tingkat peternak terus dilakukan pestabilan harga ayam panen kandang dalam keadaan hidup atau disebut “live bird” (LB). Meskipun belum berjalan normal, namun perlahan sudah mulai ada hasilnya. Para peternak rakyat harus mengencangkan ikat pinggang agar bisa bertahan melampau masa prihatin ini. Ini adalah periode transisi yang mencekam bagi para peternak rakyat. Karena mereka setiap hari selalu dihantui rasa was-was mengenai harga ayam hidup panen kandang (LB) untuk hari esok. Maka wajarlah kalau banyak kalangan melemparkan pertanyaan “gonjang-ganjing perunggasan, masih bisakah diselamatkan?”.
Untuk bisa menjawab pertanyaan tersebut, tidak bisa ditulis dalam 1 kali tulisan saja, namun masih harus dikaji beberapa aspek seperti pengaruh “keseimbangan terhadap harga”, “aspek-aspek pendukung keseimbangan”, “beberapa skenario strategi yang harus direncanakan dan diimplementasikan ke depan” untuk menjamin sistem peternakan unggas dalam negeri yang menguntungkan dan berkelanjutan, serta “telaah kritis terhadap peraturan perunggasan”. (bersambung….)
Prof Dr H Suyadi, Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya