Setiap memperingati hari Rabies (28 September Hari Rabies Internasional-ed) saya selalu menyempatkan untuk menulis di berbagai media tentang bahaya penyakit dan selalu mengingatkan tentang sejarah perjalanan umat manusia untuk menanggulangi penyakit kuno yang tak kunjung beres beres itu. Tak kunjung beresnya penanggulangan Rabies , inilah yang pada akhirnya saya berpendapat bahwa memberantas Rabies di Indonesia dan upaya pembebasannya adalah hal yang mustahil dan tak mungkin terjadi, ibarat mimpi di siang bolong . Kita memang sudah ditakdirkan hidup “damai” dengan Rabies.
Tak kunjung beresnya pembebasannya ini cukup beralasan. Pertama sejak tahun 1980 sewaktu saya mulai bekerja sebagai PNS di Direktorat Kesehatan Hewan Direktorat Jenderal Peternakan, telah dimulai program sistematis pemberantasan yang selalu ditargetkan akan bebas lima tahun sesudahnya. Sehingga pada setiap penyusunan Rencana Strategis ( dulu namanya Repelita) selalu tercantum tentang rencana pembebasan. Akibatnya target pembebasan selalu mundur setiap lima tahun. Sekarang, 40 tahun kemudian Rabies di Indonesia bukannya jadi bebas melainkan bertambah luas daerah penyebaran penyakit dan bertambah pula kasus terjadinya gigitan anjing pada manusia beserta tingkat kematian yang ditimbulkan.. Data Kemenkes dan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan membuktikan hal ini yaitu dari 34 Provinsi yang ada, sudah 26 Provinsi dinyatakan tertular. Praktis hanya 8 Provinsi yang masih bebas yaitu Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan Papua. Pulau-pulau yang bebas Rabies antara lain pulau Weh di Aceh, pulau Meranti di Riau, pulau Sebatik di Kaltara, dan Makalahi di Sulut. Data dari Kemenkes kasus gigitan anjing cenderung meningkat setiap tahun yaitu terjadi 80.861 kasus gigitan dengan 105 kasus kematian.
Alasan kedua, walaupun Indonesia telah berkolaborasi dengan sesama negara Asia Tenggara bahwa nanti di tahun 2030 kawasan ini akan dapat membebaskannya, namun dengan melihat kondisi teknis, Sumberdaya Manusia dan anggaran yang tersedia serta bagaimana masyarakat Indonesia secara sosial budaya menempatkan posisi hewan anjing dalam kehidupan kesehariannya, rasa rasanya memberantas Rabies hanya berupa pemberantasan yang bersifat sporadis dan menyisakan Rabies sebagai penyakit yang sifatnya endemis, kadang muncul suatu waktu menjadi ancaman di berbagai daerah. _Memang betul adanya karena sampai saat ini ada saja daerah yang dinyatakan sebagai KLB atau Kejadian Luar Biasa Rabies, akibat secara mendadak suatu daerah meningkat kasus gigitan anjing.
Posisi Anjing dalam Masyarakat
Hewan anjing, selama ini dikenal sebagai hewan kesayangan (pet animal). Akhir-akhir ini bertumbuhlah teknologi dan inovasi bioteknologi genetika yang menyilang-nyilangkan antar berbagai ras anjing sehingga diperoleh berbagai jenis hewan anjing yang terlihat dari adanya perbedaan warna, bulu, bentuk badan, penampilan, wajah dan sifat karakter anjing sesuai keinginan. Saat ini sudah muncul berbagai varian ras anjing yang dipelihara sebagai dampak dari perkawinan silang, baik yang tercatat maupun tak tercatat. Tumbuh sebagai industri yang menjadi cabang usaha sebagai penghasilan masyarakat yang berefek multiplier menimbulkan industri pendukung berupa pakan anjing dan obat-obatan serta industri jasa berupa tempat penitipan, hotel serta cafe khusus anjing dan jasa perawatan dokter hewan terutama di kota-kota besar. Hewan anjing telah menjadi hewan kesayangan dan menjadi tren hidup pada masyarakat perkotaan Demikian hewan anjing telah menjadi hewan kesayangan yang sangat dimanja, menjadi teman dan sudah dianggap layaknya sebagai anggota keluarga
Tetapi ada pula ras anjing yang hidupnya dibiarkan secara alami, berbiak dan mencari makan dengan sendirinya. Anjing jenis ini lebih banyak dimanfaatkan kegunaannya untuk membantu berburu mencari babi hutan pada etnik tertentu atau dipakai sebagai penjaga rumah dan harta bendanya karena sifat penciumannya yang tajam untuk mengenali orang yang dicurigai akan berbuat jahat
Kepolisian RI telah memanfaatkannya jenis anjing tertentu sebagai pengendus narkotika dan bahan berbahaya lainnya di berbagai airport dan pintu masuk daerah perbatasan setelah dididik melalui pendidikan khusus. Malahan hewan anjing dapat pula dilatih mengenali seseorang yang terpapar Covid-19. Kita tidak mempersoalkan itu semua. Yang jadi keprihatinan dan membuat dahi kita mengerjitkan adalah semakin meningkatnya perdagangan anjing untuk konsumsi masyarakat . Membuat kita miris dan prihatin karena cenderung meningkat setiap tahunnya tanpa disadari
Perdagangan dan Konsumsi daging Anjing
Pada tahun sekitar 1972-an, Drh. C. Koesharjono telah membuat foto yang menarik dalam buku Biografinya (2021). Di dalam foto tersebut tergambarkan sebuah mobil pick-up terbuka yang bermuatan penuh dengan karkas anjing, diangkut dari daerah Jawa Barat memasuki wilayah Solo Raya menuju para pengepul dan pembeli untuk selanjutnya dimasak jadi tongseng asu dan sate gukguk dan dijajakan terang-terangan di lapak kaki lima. Saat ini 50 tahun sesudahnya menurut penelusuran dari Dog Meat Free Indonesia (2021) kurang lebih 13.700 ekor anjing dikonsumsi setiap bulannya didaerah Solo Raya sehingga saat ini dapat dikatakan Solo sudah menjadi hub perdagangan anjing untuk konsumsi di pulau Jawa. Menurut sumber data yang sama terdapat lima daerah yang konsumsi daging anjingnya tinggi yaitu Minahasa, Karo, Bali, Jakarta dan Solo. Setahunnya kurang lebih satu juta ekor anjing di seluruh Indonesia habis dibantai untuk konsumsi dagingnya. Kuliner daging anjing dijajakan pada malam hari pada warung tenda dan lapak pinggir jalan sampai restoran berkelas (Malang Times,2020). Turis- turis yang datang ada kalanya tidak paham bahwa sate atau daging rica-rica berbumbu pedas itu adalah daging anjing
Hewan anjing itu dibunuh dengan cara yang keji, diluar nalar kemanusiaan. Anjing yang masih hidup dipukul dengan besi di darah sekitar mulut dan kepala sehingga berteriak mengkaing-kaing dan akhirnya pingsan disaksikan oleh teman-temannya yang mengantre untuk dibunuh dengan cara yang sama. Ibaratnya kamp pengungsi tawanan perang jaman perang dunia dulu, begitulah keseharian para jagal dan pengepul yang membantai tak berperi kemanusiaan pada anjing-anjing yang tak berdosa itu, jauh dari kaidah animal welfare atau kesejahteraan hewan. Kemudian anjing tersebut dibakar hingga mengelupas kulit dan bulunya, dagingnya dibiarkan menghitam. Ada kalanya dijual dalam bentuk segar setelah direbus setengah matang di lapak penjualan pasar yang berdekatan dengan tempat lapak penjual daging lainnya.
Anjing ditangkap hidup- hidup sebelumnya dengan cara dijerat , diberangus, dan kadang dicuri dengan berbagai umpan yang beracun akhirnya dibawa ke tempat kamp penyiksaan untuk dibunuh guna memenuhi permintaan konsumsi.
