Tuntutan perlunya perbaikan data di subsektor peternakan sudah lama disuarakan oleh para pemangku kepentingan. Salah satunya adalah kesimpulan pertemuan Menteri Pertanian dan Komisi IV DPR RI November tahun lalu adalah “Komisi IV DPR RI meminta Kementerian Pertanian untuk melakukan verifikasi seluruh data pertanian dalam rangka pembangunan pertanian yang maju, mandiri dan modern”. Dalam kesempatan yang berbeda, Mentan juga menyatakan mentargetkan “satu data pertanian” akan rampung akhir Desember tahun ini juga.
Salah satu informasi subsektor penting dalam sektor pertanian adalah peternakan, khususnya data untuk sapi dan unggas. Untuk sapi, terkait dengan program swasembada daging sapi, import sapi bakalan/indukan dan daging sapi. Sedangkan untuk unggas (ayam ras), terkait dengan “dugaan” adanya over supply GPS dan PS yang menyebabkan harga livebird di bawah HPP dan turunnya harga telur. Tuntutan pemutihan data ini sangat penting dan mendesak. Kalau tidak, penyelesaian masalah-masalah peternakan hanya akan “mengobati” gejalanya saja tanpa menyelesaikan penyebab utamanya.
Masalah ketidakakurasian data peternakan dapat menimbulkan banyak akibat. Setidaknya, pengambilan kebijakan/keputusan di bidang pembangunan peternakan dan kesehatan hewan bisa salah dan berakibat tidak tercapainya tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan. Lebih jauh, hal ini dapat menimbulkan persoalan-persoalan baru. Namun demikian, pertanyaannya, jika sudah diperoleh data statistik peternakan yang akurat untuk mengambil kebijakan/keputusan, apakah dapat dijamin bahwa semua pemangku kepentingan dapat menerimanya? Dari pengalaman penulis, dapat dirasakan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah, termasuk di subsektor peternakan dan keswan, selalu terjadi “tarik-menarik” kepentingan antar stakeholders, dan sekaligus menegaskan bahwa setiap kebijakan pada akhirnya adalah keputusan politik, atau setidaknya merupakan derivasi keputusan politik, yang notabene, mengabaikan, bahkan mengorbankan pertimbangan aspek-aspek teknisnya.
Sebetulnya, ada banyak sumber data peternakan, selain dari BPS dan institusi peternakan, ada juga data hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh para peneliti, baik di Perguruan Tinggi maupun di lembaga Penelitian Pengembangan Peternakan. Namun, di negara manapun, data yang dapat digunakan, baik oleh Pemerintah maupun masyarakat (pemangku kepentingan) dalam mengambil kebijakan secara makro-nasional adalah harus berasal dari data statistik resmi (official statistics), yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan (otoritas) dan dijamin oleh undang-undang untuk melaksanakan itu. Inilah salah satu prinsip dan merupakan prinsip pertama dari The Ten Principals of Official Statistics.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) mendapat mandat untuk mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menganalisa data statistik yang diperlukan Pemerintah dan masyarakat. Dalam penyelenggaraannya, mandat ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Statistik. Untuk melengkapi dalam penerapannya lebih lanjut, Dirjen PKH menetapkan Keputusan No. 798/Kpts/OT.040/F/11/2012 tentang Petunjuk Teknis Pengumpulan dan Penyajian Data Peternakan yang merupakan acuan bagi petugas di daerah dalam mengumpulkan, mengolah, menyusun, menganalisis dan menyajikan data.
Memahami bagaimana proses pengumpulan dan penetapan data official statistcs peternakan yang dikeluarkan oleh BPS ini, diharapkan dapat menyamakan persepsi para pemangku kepentingan, sehingga dapat mengurangi keraguan ataupun “ketidak-percayaan” masyarakat terhadap “angka-angka” ataupun data peternakan sebagai dasar pengambilan kebijakan/keputusan oleh Pemerintah c.q. Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sumber Data Statistik Peternakan
Ada beberapa pendekatan yang digunakan oleh Pemerintah, c.q. BPS, Ditjen PKH maupun PUSDATIN Pertanian dalam mengumpulkan dan menyajikan data (statistik) pertanian, khususnya untuk komoditas peternakan. Diantaranya adalah melalui Sensus Pertanian, Survei Peternakan Nasional (SPN), Survei Estimasi Populasi Ternak (EPT), Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK-2011) dan Survei Perusahaan Peternakan.
Sensus Pertanian (SP), di dalamnya termasuk komoditas peternakan, dilaksanakan setiap 10 tahun sekali. Terakhir dilaksanakan tahun 2013, InsyaAlloh berikutnya akan dilaksanakan tahun 2023. Untuk komoditas peternakan, mencakup sapi potong, sapi perah, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging, itik, kelinci, puyuh dan kelinci. Secara metodologis, sensus yang dilakukan secara rutin, dan by name-by address ini, akan menjamin kontinuitas populasi maupun sampel yang dipakai (jika dilakukan survei). Hal ini dapat menghasilkan data series yang validitasnya tinggi.
