
Bayangkan jika Anda diberi kepercayaan untuk memimpin sebuah lembaga nasional hanya untuk waktu setahun. Apakah yang akan Anda lakukan? Mungkinkah seorang pemimpin melakukan perubahan dalam waktu sependek itu?
Di era pemerintahan saat ini jarang seorang pejabat di bawah menteri yang bisa atau boleh menduduki jabatan eselon satu dalam jangka di atas lima tahun. Inilah tantangan kepemimpinan para pejabat era sekarang.
Berbeda dengan era orde baru, dimana seorang pejabat seperti Dr. Drh. Soehadji bisa menjabat Dirjen Peternakan selama 8 tahun atau Prof JH Hutasoit lebih dari 10 tahun. Dirjen pasca reformasi rata-rata 3 tahun atau kurang. Bahkan ada yang hanya 9 bulan. Lantas apa yang bisa mereka wariskan dari “kepemimpinannya”?
Kalau mereka menganggap kepemimpinan itu hanya kedudukan resmi, maka akan kecewalah mereka di kala jabatan tidak lagi berada di tangannya. Apalagi kebanyakan pejabat yang baru tidak sudi meneruskan program pejabat lama. Para pejabat baru merasa harus mempunyai perbedaan dibanding yang lama dan harus memperbaiki dan mengubah yang lama.
Kita yang mencermati para Dirjen sejak lama, bisa mencatat berbagai program yang kini tinggal kenangan. Dari sini kita bisa melihat siapa pemimpin yang sebenarnya dan siapa yang hanya pejabat belaka.
Salah satu cara untuk melihat kepemimpinan seseorang adalah bagaimana realisasi konsep atau program ketika dia tidak menjabat lagi.
Konsep yang masih diwariskan hingga sekarang misalkan Konsep Gaung Dari Lampung karya Dr. Soehadji. Tampaknya sederhana tapi mendalam, dan hingga kini masih populer untuk didiskusikan kalangan usaha peternakan sapi potong. Gaung dari Lampung adalah singkatan Tiga Ung yang awalnya dipopulerkan saat acara panen sapi di Lampung oleh Soehadji tahun 90an.
Makna Tiga Ung adalah peternakan rakyat sebagai tulang punggung, impor sapi bakalan sebagai pendukung, impor daging sebagai penyambung. Dengan konsep ini menjadi mudah implementasi kebijakannya. Bahwa pemerintah harus menjadikan peternakan rakyat sebagai tulang punggung. Kalau sekarang pemerintah mengimpor daging sapi dan kerbau tanpa kendali, hingga masuk ke pasar becek, maka jelas itu sudah menyalahi pesan “Gaung Dari Lampung”.
Berulangkali Ketua Umum PPSKI (Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia) berpesan perihal konsep Tiga Ung di beberapa forum. Ini menunjukkan kepemimpinan almarhum Soehadji masih dirasakan hingga sekarang.
Prof Muladno tidak seberuntung Dr Soehadji dalam hal durasi jabatan sebagai Dirjen. Ia hanya 16 bulan menjadi Dirjen. Satu program yang membuat semua aparat sibuk untuk siap-siap merealisasikannya adalah Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang awalnya bernama Sekolah Peternakan Rakyat (disingkat SPR juga). SPR baru dimulai, ia diberhentikan. Apakah konsep SPR-nya berhenti? Ini yang menarik. Ia kembali ke kampus dan tak berhenti dengan SPR-nya. Baginya SPR adalah panggilan jiwanya. Seolah dia diutus Tuhan ke dunia ini untuk memperjuangkan SPR. Dalam bahasa marketing, Muladno (tanpa sengaja) mem-branding-kan dirinya dengan SPR.
Jika ini berjalan terus, maka SPR akan diwariskan ke masyarakat. Mungkin saja kelak nama program bisa diubah-ubah, namun SPR akan tetap melekat sebagai warisan kepemimpinan Prof Muladno. Soehadji mewariskan Tiga Ung, Muladno mewariskan SPR.
Pastinya banyak warisan kepemimpinan yang tak tercatat tapi dikenang banyak orang. Anda masih ingat Panca Usaha Peternakan? Saya tiba-tiba tertarik dengan istilah ini tatkala Prof Suhubdy, seorang guru besar dari Fakultas Peternakan Universitas Mataram (Unram) yang beberapa kali mengingatkan para pegiat peternakan agar mengingat dan menjalankan panca usaha peternakan. Konsep ini dipopulerkan oleh Presiden Soeharto tahun 1971.
Disebutkan di website soeharto.co, pada tanggal 19 Mei 1971, bertempat di halaman parkir Wisma Tamu Istana, Presiden Soeharto membuka pameran dan kontes unggas (dulu halaman istana bisa untuk pameran lho). Dalam sambutannya Presiden antara lain mengatakan bahwa ayam dan telur dapat merupakan suatu kekuatan untuk lebih menggerakkan pertumbuhan ekonomi nasional, dalam meningkatkan pendapatan masyarakat dan sekaligus memperbaiki mutu makanan bagi rakyat. Hampir seluruh masyarakat sejak lama telah beternak ayam dan peternakan ayam yang dilakukan oleh masyarakat itu masih sangat sederhana dan tidak sungguh-sungguh, padahal potensinya sungguh besar.
Soeharto saat itu mencanangkan program Panca Usaha Peternakan yang meliputi:
- Bibit unggul
- Pakan yang berkualitas dan terjangkau harganya
- Penyediaan obat-obatan yang cukup
- Penyuluhan peternakan agar peternak menjalankan pemeliharaan yang baik
- Pemasaran
Ketika ada orang mengingatkan Panca Usaha Peternakan, saat itulah kita melihat warisan kepemimpinan Soeharto dalam bidang peternakan. Tidak jelas siapa yang mengkonsep Panca Usaha Peternakan ini. Pastinya, warisan ini masih relevan hingga sekarang. Lihat saja permasalahan yang sering menjadi bahan diskusi dan seminar tak jauh dari aspek dalam panca usaha peternakan. Silakan lihat topik-topik seminar dan webinar yang sekarang banyak dilakukan.
Prof Suhubdy sendiri adalah pakar ternak kerbau. Ke mana pun pergi yang dibahas ternak kerbau. Ia mengaku bisa kuliah karena ternak kerbau, bisa berkunjung ke berbagai negara karena ternak kerbau. Ternak kerbau adalah panggilan jiwanya. Saya menduga kelak, warisan penting dari Prof Suhubdy adalah keilmuan dan spirit untuk menggali dan mengembangkan ternak kerbau di tanah air.
Pernah dimuat di Majalah Infovet