Mandegnya Inovasi Bahan Baku Pakan Substitusi Import – Autokritik
Mansyur
Associate Professor Pada Fakultas Peternakan Unpad
Coba kita baca karya ilmiah bidang nutrisi, terutama nutrisi unggas,
selalu diawali dengan kata-kata bahwa peternakan kita bermasalah dengan
penyediaan pakan yang mahal dan bahan baku pakan selalu berbasis import
sebagai tudingan biang keroknya, akibatnya pengeluaran untuk pakan
mencapai proporsi yang tertinggi usaha ternak kurang efisien dan
mempunyai daya saing yang rendah. Ini merupakan permasalahan klasik yang
sampai hari ini tidak ketemu jawabannya, hampir puluhan tahun kita
tersesat tidak menemukan solusi pengembangan bahan baku pakan yang lebih
murah dan efisien.
Sepanjang waktu itu bukannya tidak ada penelitian tentang penggunaan dan
pengganti bahan baku import, nyatanya hasil yang didapatkan hanya
memuaskan pada skala laboratorium tetapi tidak siap dalam skala
industri. Setidaknya ada beberapa alasan mengapa hal tersebut tidak
bisa diindustrialisasi, antara lain bahan baku pengganti tidak mempunyai
basis produksi dan industrinya. Kedua, bahan baku pengganti tidak siap
pakai, sehingga membutuhkan proses tambahan yang ribet dan membutuhkan
biaya tambahan. Kalaupun ada barangnya mahal sehinga tidak kompetitif
dan mahal. Selanjutnya adalah penerimaan pasar, kadang kala produk yang
dihasilkan kurang memenuhi harapan pengguna. Terakhir, bahan baku yang
ditawarkan tidak stabil dalam kualitas dan jumlahnya sehingga
mengakibatkan terganggunya proses produksi dan tidak efisein.
Ketahanan bahan baku pakan sangat rapuh, dari 20 jenis jenis bahan pakan
yang digunakan sekitar 16 jenis item berbasis import. Bukan tidak
percaya pada bahan baku lokal tetapi sampai hari ini bahan baku lokal
masih jauh dari harapan pengguna, terutama dalam ketersediaan,
kontinuitas, kualitas, dan harga yang kompetitif. Akhirnya penggunanya
belum menjadi pilihan utama. Pada sisi lain, berdasarkan GPMT (2019)
besaran biaya untuk kebutuhan bahan baku pada industri pakan mencapai
85%, dan besaran konsumsi pakan setiap tahunnya mengalami pertumbuhan
yang meningkat besarnya 6%. Disinilah ada peluang dan tantangan yang
sangat besar sekali untuk mencapai kemandirian pakan.
Bahan baku yang penggunaanya paling besar adalah jagung dan bungkil
kedelai, masing-masing sekitar 50-60% dan 20-30%. Penggunaan kedua bahan
baku ini mencapai 80%. Tetapi sayangnya hanya baru jagung yang
mendekati keamanan stok dalam negeri, penggunaan pasokan jagung dalam
negeri sudah mendekati 90-95% dalam pakan, sedangkan bungkil kedelai
masih 100% tergantung dari pasokan import. Walaupun begitu, jagung
masih menempati urutan kedua bahan baku pakan asal bijian yang dimport,
tentu saja posisi pertamanya diduduki oleh bungkil kedelai, sedangkan
ketiga dan kempatnya adalah DDGS dan CGM (GPMT, 2019).
Kemampuan memproduksi dan menyediakan kedua komoditas ini setidaknya
sudah dapat menjamin keamanan pakan lebih stabil. Inovasi terbesar
harusnya difokuskan untuk memenuhi kebutuhan kedua bahan baku ini.
Strategi pemenuhan yang dilakukannya pun semuanya hampir sudah tahu,
yaitu swasembada atau menyubstitusi dengan bahan lain yang mempunyai
nilai sama, baik ketersediaan, manfaat biologis, maupun ekonomisnya.
Jagung sebagai komponen terbesar dalam pakan sebenarnya secara perlahan
tapi pasti sudah mulai mendekati pada ketersediaan dan kecukupan bahan
baku pakan. Importnya makin kesini makin menurun karena makin
meningkatnya produksi jagung dalam negeri. Ataupun bisa dikarenakan
strategi industri dalam menggunakan jagung pada formulasi pakan, hal ini
dikarenakan harga jagung dalam negeri kita masih relatif mahal. Pada
periode tahun 2019, harga jagung sampai ke pabrik pernah mencapai harga
Rp 6.100,00 per kg, padahal harga di petani jagung tidak pernah lebih
dari Rp 3.500,00 per kg. Tentunya harga seperti itu tidak menggembirakan
industri pakan dan peternak. Bahkan para konsumen pun terkena
rentetannya. Walaupun begitu petani jagung hanya bisa mendengar kabarnya
tetapi tidak menikmati harga tersebut.
Penurunan harga jagung dapat dilakukan dengan cara peningkatan
produktivitas jagung dan menurunkan biaya produksi dan biaya logistik
jagung. Peningkatan produksi jagung masih sangat memungkinkan secara
agronomis karena didukung oleh ketersediaan lahan, kecocokan
agroekosistem, dan kemudahan akses sarana produksi. Apalagi kalau kita
melihat model GAEZ (IIASA, 2009) bahwa produktivitas lahan di Asia masih
berada pada kisaran 45% dari potensi produktivitas tertingginya. Lahan
masih punya peluang untuk ditingkatkan produktivitas. Inovasi
peningkatan produksi yang dilakukan oleh praktisi pertanian dari Cepu
Jawa Tengah melalui peningkatan kapasitas fotosintesis berpotensi
meningkatkan produktivitas jagung. Peningkatan produksi ini pastinya
akan meningkatkan ketersediaan dan menurunkan harga pokok produksi.
Biaya produksi yang membebani petani jagung antara lain bibit, pupuk,
obat-obatan, dan tenaga kerja. Pada era pasar bebas pertanian,
penggunaan bibit berkualitas didefinsikan dengan label biru, tanah yang
subur diartikan pemupukan kimia, pengendalian penyakit lebih cenderung
sebagai pembasmian dengan obat obatan. Kesulitan dan langkanya tenaga
kerja pertanian terjadi dimana-mana, sedangkan mekanisasi tidak semuanya
menjawab kebutuhan tenaga kerja. Tenaga kerja pertanian menjadi mahal.
Itu semua meningkatkan biaya, termasuk dalam biaya produksi jagung.
Biaya kedua yang membuat harga jagung tinggi adalah biaya perpindahan,
karena rantai tata niaga yang terlalu panjang, setidaknya jagung sebelum
sampai ke gudang pabrik pakan mengalami transit dua kali bahkan lebih.
Biaya transportasi dan bongkar muatnya saja tidak kurang dari Rp
400,00/kg, pelaku tata niaga akan mengambil keuntungan berkisar Rp 50 –
500,00/kg tergantung banyakna barang. Biasanya makin besar volume
pengambilan keuntungan akan lebih kecil. Tetapi makin banyak perpindahan
akan meningkatkan biaya lebih besar lagi. Perpindahan tiga kali saja
sudah dapat meningkatkan harga jagung sekitar 1.500,00/kg. Setidaknya
kalau tidak dapat memutus rantai tata niaga, harus dapat meminimalkan
biaya logistiknya. Ini juga jelas masalah klasik yang sudah pada tahu
tetapi solusinya tidak mudah untuk diterapkan, biasa karena terlalu
banyak kepentingan yang bermain atau juga solusi yang ditawarkan tidak
membuat semua orang berbahagia.
Kalau melihat struktur penggunaan jagung, bahwa penggunaan untuk pakan
mencapai 66,37%, industri pangan 23,96%, dikonsumsi langsung 2,41%, dan
sisanya untuk keperluan benih dan lainnya (Survai Jagung Pusdatin,
2015). Melihat data tersebut persaingan dengan kebutuhan manusia untuk
pangan tidak tinggi, apalagi dengan yang dikonsumsi langsung sangat
kecil sekali. Penggunaan untuk pakan masih sangat aman dilihat dari
persaingannya dengan keperluan pangan manusia. Hal ini berbeda jauh
dengan bahan pakan kedua, yaitu bungkil kedelai. Menjawab ketersediaan
bungkil kedelai dengan suplai dalam negeri seperti membuat kolam dengan
sendok makan, bisa tapi entah kapan bisanya. Alasnnya produksi kedelai
kita jangankan untuk dibuat minyak sayur yang menghasilkan produk
sampingan bungkil kedelai, untuk membuat tahu dan tempe saja kedodoran.
Industi minyak sayur indonesia ada yang lebih efisein dibandingkan
dengan menggunakan kedelai, setidaknya kita punya minyak kelapa sawit
dan minyak kelapa. Peningkatan produksi pakan akan memperbesar
ketergantungan terhadap impor bungkil kedelai, karena kita tidak
mempunyai basis industri pengolahan minyak kedelai, sementara alasan
untuk memproduksi minyak kedelai hampir tidak ada. Strategi substitusi
harusnya menjadi pilihan untuk bahan baku ini, bukan memproduksi
sendiri.
Adakah bahan baku yang berpotensi dapat menggantikan bungkil kedelai
baik secara jumlah maupun nilai biologisnya dalam pakan? Kalau melihat
potensi produksi tentunya setidaknya ada dua industri yang dapat
memproduksi bahan baku untuk mensubstitusi bungkil kedelai, yaitu
industri minyak sawit dan industri pengolahan jagung. Sebagai negara
yang memproduksi CPO terbesar di dunia, tentunya kita mempunyai produk
sampingan industri sawit yang sangat banyak, permasalahan yang dipunyai
adalah nilai biologisnya yang belum setara. Sentuhan inovasi teknologi
yang efisien sangat diperlukan untuk mengubah produks sampingan industi
sawit dapat setara atau setidak mendekati nilai biologis dari bungkil
kedelai. Selanjutnya pengembangan industri pengolahan jagung (seandainya
produksinya melimpah) baik untuk pangan maupun energi dapat
menghasilkan produks sampingan seperti DDGS, CGM, dan CGF dapat apabila
disentuh dengan inovasi teknologi berpotensi menggantikan bungkil
kedelai.
Terakhir, inovasi akan selalu dibutuhkan. Mari kita fokus untuk
meningkatkan produksi jagung yang efisensi dan logistik yang lebih
murah, serta mengoptimalkan bahan baku yang berbasis industri untuk
mendekati nilai biologis bungkil kedelai. Peran ahli nutrisi pakan dan
tanaman yang dibutuh sekali. Para ahli tanaman pakan harus sudah membuka
diri untuk riset dalam tanaman pakan untuk unggas, jangan hanya
berkutat pada tanaman pakan untuk herbivora saja. SEKJEN PB ISPI