Survei Rumah Tangga Peternakan Nasional (SPN) dilaksanakan berdasarkan Nota Kesepahaman (MoU) antara Direktorat Jenderal Peternakan (sekarang Ditjen PKH), Direktorat Statistik Pertanian BPS, dan Pusat Data dan Informasi Pertanian (PUSDATIN) Departemen Pertanian (sekarang Kementerian Pertanian). Sebagai contoh kasus, kesepakatan tersebut diwujudkan dengan melakukan SPN yang dilaksanakan secara berkelanjutan antara tahun 2005 s/d 2008. SPN-08 ini menghasilkan “parameter” populasi yaitu kelahiran, kematian, pemotongan, pembelian, penjualan, penambahan dan pengurangan lain serta populasi awal untuk data tingkat rumah tangga pada tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. Pengertian parameter dalam konteks di atas adalah “proporsi setiap komponen mutasi ternak terhadap stok awal ternak yang dipelihara di rumah tangga selama setahun yang lalu”. Khusus ayam ras pedaging, adalah proporsi jumlah ayam ras pedaging yang dijual, mati, pengurangan lain dan penambahan lain terhadap DOC yang dibeli.
Dengan pemanfaatan parameter hasil SPN dan survei rutin yang dilakukan BPS, maka diharapkan data peternakan yang disajikan dapat memberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Parameter hasil SPN-08 ini, dari tahun ke tahun terus dikoreksi guna memberikan gambaran adanya perubahan parameter yang disebabkan oleh berbagai hal, seperti adanya program pemerintah, atau terjadinya wabah/bencana alam pada tahun dilakukan estimasi populasi ternak (EPT) untuk setiap jenis ternak. Pada tahun 2010 dilakukan Survei EPT yang menghasilkan parameter mutasi setiap jenis ternak sebagai gambaran adanya perubahan parameter mutasi setiap tahun. Survei EPT tahun 2010 untuk mengkoreksi parameter mutasi ternak hasil SPN-08 (2008). Survei EPT tahun 2011, untuk mengkoreksi hasil EPT tahun 2010 dan seterusnya. Survei EPT terakhir dilaksanakan pada tahun 2012. Khusus untuk dinamika populasi sapi potong, sapi perah dan kerbau menggunakan parameter mutasi hasil PSPK-2011.
Untuk menjawab keraguan masyarakat, khususnya importir sapi bakalan dan daging sapi, terhadap populasi sapi nasional, maka Pemerintah, c.q. Ditjen Peternakan pada tahun 2011 telah melaksanakan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah dan Kerbau (PSPK) secara sensus (by name and by address) peternak di seluruh Indonesia dengan satu titik waktu yaitu 1 Juni 2011. Ini sebagai respon terhadap tuntutan masyarakat terkait data sapi dan kerbau. Data yang dihasilkan adalah populasi dan parameter mutasi ternak sapi potong, sapi perah dan kerbau. Kegiatan PSPK-2011 ini difasilitasi anggarannya oleh Ditjen Peternakan dan pelaksanaan di lapangan oleh BPS dengan melibatkan dinas peternakan daerah dan perguruan tinggi (Fakultas Peternakan) setempat.
Proses Pengumpulan Data dan Estimasi Populasi Ternak
Alur pengumpulan dan pelaporan data peternakan dilakukan secara bertahap dan bertingkat, dimulai dari petugas lapang (petugas kecamatan) yang mengumpulkan data peternakan desa. Data yang telah dikumpulkan kemudian diolah, dianalisis dan disusun dengan baik, selanjutnya dilaporkan ke petugas pengelola statistik tingkat Kabupaten/Kota, untuk direkapitulasi. Hasil rekapitulasi di tingkat Kabupaten/Kota ini selanjutnya dikirim ke Provinsi untuk direkapitulasi di tingkat Provinsi. Selanjutnya oleh Provinsi dikirim ke Pusat. Proses di atas, dalam setiap tahapan dan tingkatan, dari Kecamatan sampai Provinsi, pelaksanaannya selalu berkoordinasi dengan BPS setempat (sesuai dengan tingkatannya). Pada tingkat Pusat, dilakukan verifikasi dan validasi (Verval).
Salah satu data peternakan yang sangat dibutuhkan dalam penentuan kebijakan di sektor peternakan adalah data populasi ternak. Data tersebut harus tersedia secara rutin karena perubahan populasi ternak terjadi sepanjang tahun. Sementara, sensus pertanian diadakan setiap sepuluh tahun sekali. Data populasi ternak diperoleh dari berbagai kegiatan sensus dan survei sebagai mana disebutkan di atas.
