Perubahan iklim atau climate change, sering tidak dapat dibedakan dengan pemanasan global atau global warming.
Kedua istilah ini berasosiasi dengan meningkatnya rerata suhu dunia dari tahun ke tahun. Namun, jika perubahan iklim lebih bersifat umum – yaitu perubahan lingkungan karena fenomena alami maupun aktivitas manusia, pemanasan global lebih spesifik kepada peristiwa yang sama, namun hanya yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Tentunya sektor peternakan, sangat terdampak oleh fenomena perubahan iklim ini. Penelitian-penelitian terkait perubahan iklim di bidang peternakan juga sangat marak belakangan ini, baik dari peneliti dalam maupun luar negeri. Penelitian-penelitian tersebut terutama memiliki topik di sekitar pengaruh perubahan iklim terhadap ternak, dan upaya untuk meminimalisir pengaruh-pengaruh tersebut.
Secara fisiologis, peningkatan suhu permukaan bumi menyebabkan ternak harus mengkondisikan tubuh mereka, agar dapat berfungsi dengan normal dan tidak mengganggu kesehatan serta produktivitas. Jika mekanisme biologis ini gagal, maka tentunya produktivitas dan kesehatan ternak tersebut, akan mengalami degradasi. Ketersediaan sumber air dan tanaman pakan ternak juga terimbas oleh pemanasan global, baik secara kualitas maupun kuantitas. Ternak-ternak yang berasal dari daerah yang memang memiliki rerata suhu lebih tinggi, seperti daerah tropis, memiliki kemampuan yang baik untuk beradaptasi dengan kondisi ini. Lain halnya dengan ternak-ternak dari bangsa komersial.
Kemajuan dalam bidang peternakan dalam beberapa dekade terakhir, telah berhasil memunculkan jenis-jenis ternak dari berbagai komoditas dengan produktivitas dan efisiensi yang tinggi, namun memiliki jejak lingkungan (environmental footprint) yang rendah. Kelemahan dari jenis ternak ini adalah, mereka harus didukung dengan sistem pemeliharaan yang memadai, pakan yang sesuai dan mencukupi baik secara kualitas dan kuantitas, serta kondisi lingkungan yang mendukung. Adanya perubahan iklim, membawa ancaman terhadap produktivitas dan efisiensi ternak-ternak komersial ini, karena apa yang mereka butuhkan, tidak dapat lagi secara mudah diberikan oleh peternak. Diperlukan upaya ekstra untuk mempertahankan produktivitas ternak komersial, antara lain dengan memodifikasi sistem produksi dan komposisi ransum yang diberikan. Modifikasi ini tentunya membutuhkan biaya ekstra sehingga efisiensi pemeliharaan ternak jenis komersial juga mengalami penurunan.
Selain memodifikasi sistem produksi, hal lain yang dapat dilakukan adalah dengan memilih atau membentuk jenis dan bangsa ternak baru, dengan memanfaatkan kemampuan adaptasi ternak lokal. Solusi ini memang hanya akan memperlihatkan hasilnya secara bertahap dan membutuhkan waktu serta usaha, untuk membentuk bangsa ternak adaptif. Namun, pemanfaatan sumber daya genetik ternak lokal, dapat menjadi solusi jangka panjang untuk mengoptimalkan keseimbangan antara sifat-sifat adaptif dan produktif, dimana hasil yang diharapkan, adalah terbentuknya bangsa baru yang adaptif terhadap kondisi lingkungan, mampu berproduksi secara optimal dengan sistem produksi yang efisien.
Hal ini sesuai dengan pemaparan dari Prof. Heather Burrow (UNE, Australia) dan Prof. I Gede Suparta Budisatria (UGM) dalam The 1st International Conference on Livestock in Tropical Environment (ICLiTE-1), tanggal 1 September 2021 lalu. Dalam diskusi yang dipandu Dr. Tri Satya Mastuti Widi (UGM) ini terungkap, bahwa pemanfaatan ternak-ternak tropis adalah mutlak diperlukan bagi masa depan peternakan dunia menghadapi perubahan iklim.
Pada rangkaian acara yang sama, keesokan harinya, Chief Geneticist dari H&N International, Dr. David Cavero Pintado juga mengungkapkan minat perusahaan breeding ayam petelur terbesar keempat di dunia ini, untuk berinvestasi di Indonesia dan mengembangkan ayam petelur yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan sumber daya di negara beriklim tropis. Lebih lanjut, Gustavo Monaco (Brazil) menyatakan, bahwa Brazil telah mengembangkan sapi perah yang lebih sesuai untuk lingkungan tropis, antara lain Nelore dan Girolando.
Pernyataan senada disampaikan oleh Dr. Sigit Prastowo (UNS) bahwa untuk produksi susu tidak melulu harus berfokus pada sapi Holstein saja, pemanfaatan persilangan Holstein dengan sapi lokal, atau bergeser ke bangsa sapi sejenis Jersey yang lebih adaptif, dianggap lebih efisien untuk dipraktekkan di daerah tropis. Hal ini sehubungan dengan orientasi peternak sapi perah skala rakyat, yang lebih menginginkan sapi dengan biaya pemeliharaan rendah dan produksi yang optimal (tidak perlu terlalu tinggi produksinya). Selain itu Dr. Prastowo juga mengungkapkan bahwa populasi bangsa-bangsa sapi perah tropis, memiliki nilai tambah, yaitu adanya varian beta casein A2 yang dominan. Varian ini lebih ramah terhadap sistem pencernaan manusia, dibandingkan dengan varian A1 yang lebih dominan pada populasi bangsa sapi Holstein.
Jadi dapat disimpulkan, bahwa yang dibutuhkan dunia saat ini adalah ternak adaptif, bukan ternak-ternak elit yang membutuhkan fasilitas setara hotel bintang lima. Terlebih dengan memperhatikan bahwa >90% peternakan di Indonesia adalah peternakan rakyat berskala kecil dengan investasi terbatas, sehingga memelihara ternak adaptif akan lebih meringankan beban finansial mereka. Crossbred antara bangsa ternak unggul dengan betina local, masih mungkin memberikan keuntungan jika dipelihara dengan manajemen yang standar dan sumber daya yang mencukupi. Dengan kata lain, ternak crossbred akan lebih sesuai jika dipelihara secara profesional pada perusahaan-perusahaan peternakan, karena potensi genetik mereka, dapat terekspresikan dengan baik.