Oleh: M. Chairul Arifin
Artikel ini bukan meramal nasib keadaan masa depan, karena saya bukan para normal yang bisa melihat masa mendatang dengan mistik penerawangannya. Jauh dari itu hanya mencoba menerapkan prinsip-prinsip dan teori manusia pembelajar dan organisasi pembelajar yang merupakan unsur penting perubahan dasar dalam membuat keputusan atau kebijakan. Dengan kata lain akan selalu mempertimbangkan berbagai faktor lingkungan strategis yang saling berpengaruh yg membuat suatu putusan kebijakan itu akan selalu berubah.
Kita memang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai mahluk yang serba terbatas, oleh karenanya kita diberikan kemampuan untuk ber- inovasi, dan ber- kreasi serta beradaptasi menemukan hal-hal yang baru. Ada kalanya dalam ber-inovasi tersebut dapat mendisrupsi suatu hal yang terbiasa kita telah lakukan, atau memodifikasi kegiatan yg lama sehingga mungkin menjadi lebih sempurna.
Resiko selalu ada, karena kita memang harus berani menanggung resiko. Bukankah ada pendapat dari Charles Darwin bahwa bukan mereka yang paling kuat akan bertahan, melainkan mereka yang lebih mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Jadi intinya kita memang harus selalu berubah menyesuaikan dengan ekosistem baru masa mendatang. Manusia pembelajar itu menuntut tiga hal. Pertama, Un learn yaitu berani meninggalkan hal hal yang sudah tidak relevan lagi Type kedua, Re- learn adalah organisasi belajar juga untuk meng-evaluasi kebijakan yg ada dan type ketiga Learning yang menganut tentang masa mendatang dan lebih banyak pendapat seperti organisasi pembejaran yg sesungguhnya. Ketiga tipe ini membawa pergumulan untuk mencari kebijakan ke depan yg lebih ideal dengan mempertimbangkan berbagai kegagalan dan best practices .masa lalu. Growth mindset itulah yg sangat diperlukan untuk melakukan perubahan dan inovasi. Prinsipnya from the cradle to the grave dari ayunan hingga ke liang lahat. Menurut Peter Senge (1990) organisasi pembelajaran itu identik dengan kemampuan organisasi untuk menggali masa depan.
Bagaimana Peternakan dan Kesehatan Hewan Kita
Dalam cakupan peternakan dan kesehatan hewan, dengan mempertimbangkan narasi sebagai manusia , sekaligus organisasi pembelajar ( learning organisation) yang sangat dipengaruhi oleh aspek politik di eksekutif maupun legislatif sebagai lingkungan strategisnya, ada beberapa hal yang dapat dijadikan dasar dalam kebijaksanaan operasional masa depan sebagai berikut :
1. Sudah saatnya IB di Swastakan
IB di Indonesia sejak diperkenalkan tahun 1954 oleh Prof. Seith seorang dokter hewan Denmark telah berkembang sedemikian rupa sehingga IB menjadi monopoli pemerintah. Monopoli ini dari sejak produksi semen, distribusi, dan pelaksanaan dilapangan oleh petugas lspang reprooduksi baik oleh tenaga medik dan para medik atau petugas yg mendapatkan pelatihan khusus. Ini sebenarnya langkah yg kurang sehat karena menutup masyarakat atau pihak swasta untuk berpartisipasi dan berusaha. Padahal nyata² IB itu adalah barang private bukan public good seperti yg ada selama ini. Secara tutup mata sajalah kenyataan dilapangan bahwa sebenarnya para peternak itu bersedia dan mau serta mampu membayar berbagai jenis layanan reproduksi yg diberikan, asalkan ternaknya jadi bunting dan melahirkan tepat waktu. Dengan keadaan ini apakah masih tepat pemerintah meng-gratis-kan IB ? Dalam hal ini tentu kepentingan peternak diatas segala galanya. Peternak tentu lebih ingin memperoleh layanan reproduksi prima yg dilakukan oleh petugas yg profesional untuk membuat sapi dan kerbau bunting dan melahirkan dg baik. Dan bukannya hal ini dapat sepenuhnya oleh pihak swasta dan masyarakat sendiri ? Saat ini produsen semen beku dimiliki oleh pemerintah dengan BB/BIB, sarana pelaksanaan IB dari sejak container, NE cair dan inseminator sampai PKB dimiliki oleh pemerintah. Di negara yg mulai maju IB itu dilaksanakan oleh swadaya peternak dan swasta. Akibat monopoli ini stok semen sebagian menumpuk di produsen semen yg dapat menambah biaya operasional maintenance bagi pemerintah sendiri. Apabila di Swastakan hal tersebut tak akan terjadi karena swasta itu menerapkan efisiensi dalam memproduksi. Seperti pada obat hewan yg dibuka pada pihak swasta dan malahan bisa di ekspor. Dalam hal IB pemerintah hanya fokus pada aspek perbibitan saja terutama mengembangkan plasma Nutfah ternak lokal yg selama ini relatif terpinggirkan dan aspek regulasinya. Tidak Rowing tetapi steering Tugas pemerintah di aspek regulasi dan perbibitan saja selebihnya aspek produksi serta budidaya menjadi domain masyarakat.
