Tanggal 19 September 2012, di salah satu hotel di Banda Aceh, Provinsi Aceh, keinginan untuk “mensarjanakan” peternak skala kecil (peternak rakyat) saya sampaikan dalam suatu pertemuan nasional yang dihadiri kepala dinas peternakan dari 34 provinsi di Indonesia. Keinginan itu dipicu oleh keprihatinan pribadi saya, setelah berinteraksi dengan peternak rakyat di seluruh Indonesia sejak tahun 2001 dan menemukan fakta, bahwa kondisi mayoritas peternak rakyat tidak berubah sejak saya menjadi mahasiswa Fakultas Peternakan di awal tahun 1980an hingga kini. Saya yakin, kondisi peternakan rakyat seperti itu, bahkan sejak Indonesia merdeka. Jika ada perubahan yang terjadi saat ini, perubahan itu biasanya adalah karena jumlah peternak berkurang dan makin banyak kandang yang tak ada ternaknya.
Dalam pertemuan nasional tersebut, ternyata hanya ada satu orang kepala dinas peternakan provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) bernama Ir. Azril Azis yang tertarik dengan konsep mensarjanakan peternak rakyat. Beliau meminta saya menerapkannya di provinsi Sumsel mulai awal tahun 2013. Tiga kabupaten padat populasi ternak sapi dipilih sebagai uji coba untuk menerapkan konsep tersebut, yaitu Kabupaten Banyuasin di Kecamatan Betung, Kabupaten Musi Banyuasin di Kecamatan Sungai Lilin, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir di Kecamatan Mesuji Raya. Dalam perjalanan mempersiapkan penerapan kegiatan tersebut, Dr. Sofyan Sjaf – pakar sosiologi pedesaan IPB, mengusulkan nama “Sekolah Peternakan Rakyat” daripada “Mensarjanakan Peternak Rakyat”. Jadilah konsep pimikiran yang saya perensentasikan di Banda Aceh bernama Sekolah Peternakan Rakyat (SPR) hingga kini.
Nama Sekolah Peternakan Rakyat disempurnakan lagi menjadi SPR-1111 yang bermakna bahwa di setiap SPR minimal sudah terdapat 1000 ekor indukan dan maksimal 100 ekor pemacek milik peternak, minimal 10 strategi untuk mencapai 1 visi “peternak mandiri dan berdaulat”. Deklarasi berdirinya SPR-1111 pertama kali di Indonesia diadakan di salah satu kantor desa di Kecamatan Betung, Kabupaten Banyuasin. Atas komitmen Bupati Banyuasin, di kecamatan tersebut telah didirikan pula gedung pertemuan Sekolah Peternakan Rakyat dengan prasasti yang tertempel di salah satu dindingnya. Para petinggi yaitu Presiden RI, Gubernur Sumatera Selatan, dan Bupati Banyuasin telah hadir dan berdialog dengan peternak SPR di dekat kandang milik peternak pada tanggal 6 Desember 2014.
Hingga kini SPR-1111 terus berjalan dan ada 31 SPR yang tersebar di seluruh pelosok Indonesia, tercatat sebagai binaan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat IPB. Tidak semua SPR berjalan dan beraktivitas secara mulus dalam proses pembelajaran dan pendampingannya. Fakta di lapangan, sampai saat ini menunjukkan bahwa komitmen bupati sebagai pemegang otoritas di kabupaten, sangat menentukan berhasil tidaknya proses pendampingan dan pembelajaran partisipatif peternak rakyat bersama akademisi kampus.
Sentra Peternakan Rakyat
Pada tanggal 1 Juni 2015, saya diangkat menjadi Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan berdasarkan Keputusan Presiden No. 75 tahun 2015. Karena konsep SPR-1111 terbukti berjalan dan mendapat respons baik dari komunitas peternak rakyat, konsep ini disetujui dijadikan program nasional tetapi dengan nama Sentra Peternakan Rakyat (SPR).
Filosofi yang terkandung dalam konsep SPR-1111 dan SPR sebenarnya sama. Perbedaannya adalah bahwa SPR ini dibiayai dengan anggaran pemerintah pusat (APBN) dan bersifat kompetitif untuk mendapatkannya, sedangkan SPR-1111 dibentuk atas inisiatif pemerintah kabupaten dengan anggaran APBD sendiri. Pada saat itu, saya usulkan dibentuk 500 SPR namun yang disetujui adalah 49 SPR yang tersebar di 47 kabupaten/kota. Sebagian besar anggaran APBN, saat itu dialihkan untuk pembelian ternak sapi indukan.
Dengan kegiatan SPR, semangat peternak tumbuh dimana-mana karena mereka merasa mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Berbagai aktivitas untuk penguatan kelembagaan peternak dilaksanakan. Namun demikian program SPR terhenti di tengah jalan, karena saya tidak bertahan lama di kursi kekuasaan sebagai dirjen peternakan dan kesehatan hewan. Pada tanggal 12 Juli 2016 saya diberhentikan dengan hormat sebagai dirjen dan diangkat sebagai staf ahli Menteri Pertanian RI. Karena berbagai pertimbangan, saya tidak bersedia menjadi staf ahli dan memilih kembali ke kampus IPB, mengurus lagi peternak rakyat di bawah bendera SPR-1111 LPPM IPB.
Sebagaimana tradisi yang berjalan selama ini “ganti pejabat ganti program”, maka program SPR diganti dengan program Upaya Khusus (Upsus) SIWAB (Sapi Indukan Wajib Bunting) di bawah kendali dirjen baru. SPR dibiarkan dan tidak dianggarkan lagi. Namun sebagian SPR masih bertahan dengan caranya masing-masing dan sebagian lagi layu atau mungkin mati.
Saat ini beberapa bupati yang wilayahnya terdapat SPR bekerjasama dengan rektor IPB untuk menggiatkan lagi SPR yang tidak diurusi pemerintah pusat. Melalui kerjasama rektor dan bupati, telah diselenggarakan kegiatan SPR-1111 di Sentra Peternakan Rakyat. SPR-1111 lebih berorientasi pada pendidikan peternak sedangkan SPR lebih berorientasi pada penyediaan sarana-prasarana dan fasilitas bagi peternak. Dari waktu ke waktu, jumlah SPR-1111 binaan IPB terus bertambah seiring dengan makin dipahaminya konsep SPR-1111 secara lebih baik. Kabupaten dan perguruan tinggi, makin bersinergi dalam membangun peternakan rakyat.
Dalam waktu maksimum empat tahun, SPR-1111 dapat dinyatakan berstatus mandiri dan berdaulat setelah dilakukan penilaian oleh tim. Pada tanggal 18 Oktober 2017, dilaksanakan upacara wisuda SPR-1111 bersamaan dengan acara pembukaan expo internasional ILDEX di Kemayoran Jakarta. Enam ketua GPPT dan enam manajer dari enam SPR binaan IPB (3 di Bojonegoro, 1 di Banyuasin, 1 di Musi Banyuasin, dan 1 di Ogan Komering Ilir) dilantik secara simbolis oleh Kepala LPPM IPB Dr. Prastowo. Makna dari kelulusan ini secara substantif adalah bahwa SPR-1111 ini telah terbukti mampu mandiri dan berdaulat tanpa atau dengan bantuan pemerintah. Secara administratif, kerjasama antara pemerintah kabupaten dan IPB dalam rangka pendampingan dan pembelajaran partisipatif telah selesai, sehingga tak ada kewajiban bagi kedua instansi tersebut melakukan pembinaan lagi kepada peternak.
Atas keberhasilannya menerapkan konsep SPR-1111, dua ketua Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) SPR Temayang Bojonegoro dan SPR Sungai Lilin Musi Banyuasin diundang oleh Duta Besar Indonesia untuk Austria, Djumala Darmansyah dalam konferensi internasional, 19 September 2018 di Vienna, Austria. Mereka berdua menyampaikan kesaksiannya menerapkan konsep SPR-1111 dalam mewujudkan bisnis berjamaah di wilayah masing-masing.
Serikat Peternakan Rakyat Indonesia (SPRI)
Pada tanggal 10 November 2018, ketua GPPT dan manajer enam SPR-1111 yang telah dinyatakan lulus berkumpul di Jakarta. Selain mereka, hadir pula akademisi, pemitra, birokrat, pengusaha, perusahaan jasa asuransi, dan tokoh peternak dari SPR-1111 yang masih aktif (belum lulus). Mereka bersepakat untuk membentuk perkumpulan alumni SPR-1111 sehingga visi dan semangat kemandirian untuk berdaulat dapat dipertahankan dan ditingkatkan sepanjang waktu.
Jadilah 10 November 2018 dinyatakan sebagai lahirnya Serikat Peternakan Rakyat Indonesia (SPRI) yang dideklarasikan di Gedung Perpustakaan Nasional Lantai 17 di Jalan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. Pada saat bersamaan juga diadakan konsolidasi untuk persiapan kerjasama antara Infrabanx, IPB, dan SPRI dalam rangka kemitraan bisnis penggemukan dan pembiakan sapi di Indonesia, serta penyebaran konsep SPR-1111 ke seluruh Indonesia
Melalui kerjasama tersebut, rata-rata 750 ekor sapi bakalan per SPR dipelihara untuk penggemukan selama 3-4 bulan yang hasilnya dibagi secara proporsional antara infrabanx dan SPR. Selain itu, melalui kerjasama itu juga akan dillakukan konsolidasi perguruan tinggi untuk secara bersinergi melakukan pembelajaran partisipatif kepada para peternak di wilayah masing-masing, sehingga tidak hanya IPB saja yang bergerak “mendidik” para peternak untuk mencapai kemandirian dan kedaulatannya.
Ini merupakan kerjasama masif yang memerlukan dana besar dan melibatkan empat pilar utama yaitu akademisi sebagai pengembang dan penyebar iptek, aparat pemerintah sebagai regulator dan fasilitator, pelaku bisnis sebagai penyedia finansial maupun pemitra, dan peternak sebagai pelaku utama dalam pembangunan peternakan di Indonesia. Ini pula yang saya inginkan ketika saya diberi amanah sebagai dirjen peternakan dan kesehatan hewan.
Menjadi ironis karena justru Infrabanx of Canada yang memberi kesempatan luas untuk penerapan konsep SPR-1111 secara meluas di seluruh Indonesia. Dengan menyediakan dana lebih dari 3 trilyun rupiah, diharapkan 500 SPR-1111 terbentuk untuk menghasilkan komunitas peternak yang handal untuk pembangunan peternakan secara nasional di Indonesia. Saat ini proses untuk mencairkan dana dari Canada ke Indonesia sedang dilakukan.
Program Infrabanx tersebut berorientasi bisnis profesional. Seleksi terhadap peternak yang ingin ikut bermitra dalam program infrabanx sangat ketat, dengan harapan, ternak terus dapat berkembang melalui penyediaan sapi indukan sedangkan penyediaan daging dari dalam negeri makin tercukupi melalui pengadaan sapi bakalan. Peternak harus mampu menunjukkan kemauan dan kemampuan untuk merawat ternak, menyediakan pakan, dan berbisnis secara berjamaah.
Proses panjang untuk menjadikan peternak mandiri berdaulat yang dimulai 19 September 2012 masih terus berjalan dan tidak boleh berhenti. Kaderisasi akademisi yang peduli kepada pemberdayaan peternak harus dilakukan. Kaderisasi peternak berjiwa pemimpin perubahan juga harus disiapkan agar semangat kemandirian menuju kedaulatan terus menggelora di hati sanubari peternak.
Perjalanan mengubah pola pikir melalui SPR-1111 ini juga memberi pelajaran penting bagi pemerintah. Program apapun yang digulirkan kepada peternak harus dimulai dengan mempersiapkan mental, pikiran, dan sumber daya yang dimiliki peternak. Berbisnis berjamaah dalam jumlah besar yang dikendalikan melalui manajemen yang baik, merupakan syarat mutlak agar semua program dapat berjalan dengan baik dan sukses. (Muladno. Dewan Pakar PB ISPI, Guru Besar Fakultas Peternakan IPB, dan Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia).
Telah dimuat juga di Majalah Infovet edisi bulan Januari Tahun 2019