Kata “silang” dalam hal ini menurut saya ada dua pengertian, pertama berarti “menyimpang, menyeleweng” dalam Bahasa Inggris “cross, bias”, dan yang kedua adalah “silang, atau coret, dibuang, dibatalkan”. Saya sangat tertarik untuk membahas Kembali Permentan nomor 03 tahun 2019, meskipun sebelumnya sudah pernah saya kritisi dan presentasikan pada tanggal 22 Maret 2019 di Puslitbangnak Bogor, atas Prakarsa PB ISPI.
Permentan 03 tahun 2019 lahir pada tanggal 08 Januari 2019 dari rahim tanda tangan Menteri Pertanian Amran Sulaiman. Nampak sekali ada kecerobohan dan kesalahan dari kandungan isinya, sehingga menimbulkan kontroversi pemikiran para pemerhati, gaduh di masyarakat dan juga terganggunya kinerja bidang peternakan. Permentan ini lahir pada waktu yang sangat tidak tepat, dalam kondisi yang cacat makna dan tersurat pasal-pasal maka diterbitkanlah dia pada masa lagi gencar-gencarnya program UPSUS SIWAB. Apa hubungannya antara UPSUS SIWAB dan Permentan 03? Dan apa hubungannya dengan kekecewaan para petugas inseminator dan petugas reproduksi ternak sehingga mereka berkeluh kesah dan rasanya mau meledak demo di hadapan para petinggi kementerian?
Yang dimaksud bahwa Permentan ini cacat adalah karena di dalam isinya ada dua hal penting yang lebih cocok disebut sebagai “Penyelewengan” dan “Perselingkuhan”. Penyelewengan karena muatan beberapa pasal mengatur kinerja profesi yang mestinya tidak memiliki hak untuk diatur dan mengatur. Dalam hal ini adalah mengenai “Inseminasi Buatan” dan “Pengelolaan Reproduksi” oleh tenaga paramedis veteriner yang tiba-tiba muncul pada Pasal 6 ayat 2. Yang sebelumnya tidak pernah ada pada peraturan di atasnya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) nomor 03 tahun 2017 tentang Otoritas Veteriner. Kalau kita cermati pada PP tersebut, tidak ada kata satupun yang menyebutkan tentang inseminasi buatan atau manajemen reproduksi, yang adalah Medik Veteriner dan Medik Reproduksi. Dan PP nomor 03 tahun 2017 tersebut memang benar mengatur mengenai otoritas veteriner yang memiliki beberapa tugas kewenangan bidang kesehatan hewan. PP nomor 03 tahun 2017 adalah penjabaran UU nomor 18 tahun 2009, UU nomor 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan beserta perubahannya pada Pasal 68 dan 75 tentang Otoritas Veteriner. Kemudian Pasal 10 PP nomor 03 tahun 2017 mengungkapkan ruang lingkup otoritas veteriner adalah sebagai berikut:
- Otoritas Veteriner Kesehatan Hewan;
- Otoritas Veteriner Kesehatan Masyarakat Veteriner; dan
- Otoritas Veteriner Karantina Hewan.
Otoritas Veteriner mengendalikan sistem Kesehatan Hewan nasional tercantum pada Pasal 25, dengan rincian:
Siskeswanas terdiri atas subsistem:
- Kesehatan Hewan;
- Kesehatan Masyarakat Veteriner;
- Karantina Hewan;
- penelitian dan pengembangan Kesehatan Hewan;
- sumber daya Kesehatan Hewan;
- informasi Kesehatan Hewan; dan
- peran serta masyarakat.
Maka tidak satupun menyebut istilah Inseminasi Buatan dan penanganan reproduksi. Sedangkan Permentan nomor 03 tahun 2019 mengambil konsideran dalam penerbitannya sebagai berikut:
Maka dapat dipastikan bahwa Pelayanan Jasa Medik Veriner yang tadinya menangani Kesehatan ternak, namun kemudian merambah kepada inseminasi buatan dan penanganan reproduksi ternak seperti tercantum pada Pasal 6 ayat (2) huruf b yang tiba-tiba muncul Tenaga Medik Veteriner iseminasi buatan, pemeriksaan kebuntingan, dan asisten Teknik reproduksi adalah suatu pernyataan Pasal yang tidak ada dasarnya baik dari sisi Peraturan Perundangan di atasnya maupun dari sisi Tugas dan Kewenangan dari tenaga medik dan paramedik veteriner seperti yang telah diuraikan pada pasal-pasal sebelumnya, maupun pada peraturan di atasnya yaitu PP 03 tahun 2017. Maka inilah yang disebut dengan istilah “penyelewengan, atau melenceng”.
Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan, menyebutkan struktur hirarki pembentukan peraturan perandungan pada semua bidang. Dan disebutkan, peraturan di bawahnya harus mengacu kepada peraturan di atasnya dan tidak melenceng atau bertentangan. Kalau menyeleweng/melenceng atau bertentangan seharusnya sudah batal demi hukum.
