Introduksi Sapi Belgian Blue Pada Peternakan Rakyat, Haruskan Di Tahun 2020?
*Muhammad Rizal
Pertanyaan tersebut muncul seiring dengan adanya kekhawatiran dampak negatif yang mungkin ditimbulkan pada sapi-sapi keturunan sapi Belgian Blue (BB). Hasil beberapa penelitian di negara-negara Eropa serta kajian Tim Peneliti UNS dan UGM dilaporkan bahwa sapi yang membawa darah sapi BB umumnya memiliki organ-organ dalam yang kecil, termasuk organ reproduksi. Organ reproduksi yang kecil dan saluran yang sempit pada betina dapat menimbulkan kesulitan saat induk melahirkan (distokia), sehingga membutuhkan pertolongan khususnya operasi Caesar. Apakah setiap induk sapi yang membawa darah BB harus selalu di-caesar saat melahirkan? Kalau ini yang terjadi dapat dipastikan akan terjadi kerusakan pada sapi-sapi betina kita, sebagai “pabrik” penghasil pedet. Inilah yang menjadi salah satu kekhawatiran sebagian pihak.
Sapi BB merupakan salah satu jenis sapi dengan perototan yang tidak lazim seperti umumnya jenis sapi yang lain. Sapi yang berasal dari Belgia ini secara natural mengalami mutasi pada gen myostatin yang mengkode pembentukan protein myostatin (myo = muscle atau otot, statin = stop), sehingga protein myostatin tidak diproduksi. Fungsi protein myostatin adalah menghambat pertumbuhan otot. Akibatnya, pertumbuhan otot sapi BB menjadi tidak terkontrol dan menghasilkan double muscle (DM) atau perototan ganda. Hal ini yang membuat beberapa pihak tergiur untuk mengembangkan bangsa sapi ini, termasuk pemerintah Indonesia (Kementan). Sapi BB dianggap menjadi salah satu solusi untuk dapat mewujudkan tercapainya cita-cita swasembada daging sapi, yang sudah lama dicanangkan. Akan tetapi di balik kekarnya otot yang dimiliki sapi BB, ternyata juga menyimpan masalah seperti yang telah diuraikan di bagian awal tulisan ini.
Penyempitan saluran reproduksi pada sapi yang membawa darah BB dapat dipahami. Pada saluran reproduksi, mulai dari vagina, cervix (mulut rahim), uterus (rahim), hingga oviduk (tuba Fallopi atau saluran telur) terdapat unsur otot. Artinya, otot-otot pada saluran reproduksi juga akan tumbuh tidak terkontrol seperti pada otot-otot di tempat lain. Otot-otot yang tumbuh tidak terkontrol ini akan mendesak lubang (lumen) saluran reproduksi, sehingga menyempit. Kombinasi antara lubang saluran reproduksi yang sempit dan ukuran pedet sapi keturunan BB yang besar menyebabkan terjadi kesulitan saat melahirkan. Belum lagi organ-organ dalam yang lain, yang juga memiliki unsur otot. Seperti organ pencernaan. Karena terjadi penyempitan pada rongga organ pencernaan (kapasitas tampung menjadi kecil), maka diperlukan pakan berkualitas tinggi untuk dapat mengekspresikan secara maksimal kemampuan genetik yang dimiliki oleh sapi BB, baik yang murni maupun hasil persilangan.
Kemampuan sapi BB dalam menghasilkan karkas memang luar biasa. Dilaporkan bahwa persentase karkas sapi BB adalah 70–80% dengan bobot badan sapi jantan dewasa sekitar 1.100 kg–1.300 kg, atau sekitar dua kali lipat bobot badan sapi lokal Indonesia. Akan tetapi, kemampuan produksi daging tersebut terekspresi dengan sempurna hanya jika sapi memperoleh kondisi lingkungan yang optimal. Faktor lingkungan yang paling penting adalah pemenuhan kebutuhan pakan utama (hijauan) yang memiliki kualitas tinggi. Sebagaimana pada saluran reproduksi, penyempitan juga terjadi pada saluran pencernaan, sehingga pakan yang diberikan harus memiliki kandungan nutrisi dan kecernaan yang tinggi karena terbatasnya kapasitas organ pencernaan dan laju alir pakan yang lebih cepat. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia, tidak memilih bangsa sapi BB untuk industri sapi potong mereka. Belum lagi dengan faktor manajemen yang lain, yang juga harus baik. Intinya, keunggulan genetik yang dimiliki sapi BB akan terekspresi dengan sempurna jika memperoleh pelayanan “kelas bintang lima” oleh peternak. Pertanyaannya, sanggupkah peternak rakyat kita memenuhinya? Jika tidak, maka potensi genetik unggul yang dimiliki seekor sapi keturunan BB menjadi mubazir, karena tidak akan terekspresi secara optimal dalam bentuk produksi daging.
Melihat berbagai kondisi yang kurang menguntungkan seperti tersebut di atas, maka introduksi sapi BB dengan tujuan memperbaiki kualitas genetik dan performans sapi lokal sebaiknya dikaji lebih mendalam lagi. Bentuk pengkajian yang dilakukan adalah introduksi sapi BB secara terbatas dalam lingkup tertutup. Melalui penerapan teknologi reproduksi ternak seperti transfer embrio (TE) dan inseminasi buatan (IB), pengkajian yang lebih mendalam dengan waktu yang cukup panjang dapat dilakukan untuk menjawab semua kekhawatiran tersebut di atas. Jika hasil kajian tersebut ternyata tidak ada masalah, barulah kemudian diterapkan secara luas pada peternakan rakyat. Kajian komprehensif menjadi penting karena pemerintah (Kementan) sudah memprogramkan akan melakukan pengembangan sapi BB secara terbuka pada tingkat peternakan rakyat pada tahun 2020.
Sebenarnya ada satu pertanyaan mendasar yang patut dikemukakan. Yakni, jika sapi BB (baik yang murni maupun hasil persilangan) ini memang efektif dan efisien dalam menghasilkan daging serta tidak bermasalah, mengapa tidak dimanfaatkan oleh negara-negara yang sudah maju sistem peternakannya seperti Australia dan Amerika Serikat, yang selama ini dikenal sebagai negara-negara utama produsen daging sapi dunia? Fakta menunjukkan bahwa hingga saat ini, negara-negara tersebut masih memanfaatkan sapi jenis Limousin dan Simmental sebagai penghasil daging yang diekspor ke beberapa negara konsumen, termasuk Indonesia.
Introduksi sapi BB di Indonesia dilakukan pertama kali pada tahun 2016 di Balai Embrio Ternak (BET) Cipelang, Bogor melalui penerapan teknologi TE menggunakan embrio beku yang diimpor dari negara asalnya, Belgia. Kelahiran pertama sapi BB murni pada bulan Januari 2017 berjenis kelamin jantan, diberi nama Gatot Kaca. Pada bulan Desember 2017 lahir lagi sapi BB murni berjenis kelamin betina, dan diberi nama Srikandi. Artinya, saat ini Gatot Kaca mestinya sudah dimanfaatkan untuk memproduksi semen beku, dan Srikandi juga sudah dapat diprogram untuk menghasilkan embrio beku. Upaya pengembangan introduksi sapi BB secara luas pada tingkat peternakan rakyat akan dilakukan melalui aplikasi teknologi IB. Teknologi TE juga akan diterapkan dalam skala terbatas. Semen beku dan embrio beku yang akan digunakan adalah produksi dalam negeri, sehingga harganya terjangkau. Sebagai informasi, harga semen beku BB impor dari Belgia sebesar Rp. 450.000,- per straw, sedangkan embrio beku sekitar Rp 9,9 juta per embrio.
Dalam konteks peredaran semen beku sapi BB (jika sudah diproduksi oleh Balai Inseminasi Buatan) dan embrio beku (jika sudah diproduksi oleh BET) diperlukan regulasi khusus, yang berbeda dengan regulasi untuk peredaran semen beku dan embrio beku sapi jenis lain. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah straw semen beku dan embrio beku sapi BB lepas ke masyarakat umum, sementara kajian komprehensif belum rampung. Dalam skala yang lebih luas, memang diperlukan peta jalan (road map) pengembangan sapi BB di Indonesia.
Tanpa bermaksud mengabaikan pengembangan sapi-sapi eksotik (impor) seperti sapi Limousin, Simmental, Angus, dan lain-lain melalui persilangan dengan sapi-sapi lokal, mengapa kita tidak kembali lagi menggalakkan pengembangan sapi-sapi lokal seperti sapi Bali, sapi Peranakan Ongole (PO), sapi Madura, dan lain-lain yang sudah terbukti mampu berproduksi dengan baik pada kondisi lingkungan kita.
Sapi-sapi eksotik memang memiliki perawakan (bobot badan) yang besar dibandingkan dengan sapi-sapi lokal. Akan tetapi, untuk menghasilkan bobot badan yang besar itu dibutuhkan pakan yang lebih banyak dan lebih berkualitas dibandingkan dengan kebutuhan pakan sapi-sapi lokal. Sehingga jika dihitung efisiensinya, belum tentu sapi berukuran besar lebih menguntungkan dibandingkan dengan sapi berukuran kecil.
*)Artikel ini telah dimuat pada Koran Radar Banjarmasin Halaman 27 (Opini), Rabu 12 Februari 2020. Anggota Dewan Pakar Pengurus Cabang ISPI Kalimantan Selatan SEKJEN PB ISPI