2. Pemberantasan Penyakit Hewan Menular Strategis
PHMS ini telah lama kita lakukan. Malahan setiap komoditas penyakitnya lengkap dengan tahun bebasnya. Rabies, misalnya akan dibebaskan tahun 2030. Apa yg terjadi selama ini ? Sejak saya meniti karier tahun 1980 program pembebasan rabies akan dibebaskan tahun 1985. Tidak berhasil dan mundur bebas tahun 1990, mundur lagi di tahun 1995 terus mundur tahun 2000 dan seterusnya mundur 5-10 tahunan. Prinsip organisasi pembelajaran tidak dipertimbangkan. Apakah tidak lebih baik mennyerahkan program pemberantasan PHMS ini pada masyarakat ? Dalam arti kata tugas semacam surveilance dasar, dan aspek promotif, preventif dan kuratif dasar menjadi tugas masyarakat dengan penyelia dokter hewan.? Jadi perlu dibentuk semcam petugas Kesehatan hewan di tengah masyarakat yg mampu menangani primary animal health care Program pemberdayaan masyarakat harus dikembangkan. Kalau tidak ya seperti sekarang ini , masalah kesehatan hewan harus government bussiness menjadi semua hal urusan pemerintah dan tidak terjadi sharing resiko dengan masyarakat. Seperti di Kemenkes dg program Germas nya yg antara lain tugas Jumantik sudah menjadi tugas masyarakat. Padahal sebenarnya Jumantik itu adalah tugas surveillace dasar. Melibatkan partisipasi masyarakat tidak salah dan suatu keniscayaan.
3. Pengendalian Ternak Ruminansia Bunting
Sejatinya kegiatan ini telah dilakukan sejak tahun 1836 silam. Jadi umurnya sudah 174 tahun lamanya. Pada jaman ordonansi tersebut memang pemerintah Hindia Belanda melarang pemotongan hewan betina bertanduk untuk menjaga kelestarian populasi ternak dalam rangka keamanan pangan penduduk khususnya masyarakat penjajah. Waktu itu belum berkembang berbagai macam tehnologi dan rekayasa genetik seperti IB, ET, tehnik sexing, dan berbagai teknik manipulasi genetik lainnya seperti saat ini. Pertanyaan yg munncul adalah , pengalaman pembelajaran selama lebih dari 1,5 abad itu masih diteruskan ? Bahkan Pembiaran ini berlanjut terus pada Penyusunan UU PKH kita sampai tahun 2014. Apakah kegiatan ini terus akan berlanjut sampai akhir hayat peradaban kita ? Tentu tidak. Tidak semua ternak betina produktif itu harus dilarang dipotong. Sebagaimana UU PKH No 41 Tahun 2014 pada pasal 18 ayat 1 berbunyi kurang lebih ternak betina produktif diseleksi untuk bibit dan yg tidak lolos disingkirkan dan dapat dipotong. Jadi, tidak semua ternak betina produktif itu dilarang dipotong melainkan yg layak bibit saja. Tapi di ayat selanjutnya pada pasal yg sama terdapat kllausul yg berbunyi setiap orang dilarang memotong ternak betina produktif. Lepas dulu dari UU PKH ini, apa yg terjadi dilapangan selama ini ?.Kita tutup mata didepan mata kita banyaknya ternak betina produktif dipotong di RPH dan TPH diberbagai tempat diselluruh Indonesia. Upaya menempatkan polisi untuk menjaga pemotongan ternak betina adalah tindakan bersifat situasional. Kenyataannya ditempat yg dijaga polisi memang terjadi penurunan tapi pemotongan ternak betina justru pindah di tempat RPH lain dan tumbuh TPH milik peternak dan pedagang ternak yg justru tidak ada dan lepas dari pengawasan kesehatan masyarakat Veteriner nya. Pertanyaan lanjutannya adalah apakah kegiatan semcam law enforcement ini tidak di evalusi untuk dicabut dan disempurnakan dalam rangka kesejahteraan peternak ? Sebab data dari hasi lSensus ke. Sensus ternyata porsi jumlah ternak betina produktif selama hampir 40 tahun itu tetap bergeming pada kisaran 44-45%, yang berarti Indonesia aman populasi ternaknya sebagai penghasil ternak karena populasi akan sustainable. Perkara populasi menurun itu tidak serta merta akibat pemotongan ternak betina produktif melainkan tingkat konsumsi daging yg semakin tinggi yang secara alami tidak dapat diimbangi dengan pertumbuhan populasi yg relatif rendah. Intinya, pemotongan ternak betina produktif yg telah terjadi selama ini tidak mengganggu populasi ternak dengan pertumbuhan alaminya.
Itu hal hal yg menjadi bahan renungan kita diakhir tahun untuk semata perbaikan dan penyempurnaan kegiatan PKH mendatang. Syukur syukur dapat diterima atau dapat menjadi bahan renungan sambil menyeruput kopi dengan camilan ketela rebus.
Sampai jumpa di tahun 2021 dan Selamat Tahun Baru.
Depok, renungan akhir tahun 2020
M.Chairul Arifin
Wao mantaap. Bagaimana dgn daging laboratorium seakan dunia oeternajan tdk diperlukan padahal sumber protein asal hewan bersimber dari ternak. Blm lagi ternak merioakan rantai mknan yg rumput bisa diolah jadi daging di sapi. Tapi knp ternak dikatakan pembuat emesi terbanyak? Coba kalau tdk ada hewan bgmn bentuk dunia ini