Formula untuk menghitung populasi ternak dengan parameter adalah:
Pt = Po + B – D – S – E + 1
Dengan penjelasan: Pt = populasi ternak pada akhir periode waktu ke-t; Po = populasi awal (populasi awal periode waktu ke-t atau populasi akhir periode waktu ke-t sebelumnya); B = kelahiran ternak pada periode waktu ke-t (Po x %B); D = kematian ternak pada periode waktu ke-t (Po x %D); S= pemotongan; E = ternak keluar ke suatu wilayah pada periode waktu ke-t; dan I = ternak masuk dari suatu wilayah pada periode waktu ke-t. Data populasi ternak di tingkat rumah tangga ini masih harus ditambah dengan populasi ternak yang dipelihara oleh perusahaan, yang diperoleh melalui survei perusahaan peternakan yang dilakukan oleh BPS secara rutin setiap tahun.
Hasil estimasi populasi tersebut masih harus dikoreksi dengan tahapan (1) Membandingkan dengan data series, dengan tetap memperhatikan sumber data, konsep, metodologi, dan kewajaran data; (2) Menentukan sumber data populasi awal (Po). Salah satu data yang dapat dimanfaatkan sebagai populasi awal adalah hasil listing SPN-08. Karena populasi awal yang digunakan tidak berasal dari hasil sensus, maka populasi awal yang digunakan sebagai dasar estimasi harus diyakini tingkat akurasinya. (3) Angka populasi ternak yang dihasilkan dengan menggunakan SPN-08 sebagai populasi awal, hanya menggambarkan populasi ternak yang dikuasai rumah tangga sehingga harus dikoreksi dengan populasi ternak yang berada di perusahaan, pemotongan ternak, dan banyaknya ternak yang keluar dan masuk, serta koreksi parameter berdasarkan hasil EPT-terakhir; (4) Angka koreksi yang dihasilkan (Ŷ) harus dalam selang estimasi yang telah ditentukan dengan kaidah (Est-1,96 < Ŷ < Est+1,96 ŶSE); (5) Pengkoreksian angka estimasi dilakukan pada kegiatan verifikasi dan validasi (verval) di tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Ditjen PKH, yang melibatkan seluruh Dinas Peternakan Provinsi, Direktorat lingkup Ditjen PKH, BPS, dan PUSDATIN Pertanian. Hasil koreksi yang telah disepakati digunakan sebagai angka final populasi ternak.
Beberapa masalah, sekaligus sebagai tantangan dalam mengumpulkan dan mengolah data statistik peternakan ini antara lain adalah (1) beberapa urusan statistik, menjadi kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda), sehingga komitmen Pemda dan dukungan sumber daya Pemda sangat menentukan dalam pelaksanaan pengumpulan data maupun keakurasian data yang dihasilkan; (2) kurang mendukungnya infrastruktur statistik dan SDM statistik (Statistisi), khususnya di lapangan, seperti tersedianya Manteri Statistik sebagai ujung tombak di lapangan; (3) budidaya ternak sebagai usaha sampingan dan tabungan (bersifat subsisten), rentan terjadinya mutasi (dijual, dipotong, digaduhkan, dipindahkan dll). Sampai saat ini, hasil sensus pertanian menunjukkan bahwa struktur pemilikan sapi, relatif tidak berubah, sekitar 93% masih dengan pemilikan 1-4 ekor; dan (4) sebagian besar peternak tidak punya catatan ternaknya (recording). Sudah ada studi dasar hasil kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan JICA (2010) terkait dengan identifikasi dan registrasi sapi potong, tetapi sejauh ini implementasinya belum terdengar hasilnya.
Sebagai penutup, walaupun segala cara (pendekatan ilmiah) telah dilakukan oleh Pemerintah untuk memperoleh data statistik peternakan yang akurat, baik berupa parameter mutasi ternak maupun estimasi populasi ternak, namun data ini “hanya valid” pada satu titik waktu tertentu saja, yaitu waktu yang ditetapkan untuk pencacahan. Di luar waktu tersebut, dinamika populasi ternak dan parameternya sudah di luar kontrol siapapun. Oleh karena itu, memperlakukan data statistik peternakan (official statistics) sebagai angka yang pasti (mutlak) dan statis, justeru akan menjerumuskan kita pada “penggunaan” yang salah. Apapun namanya, official statistics hanya memberikan “indikasi” angka atau jumlah ternak yang “paling” mendekati realitas di lapangan. Di posisi ini, kita sebagai salah satu pemangku-kepentingan, harus punya persepsi yang sama. Wallohu’a’lam.