Dilegalkan, antara hewan kesayangan dan kuliner?
Sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa konsumsi daging anjing sudah merupakan konsumsi harian di sebagian etnik suku bangsa kita. Walaupun konsumsi daging anjing bertentangan dengan Undang-undang Pangan No 18 Tahun 2012 dan Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan No.18 Tahun 2009, tetapi konsumsi daging anjing sudah menjadi tradisi keseharian sebagaimana daging ayam, sapi, kambing dan babi pada masyarakat kebanyakan. Konsumsi daging anjing konon dipercaya membuat badan lebih fit , dapat mencegah dan mengobati demam dan penyakit tertentu. Di Papua diyakini dapat menjadi pengusir roh jahat halus yang mengganggu kehidupan masyarakat disana.
Berbagai protes dari kelompok masyarakat bermunculan untuk menghentikan berbagai praktek penyiksaan dan kemungkinan potensi penyebaran Rabies. Pemerintah daerah kadang tidak berdaya melarang penjualan daging anjing dan konsumsinya karena memang belum ada aturan yang tegas untuk melarangnya. Pemerintah berpatokan pada UU Pangan dan UU Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menyebutkan pangan berasal dari sumber daya pertanian tanaman pangan, hortikultura, peternakan, perkebunan dan perikanan. Hewan anjing jelas berada diluar UU tersebut karena termasuk hewan kesayangan bukan ternak.
Sampai disini tanda tanya itu muncul. Dapatkah penyembelihan anjing itu dilegalkan ? Kalau dilegalkan maka proses budidaya anjing sampai penyembelihan, distribusi dan konsumsinya akan dapat terkontrol dan diatur sesuai Good Agricultural Practices. Dengan kata lain keamanannya dapat terjamin dan terjaga dari sejak farm to table. Tentu saja persyaratannya menjadi ketat sehingga tercegah penyebaran Rabies yang dikhawatirkan itu. Upaya melegalkan konsumsi daging anjing ini justru untuk menghindari dampak negatif proses penyiksaan waktu di kamp-kamp pembantaian dan untuk keselamatan konsumen dari Rabies. Karena patut di ketahui bahwa dari hampir dari 270 juta penduduk Indonesia sekitar 6-7 persen tergolong konsumen daging anjing. Jumlah ini memang sekitar 20 juta jiwa, tapi jumlahnya cukup besar untuk keselamatan mereka dari ancaman Rabies yang mematikan itu. Oleh karena itu di lima daerah yang tertinggi konsumsi daging anjing pada umumnya kasus Rabiesnya tinggi seperti di Karo, Minahasa dan Bali. Dengan pelegalan tersebut dapat diatur dan diawasi lalu lintas perdagangan anjing antar pulau dan daerah sampai proses pemotongan ,distribusi dagingnya ke konsumen yang tepat dengan mengedepankan prinsip pemotongan yang baik tanpa menyiksa anjing.
Upaya melegalkan sementara ini akan terkendala dengan aturan di UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Solusi dan caranya adalah dengan memasukkan hewan anjing tergolong sebagai jenis aneka ternak, sebagaimana kita pernah memasukkan hewan kelinci sebagai ternak konsumsi di tahun 1980an. Tentu saja kita harus berkoordinasi dengan induk Organisasi yang membawahinya yaitu PERKIN( Perkumpulan Kynologi Indonesia) dan berkonsultasi dengan MUI. Pada waktu itu malah pemerintah mengkampanyekan secara besar-besaran kelinci sebagai sumber pangan hewani . Untuk anjing tentu hanya diperuntukkan bagi daerah daerah dan penduduk yang memang secara tradisi turun temurun biasa mengkonsumsi dan tidak serta-merta di lakukan di seluruh daerah yang sudah konsisten melarang konsumsinya karena tidak sesuai dengan agama, keyakinan dan adat istiadatnya.
Dalam rangka memperingati World Rabies Day tahun ini, ada baiknya usulan kecil ini dapat dipertimbangkan untuk kemaslahatan bersama.
Depok, 28 September 2021
M. Chairul Arifin