Dalam beberapa hari terakhir di khasanah perdagingan dan persapian di tanah air diributkan dengan adanya pernyataan Menteri BUMN Erick Thohir tentang wacana membeli perusahaan peternakan sapi di Belgia. Komentar dan kritik mengalir sangat deras baik dari politisi, praktisi peternakan, netizen, serta berbagai kalangan. Intinya mereka menentang atau tidak setuju dengan wacana yang disampaikan Menteri BUMN. Salah satu yang dilontarkan oleh yang mengkritisi wacana tersebut adalah mengapa harus membeli perusahaan peternakan sapi di Belgia dan tidak investasi di tanah air yang memiliki tanah luas dan potensi yang sangat besar untuk usaha peternakan sapi.
Mungkin ada baiknya kita coba dalami apa kira-kira yang menjadi dasar wacana yang dilontarkan oleh Menteri BUMN Pak Erick Thohir. Kita tahu bahwa latar belakang beliau adalah bisnis dan juga saat menangani BUMN yang tentunya fokus agar BUMN efisien , maju dan harus mampu menangkap peluang bisnis selain tetap mengemban misi kebangsaan. Sebagai seorang Menteri BUMN tentunya beliau tahu secara persis bahwa sudah lebih dari duapuluh tahun negara kita mengimpor daging sapi rata-ratasekitar 250.000 ton per tahunnya atau senilai sekitar Rp 20 triliun. Impor daging baik dalam bentuk daging beku ataupun impor sapi hidup untuk digemukkan sekitar 4 bulan. Siapa yang diuntungkan dengan tingginya angka impor daging sapi selama ini ? Dipastikan perusahaan peternakan sapi di luar negeri, eksportir dari negara pengekspor, dan para importer yang ada di negara kita. Mereka yang menikmati peluang bisnis importasi daging sapi untuk memenuhi kebutuhan konsumen di tanah air kita.
Sebagai seorang yang berlatar belakang bisnis, mungkin seorang Erick Thohir berfikir mengapa tidak memanfaatkan peluang tersebut. Kalau memang menguntungkan untuk ekspor ke Indonesia, sekalian Indonesia punya perusahaan peternakan di luar negeri dan mengekspor ke negara sendiri. Toh selama ini dan mungkin sampai 30 tahun yang akan datang Indonesia akan tetap mengimpor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Siapa Salah?
Tentunya seorang Erick Thohir sebagai seorang Menteri BUMN tidak akan berwacana seperti yang saat ini diributkan, seandainya pada saat ini kita telah berhasil swasembada daging sapi. Mari kita runut ke belakang. Menteri Pertanian Dr Ir Anton Apriantono menetapkan bahwa Indonesia di tahun 2010 akan swasembada daging sapi. Kenyataan di tahun 2010 impor daging sapi mencapai sekitar 250 ribu ton baik dalam bentuk daging beku maupun impor dalam bentuk sapi hidup. Artinya gagal program swasembada daging sapi. Dilanjut oleh Menteri Pertanian berikutnya. Dr Suswono menetapkan bahwa di tahun 2014 Indonesia sudah swasembada daging sapi. Kenyataan bahwa impor daging sapi juga masih sekitar 250 ribu ton. Artinya gagal dan waktu ditanya oleh wartawan tentang kegagalan program swaembada daging sapi, Menteri Pertanian Dr Suswono menjawab : salah hitung. Di era Presiden Jokowi , wacana swasembada daging sapi di tahun 2019 juga muncul dan dicanangkan oleh Menteri Pertanian Dr Amran Sulaiman. Beliau yakin akan sukses. Tidak beda dengan program sebelumnya. Gagal dan impor daging sapi dan kerbau masih pada kisaran jumlah diatas 250 ribu ton. Diperkirakan dana APBN yang digunakan untuk mendukung program swasembada daging sapi sejak tahun 2005 sampai saat ini diatas Rp 25 triliun. Jumlah anggaran yang tidak kecil yang dikumpulkan dari para pembayar pajak.
Momentum Untuk Bangkit
Ribut-ribut tentang lontaran wacana Menteri BUMN untuk membeli perusahaan peternakan sapi di Belgia sebaiknya digunakan sebagai dorongan dari kita semua untuk mau melakukan introspeksi adanya carut marut industri peternakan dan perdagingan sapi di tanah air. Kegagalan program swasembada daging sapi sebagai suatu keputusan politik Pemerintah harus dievaluasi secara total dan kemudian dirancang kembali perencanaan yang lebih baik lagi. Apapun harus disadari bahwa peternakan sapi di negara kita masih didominasi oleh peternak rakyat yang jumlahnya (menurut sensus BPS 2013) sekitar 5,5 juta rumah tangga peternak dengan kepemilikan sekitar 2-4 ekor dan sarat dengan aspek sosial ekonomi. Sangatlah naïf kalau kita bandingkan dengan negara seperti Australia, Brazil, Amerika Serikat yang benar-benar telah mengembangkan sapi potong sebagai industri.
Pernyataan Dr Suswono bahwa program swasembada daging sapi gagal karena salah hitung, perlu menjadi perhatian. Penulis di tahun 2006 telah pula menyampaikan ke Menteri Pertanian saat itu bahwa dipastikan program swasembada daging sapi tahun 2010 akan gagal dan hanya sebagai retorika politik. Salah satu pertimbangan bahwa program yang disusun tidak menggunakan angka yang valid dan menggunakan asumsi yang tidak realistis. Hal ini memperkuat pernyataan Dr Suswono telah terjadi salah hitung. Kita bisa dengan melihat dari data statistik yang dirilis oleh Kementerian Pertanian seperti populasi sapi, produksi daging sapi yang masih perlu untuk diklarifikasi kebenarannya.
Masa depan industri sapi potong di tanah air masih panjang dan cerah seandainya kita seluruh pemangku kepentingan menyatukan tekad untuk maju bersama. Juga didukung dengan keputusasn politik yang diperlukan. Banyak sekali aspek yang harus digunakan untuk melakukan pembenahan. Tetapi menurut penulis, yang awal harus dilakukan adalah “pembenahan” angka dan data yang akan digunakan termasuk populasi sapi, produksi daging sapi lokal, dan data penunjang lainnya yang benar-benar akurat. Kebenaran data ini akan menjadi basis utama untuk perencanaan lebih lanjut yang mantap. Intinya jangan lagi terjadi kekeliruan salah hitung. Retorika, slogan, dan jargon harus dihilangkan dan berangkat dengan arah dan tujuan yang jelas dan terukur. Kemampuan kita secara cerdas membaca bisnis daging sapi dunia juga menjadi bagian yang tidak bisa diabaikan termasuk permintaan daging berkualitas untuk negara-negara maju. Salah besar kalau potensi di negara kita hanya untuk memikirkan kebutuhan sendiri padahal ada peluang untuk menjadi eksporti daging sapi berkualitas.
Jadi kita perlu berterima kasih kepada Menteri BUMN yang karena dengan wacana yang dilontarkan justru menjadi cambuk bagi kita untuk mau secara obyektif melakukan koreksi atas berbagai program dan kebijakan dalam mengembangkan industri peternakan sapi potong di tanah air kita. Presiden Jokowi pun tidak perlu malu untuk mengkoreksi atas pernyataannya bahwa Indonesia akan swasembada daging sapi di tahun 2026. Membaca kondisi saat ini dipastikan tidak mungkin terwujud swasembada daging sapi di tahun 2026 tersebut kecuali ada kebijakan pembatasan konsumsi daging sapi.
Siapa Yang Harus Menjadi Konduktor?
Pembenahan untuk merancang industri sapi potong dan perdagingan di tanah air jelas perlu melibatkan banyak pihak baik dari unsur pemerintah dan non pemerintah. Paling tidak perlu keterlibatan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan, Menko Perekonomian, Kementerian Koperasi UKM, Kementerian BUMN, Bulog dan instansi lain. Koordinasi harus berjalan dengan baik untuk menjamin keberhasilan pengembangan industri sapi potong dan perdagingan di tanah air. Siapa yang tepat untuk menjadi konduktor atau instansi mana yang tepat sebagai leading sector? Belajar dari kegagalan program swasembada di waktu lalu dan dengan dibentuknya holding BUMN Pangan, tampaknya yang paling tepat untuk menjadi conductor adalah Kementerian BUMN. Kita tunggu langkah konkrit Pemerintah.
Jakarta, 23 April 2021
Teguh Boediyana, Ketua Komite Pendayagunaan Pertanian
Catatan: artikel serupa sudah dimuat di Harian Neraca 27 April 2021