Kata kedua yang harus diuraikan adalah “Perselingkuhan”. Perselingkuhan berasal dari kata “selingkuh” berarti melakukan sesuatu atau menggunakan kemauan dan kemampuan terhadap hak orang lain atau yang seharusnya milik/hak orang lain. Perselingkuhan yang saya maksud di atas adalah “Perselingkuhan Profesi”. Isitilah ini sering digunakan pada perilaku seseorang yang selingkuh kepada orang lain yang bukan haknya, dan selalu bernada “negatif”. Apa penyebab utamanya? Sudah pasti penyebab utamanya adalah mengikuti “hawa nafsu”, tidak puas dengan yang dimiliki sendiri, sehingga kepingin memiliki punya orang lain. Sudah mafhum semuanya, bahwa akibat perbuatan ini pasti negatif. Seperti yang kita lihat saat ini di masyarakat peternakan. Timbul berbagai ambisi dan nafsu, ada ketimpangan aturan yang tidak sinkron dengan kenyataan di lapangan, karena di lapangan tadinya telah mengikuti aturan sebelumnya. Maka untuk menutupi masalah itu dibuatlah aturan baru yang palsu. Tidak resmi dari pemerintah namun diterapkan di masyarakat dan lapangan. Akhirnya, timbul gaduh dan ribut lagi.
Di antara keributan yang terjadi adalah para inseminator yang sudah mendapatkan Sertifikat Kompetensi yang sah dinyatakan tidak boleh berpraktek lagi, kecuali yang memiliki ijazah Keswan atau mendapat ijin dari dokter hewan. Ada berita lagi setelah mereka mendapatkan ijin dari penyelia dokter hewan, masih harus membayar kepada pihak tertentu yang kalau di wilayah Jatim sekitar Rp 150.000,- sampai Rp. 200.000,- suatu angka yang kecil, namun bermuatan politis dan tidak jelas. Akhirnya timbul ribut lagi, ada yang mau membayar dan sebagian lagi tidak mau membayar. Perlu diketahui dari informasi yang kami terima jumlah inseminator di seluruh Indonesia saat ini adalah 7.412 orang yang terdiri dari Lulusasn D3 Keswan 15%, lulusan Sarjana Peternakan (SPt) sebanyak 25%, Ahli Madya Peternakan (AMd Pet) sebanyak 30%, SNAKMA dan sederajat 20%, dan lainnya 10%.
Sebetulnya apa sih yang mendorong diterbitkan Permentan nomor 03 tahun 2019 itu? Monggo silakan menjawab. Saya berupaya memahami dan menganalisis, maka untuk sementara saya berhipotesis begini: ada dua alasan mendasar kenapa permentan nomor 03 disusun. Pertama, mulai tahun 2016 Pemerintah meluncurkan program Percepatan Peningkatan populasi sapi melalui penerapan teknik reproduksi berupa Gertak Berahi dan Inseminasi Buatan, dilanjutkan dengan UPSUS SIWAB tahun 2017-2019, dan nama berubah menjadi SIKOMANDAN, yang sudah dilaporkan memberikan dampak positif dalam peningkatan populasi sapi potong. Konsekuensi dari adanya program besar-besaran program GBIB, UPSUS SIWAB dan SIKOMANDAN tentu saja adalah harus ada anggaran yang sangat besar untuk mendukung program tersebut, disamping juga diperlukan tenaga professional pendamping, pengawas, pengelola dan pengembang. Dengan anggaran sangat besar untuk program reproduksi dan diketahui oleh orang-orang yang potensi untuk mengakses, tentu merupakan daya tarik tersendiri untuk mengakses dana tersebut. Maka agar sesuai dengan peraturan yang ada dan secara hukum pengelolaan dan pertanggungjawaban tidak melanggar peraturan keuangan yang berlaku, maka perlu dilegalkan dalam bentuk peraturan. Kedua, sudah disadari bahwa bidang bibit, perbibitan dan pembibitan yang dalam implementasinya merupakan penerapan dari reproduksi dan breeding (pemuliaan) adalah termasuk dalam kelompok BIDANG PETERNAKAN, yang tidak melibatkan aspek medis dikarenakan ternak yang dilibatkan dalam kegiatan proses reproduksi adalah ternak yang sehat dalam rangka untuk mengahasilkan produksi yaitu produksi anak. Namun, karena di bidang peternakan sampai saat ini belum ada Peraturan yang melindungi Profesi keteknikan Peternakan, maka mudah saja pihak lain masuk pada wilayah ini. Oleh karena itu, terbitnya peraturan baru yang melindungi Profesi Keteknikan Peternakan seperti yang sudah tercantum dalam UU nomor 11 tahun 2011 tentang Keinsinyuran, dan Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2014 Tentang Keinsinyuran.
Dari uraian tersebut maka juga harus ada upaya keras dari Pemerintah, PB ISPI dan semua insan profesi Keteknikan Peternakan untuk memasukkan “keteknikan Peternakan” kedalam RPP dan meluruskan Kembali “bidang Peternakan” dan bidang lain yang telah menyeleweng dalam penyusunan aturannya, karena hal ini telah melanggar norma-etika dalam penyusunan aturan perundangan. Salam Sehat dan Jaya Selalu Indonesia…!!
Prof. Dr. Suyadi (PB ISPI)