Transformasi Bisnis Perunggasan

Rochadi Tawaf (Penasehat PP PERSEPSI/Perhimpunan Ilmuwan Sosek Peternakan Indonesia dan Komite Pendayagunaan Petani)

Industrialisasi perunggasan dimulai sejak di introduksikannya sistem agribisnis di eranya Prof. Bungaran Saragih sebagai menteri pertanian tahun 2000. Melalui konsep ini, perunggasan nasional berkembang dengan pesatnya, industri-industri besar tumbuh dan berkembang meninggalkan peternakan rakyat yang berjalan terseok-seok. Industri ini bertambah kuat tatkala terjadi perubahan UU Pokok Peternakan dan kesehatan Hewan No. 6/1967 menjadi UU Peternakan dan kesehatan Hewan (PKH) No. 18/2009. Pada UU yang baru ini, tidak dikenal lagi nama atau istilah peternakan rakyat. Sejatinya pemerintah mengharap bahwa industrialisasi peternakan unggas tidak lagi mengembangkan peternakan rakyat. Namun, fakta lapangannya peternakan rakyat yang disebut juga sebagai peternak mandiri kini menjadi bulan-bulanan bisnis industri perunggasan. Secara ekonomi, bisnis ini panduannya adalah efisiensi. Pada era ini, setiap usaha harus efisien. Jika usahanya tidak efisien maka dengan sendirinya mereka tidak akan mampu bersaing dengan usaha lainnya yang lebih efisien.

Sistem Perunggasan

Sejak di introduksikannya ayam broiler tahun 1970an dan kemudian menjadi boomingnya back yard farming (peternakan rakyat) tahun 1980an. Dalam perjalanannya telah berkembang pula industri perunggasan yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan multi nasional dan asing. Sejak itu, telah terjadi dikotomi antara peternakan rakyat dan Industri dalam system perunggasan nasional. Di zaman itu, peternakan rakyat masih bisa berlindung pada UU No.6/1967. Sehingga pada Lokakarya Perunggasan Nasional (Logasnas) tahun 1987 masyarakat Peternak meminta peninjauan kembali Kepres 50/81, karena peternakan rakyat tidak mampu bersaing dengan industri. Sejak itu, dikotomi perunggasan terjadi hingga kini. Namun, menurut UU PKH 18/2009 yang diperbaiki menjadi UU No.41/2014, nomenklatur peternakan rakyat tidak dikenal lagi. Pemerintah sangat berharap bahwa, industrialisasi peternakan harus menjadi kenyataan dan peternakan rakyat atau mandiri pun harus merupakan bagian dari industri ini. Dengan kata lain peternakan rakyat harus “bertransformasi” menjadi Industri peternakan atau berkolaborasi sebagai mitra industi. Disinilah biang keladi carut marut perunggasan nasional. Pasalnya pemerintah tidak memberikan arah atau jalan bagi transformasi tersebut, seolah olah transformasi dibiarkan terjadi secara alamiah.

Fenomena Perunggasan

Selama tiga tahun terakhir, fenomena yang terjadi adalah perkasanya bisnis Industri Perunggasan dibandingkan dengan peternak rakyat (peternak mandiri), yang ditunjukkan dengan tingkat keuntungan usaha yang berlipat-lipat. Malangnya peternak rakyat tidak mampu dalam memenuhi tuntutan tersebut, sehingga yang terjadi adalah kerugian usahanya selama tiga tahun berturut-turut. Artinya Negara tidak memberikan jalan, perlindungan dan pelayanan ketersediaan sarana produksi maupun proteksi pasar domestik bagi peternak mandiri. Pada kondisi ini tentunya produk yang dihasilkan peternakan rakyat tidak berdaya saing atau kalah bersaing dengan industri.

Dalam mengatasi gejolak dan kerugian yang terjadi pada peternakan rakyat selama tiga tahun terakhir, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan. Misalnya, untuk mengatasi fluktuasi harga melalui kebijakan penetapan harga acuan (Permendag No.7/2020), indikasi adanya kartel dalam pemasaran produk unggas (sidang Masalah Kartel di KKPU), ketersediaan bahan baku jagung (Permendag No. 21/2018 Tentang Ketentuan Impor Jagung): Pola kemitraan (Permentan No.13/2017 Tentang Kemitraan Usaha Peternakan), Impor GPS (Permentan No 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi), cutting HE (SE Dirjen PKH No. 18029/2020 dan No. 19037/2020) dan Afkir dini (Pementan No. 26/2016).  Seluruh kebijakan tersebut baru menyentuh fenomena yang terjadi belum sampai ke akar masalahnya, yaitu menghilangkan dikotomi tersebut dengan membangun indutri perunggasan yang tangguh bagi seluruh masyarakat perunggasan.

Transformasi

Cara-cara penyelesaian masalah yang dilakukan pemerintah ternyata tidak mampu menghentikan gejolak harga dan kerugian usaha yang diderita peternak mandiri. Pemerintah seharusnya memberikan arah agar terjadi transformasi bagi peternakan rakyat, menjadi industri yang memiliki vertical agribisnis. Hal ini dapat dilakukan melalui dua model pendekatan: pertama, perkuatan melalui intervensi BUMN/BUMD; bahwa transformasi industrialisasi peternakan unggas rakyat, dapat dilakukan oleh BUMN/BUMD dalam membangun industri pendukungnya seperti breeding farm, feedmill dan pengembangan pasar (pasca panen/RPHU). Budidaya diserahkan sepenuhnya kepada peternakan rakyat. Selanjutnya kedua, intervensi melalui pembelian saham industri Perunggasan (Tbk) di Bursa Saham. Pada konsep ini, peternak rakyat harus bertransformasi kelembagaannya dengan cara melalui tahapan korporatisasi. Korporatnya bisa berbentuk koperasi/BUMDESA atau badan usaha lainnya. Melalui bantuan dana murah yang dimiliki pemerintah dalam bentuk pinjaman bagi peternak rakyat dilakukan membeli saham perusahaan tersebut. Jika saja pembelian sahamnya secara dominan dimiliki oleh peternakan mandiri, maka tentunya pengembangan industri perunggasan tidak ada lagi dikotomi kelembagaan. Sehingga tujuan pembangunan perunggasan dapat dinikmati semua pelaku bisnis, baik peternak mandiri maupun industri, sesuai harapan UU PKH bahwa industrialisasi peternakan unggas dapat terwujud.

Dalam mempercepat proses transformasi industrialisasi perunggasan di Jawa Barat, dalam jangka pendek diperlukan kebijakan gubernur mengatur produk unggas pasar tradisional. Yaitu bahwa Pasar tradisional diprioritaskan bagi produk domestik peternak rakyat (mandiri). Selain itu, diharapkan pula peran aktif BUMD sebagai representasi kehadiran Negara dalam menyediakan sarana produksi dan proteksi pasar domestik sebagai off taker peternak rakyat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *