Body Condition Score atau disingkat ¬BCS merupakan cerminan tingkat kesehatan ternak, kecukupan nutrisi dan refleksi cadangan energi ternak betina. Skor BCS yang tinggi dapat diartikan bahwa nutrisi yang dikonsumsi oleh ternak berada pada level yang cukup atau bahkan lebih, begitu pula cadangan energinya. Umumnya, skor BCS dikaitkan dengan kinerja reproduksi ¬sapi betina, sehingga menjadi dasar pertimbangan untuk mengawinkan ternak atau melakukan inseminasi buatan. Harapannya dengan BCS yang baik, maka akan diperoleh kebuntingan yang berlanjut pada kelahiran, laktasi dan kembali pada siklus reproduksi untuk dapat dikawinkan kembali.
Skor BCS yang ada antara lain menganut sistem skor 1-5, 1-9 dan bahkan ada yang 1-10. Skor ini digunakan secara berbeda untuk sapi perah maupun sapi potong. Di Indonesia, skor yang digunakan umumnya adalah adalah 1-5. Menurut IACCB (Gambar 1), BCS yang ideal pada sapi untuk siap dikawinkan adalah 3-4. Pada skor < 3 atau > 5 tidak disarankan karena akan berpengaruh pada penurunan kinerja reproduksi ternak. Tidak saja pada performa dalam perkawinan dan kebuntingan, BCS juga berkaitan dengan kemampuan induk dalam mendukung kehidupan dan perkembangan anak pasca dilahirkan sampai sapih melalui produksi susu yang cukup. Ternak betina dengan kondisi BCS yang kurang, memiliki resiko peningkatan jarak kelahiran, bobot badan pedet yang rendah, dan kemungkinan terjadinya dystokia. Terlebih pada sapi perah, BCS erat kaitannya dengan mekanisme produksi susu dan kompleksitas masalahnya pada hal metabolisme terutama saat awal laktasi. BCS juga berhubungan dengan produksi antibody dalam kolostrum untuk konsumsi anak. Dengan BCS yang tidak berubah banyak pasca partus, maka ternak betina dapat segera siap utuk dikawinkan kembali, dan hal ini akan dapat dievaluasi dari jarak beranak atau calving interval.
Teknik penentuan skor BCS dapat dilakukan dengan mudah,tidak memerlukan peralatan yang khusus dan dapat dilakukan kapanpun. Pengamatan ternak, dapat dilakukan seperti cara “Judjing” dengan melihat kondisi tubuh ternak secara langsung dan dapat juga dengan melakukan palpasi pada bagian tubuh. Setidaknya ada 6 bagian utama yang dievaluasi untuk menentukan BCS ternak (Gambar 2) dari samping dan belakang. Panduan penilian skor BCS pada sapi dapat mengikuti panduan dari IACCB pada Gambar 3.
Peran BCS pada reproduksi sapi
Seperti disampaikan sebelumnya bahwa BCS merupakan cerminan dari cadangan energi pada ternak. Menurut penggunaanya, energi permata kali digunakan untuk pemenuhan hidup pokok dan ketika kebutuhan tersebut telah terpenuhi maka energi dapat digunakan untuk proses metabolisme yang lain seperti reproduksi. Terkhusus untuk cadangan energi dalam bentuk lemak, satu komponen lemak adalah kolesterol, merupakan bahan dasar untuk pembentukan hormon reproduksi. Proses ini disebut dengan “steroidogenesis” atau pembentukan hormon steroid yang mendukung proses reproduksi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa cadangan lemak yang cukup akan mendukung produksi hormon reproduksi yang cukup pula, sehingga kinerja reproduksi ternak dapat berlangsung dengan baik.
Seperti kita ketahui bersama bahwa hampir seluruh proses reproduksi ternak betina dikendalikan oleh mekanisme hormonal. BCS disini erat kaitannya dengan kinerja ovarium dalam membentuk sel telur dan menghasilkan hormon reproduksi yang mengatur estrus contohnya. Perlu dicatat disini bahwa salah satu peran BCS adalah pada kenormalan fungsi ovarium, dan tidak berkontribusi terhadap genetik apa yang diturunkan ke anak yang akan dilahirkan. Kecukupan dan kenormalan hormon reproduksi adalah faktor penentu kinerja reproduksi betina yang normal dan efisien. Efisiensi reproduksi ini selanjutnya menentukan keuntungan peternak, dan secara ukuran populasi menentukan kecepatan atau laju pertambahan ternak itu sendiri.
Hal pokok pada siklus reproduksi ternak betina setelah pubertas adalah adanya aktivitas ovarium. Ketika ovarium mulai berfungsi, maka aktivasi pada semua mekanisme kerja hormonal dimulai. Ovarium menghasilkan dua hal, pertama adalah sel telur atau ovum dan kedua adalah hormon. Ovum dihasilkan melalui proses oogenesis dan perkembangan folikel. Folikel berkembang apabila ada peran hormon Folicle Stimulating Hormone (FSH) yang dihasilkan oleh kelenjar hipofisa. Mekanisme perkembangan folikel selanjutnya akan menghasilkan hormon estrogen yang pada level tertentu membuat ternak menjadi estrus. Disisi lain, juga diperlukan hormon Luteinizing Hormone (LH) untuk proses ovulasi. Kemudian hormon lain yang berperan adalah diproduksinya progesteron yang cukup untuk mempertahankan kebuntingan. Kesemua hormon tersebut harus saling bekerja secara sinkron atau berorkestrasi untuk menghasilkan proses reproduksi yang normal.
Sesuai dengan fungsi reproduksinya, ternak betina berperan pada hal-hal berikut ini:
- Menghasilkan sel telur
- Menghasilkan hormon reproduksi
- Menunjukkan kelakuan kelamin betina (estrus atau birahi)
- Tempat kopulasi
- Tempat fertilisasi (pertemuan sperma dan ovum)
- Tempat implantasi dan inisiasi kebuntingan
- Perkembangan fetus (kebuntingan)
- Partus (melahirkan)
- Laktasi atau menyusui
Sementara peranan pejantan, apabila perkawinan dilakukan secara alami adalah menghasilkan spermatozoa dan kopulasi. Terlebih, jika perkawinan menggunakan Inseminasi Buatan (IB) maka peran pejantan hanya pada ¬penyedian semen saja. Selebihnya, proses reproduksi untuk menghasilkan keturunan ada pada fungsi reproduksi ternak betina. Sampai saat ini, pada hewan mamalia, belum ada teknologi yang dapat menggantikan fungsi uterus untuk tempat perkembangan fetus (kebuntingan), sehingga menjaga betina tetap memiliki fungsi reproduksi yang normal dan tidak memiliki gangguan adalah hal dasar dari keberlanjutan untuk menghasilkan individu-individu baru.
Manajemen BCS untuk reproduksi yang optimal
Tujuan dari penggunaan BCS adalah untuk mendapatkan kinerja reproduks ternak betina yang efisien. Efisiensi ini pastilah berdasarkan mekanisme reproduksi yang terikat pada waktu. Lama estrus, siklus estrus, lama kebuntingan, lama kembali estrus setelah melahirkan, kesemuanya adalah proses yang memerlukan waktu. Akan tetapi, kesemua hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan kebuntingan dan kelahiran. Untuk dapat bunting, betina harus menunjukkan gejala estrus agar dapat dikawinkan. Ketika perkawinan tidak berhasil, maka akan terjadi penundaan waktu untuk mendapatkan kebuntingan. Ataukah apabila sudah terjadi kebuntingan, tetapi mengalami keguguran. Hal ini tentu saja merupakan kerugian bagi peternak. Karena, sapi setiap hari membutuhkan pakan yang dapat diartikan sebagai biaya, sehingga reproduksi yang normal tentu saja merupakan profit. Pada sapi perah, hal ini akan sangat terasa. Laktasi hanya bisa terjadi setelah kelahiran, dan keberlangsungan produksi susu sangat ditentukan oleh siklus reproduksi.
Pertanyaan yang harus dijawab sekarang, adalah bagaimana memastikan seekor betina memiliki BCS yang cukup sebelum perkawinan. Tentu saja hal ini menyangkut manajemen dan pola pemeliharaan, terutama pada pakan. Pakan yang diberikan paling tidak harus mampu memberikan kecukupan terhadap kebutuhan hidup ternak. Secara sederhana, cukup atau tidaknya dapat dilihat dari kondisi tubuh ternak, kurus atau gemuk. Pada sapi potong maupun sapi perah, sapi betina membutuhkan energi yang lebih dari yang tersedia di pakan, sehingga memerlukan pembongkaran cadangan lemaknya. Contoh yang konkret adalah pada sapi perah diawal laktasi, sapi-sapi ini melakukan pembongkaran energi untuk produksi susu. Mungkin pernah mendengar tentang kondisi yang disebut dengan Negative Energy Balance, atau keseimbangan energi yang negatif. Hal ini apabila berkelanjutan akan mengakibatkan sederet masalah metabolisme yang tentu saja menggangu kesehatan dan reproduksi ternak itu sendiri. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan penyediaan pakan yang cukup dan optimal untuk mendukung kebutuhan nutrisi sapi pada fase fisilogis tersebut.
Nah kondisi inilah yang kadang terjadi di peternakan rakyat, banyak sekali kasus gangguan reproduksi sebagai akibat masalah metabolisme seperti pada sapi perah. Peningkatan S/C dan interval kelahiran adalah salah satu indikatornya, kemudian menurunnya jumlah produksi susu per individu per masa laktasi karena siklus reproduksi yang diperpanjang sebagai akibat kegagalan dari kebuntingan yang menunda kelahiran. Pakan, dalam arti nutrisi dalam hal ini menjadi faktor penentu. Tantangan penyedian pakan yang efektif, bukan asal murah, menjadi pekerjaan rumah tersendiri dan harus dipecahkan oleh para ahli nutrisi ternak.
Evaluasi kondisi BCS secara periodik, terutama menjelang perkawinan, menjadi cara praktis untuk menentukan keputusan perubahan tata kelola pemeliharaan ternak. Apabila BCS masih kurang dari ideal, maka dilakukan perbaikan. Keberhasilan dari implementasi BCS adalah adanya ukuran efisiensi reproduksi yang berujung pada keuntungan bagi peternak, dan dapat menjadi tolok ukur keberhasilan program reproduksi ternak pada satu wilayah.
Dapat dibayangkan, apabila populasi betina yang produktif secara reproduksi sudah menurun jumlahnya, tidak efisien atau bahkan tidak ada, maka suplai bibit ternak untuk kelangsungan proses produksi ternak, dapat dipastikan akan terkendala. Akibatnya adalah terjadi penurunan produksi produk peternakan. Disinilah mengapa “REPRODUKSI ADALAH KUNCI”, kunci untuk penambahan populasi dan kunci peningkatan kualitas genetik ternak. Adapun muaranya adalah untuk keberlangsungan dan peningkatan program konsumsi dan penyediaan pangan asal hewani yang sampai saat ini masih dirasa belum cukup.