Dampak Penyakit Mulut dan Kuku

Oleh : Rochadi Tawaf (Komite Pendayagunaan Petani, Dewan Pakar PB ISPI dan Penasehat PP PERSEPSI)

Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) merupakan penyakit hewan yang paling ditakuti didunia. Penyakit ini termasuk kelompok Penyakit Hewan Menular Strategis (PHMS). PMK disebabkan oleh virus yang bersifat akut dan penularannya sangat cepat pada sapi, kerbau, babi, kambing, domba dan hewan berkuku genap lainnya, walaupun tingkat mortalitasnya rendah. PMK disebut juga sebagai air borne disease karena sangat kecilnya virus ini mampu menyebar cepat dengan bantuan angin sampai ratusan kilometer.

Belajar dari Kasus Outbreak PMK di Inggris (2001), ternyata hanya dalam waktu 14 hari saja seluruh wilayah Inggris Raya sudah terinfeksi. Penyakit ini telah memorakporandakan perekonomian negeri itu, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Prism (2002) bahwa PMK berdampak terhadap kegiatan usaha ternak (71%), bisnis hotel dan restoran (52%), sektor pertanian  (58 %), perdagangan (47%), Industri manufaktur (42 %), transportasi (42 %), Jasa dan pelayanan (55%), Bisnis finansial (23%) dan Konstruksi (49%).

Kerugian ekonomi bagi kegiatan usaha peternak terutama disebabkan, Kehilangan produktivitas karena Penurunan produksi susu (25% per tahun), Penurunan tingkat pertumbuhan sapi potong (10-20%), Kehilangan tenaga kerja (60-70%), Penurunan fertilitas (10%) dan perlambatan kebuntingan, Kematian anak (20-40%), dan Pemusnahan ternak yang terinfeksi secara kronis.

Menurut analisis Naipospos (2012) bahwa perkiraan kerugian ekonomi akibat berjangkitnya PMK di Indonesia sekitar Rp. 9,6 Trilyun, sedangkan menurut Sofjan Sudardjat (2015) sekitar Rp. 15,5 Trilyun. Jika koefisien teknis analisisnya dikonversi pada data saat ini, kerugian ekonominya mungkin tidak kurang dari Rp. 20 trilyun. Hal ini belum dihitung besarnya biaya pengendalian, dampak sektor primer, dampak sektor pengolahan, dampak yang terkait dengan turisme dan non-pertanian, serta dampak hilangnya peluang perdagangan dan akan terjadi keterperangkapan pangan daging sapi nasional.

Selain kerugian ekonomi yang terjadi tersebut, kerugian sosial pun cukup memprihatinkan. Kini di sentra wabah di Jawa Timur, telah beredar isu (via medsos) bahwa masyarakat jangan memakan daging dan susu sapi karena diduga akan tertular. Dampak selanjutnya dimungkinkan akan terjadi stunting yang yang meningkat.

Berkaitan dengan outbreak PMK yang terjadi di Jawa Timur pada awal bulan Mei 2022 ini, pupuslah sudah harapan Indonesia untuk meraih swasembada daging sapi 2026 dan menjadi lumbung ternak asia 2045. Pasalnya berdasarkan analisis tersebut di atas dan pengalaman yang terjadi untuk terbebas dari PMK membutuhkan waktu yang panjang (100 tahun).

Sesungguhnya seluruh analisis prediksi dampak kerugian yang akan terjadi tersebut, jauh-jauh hari sudah diingatkan oleh para tokoh senior peternakan dan asosiasi peternak rakyat pada saat proses perubahan UU PKH No. 6/1967 menjadi UU No. 18/2009. Konsep dasar mengenai maksimum sekuriti (country based) perlindungan terhadap kemungkinan masuknya penyakit hewan ke negeri ini, yang diubah menjadi wilayah (zona based). Silang pendapat ini berakhir di sidang MK yang ditetapkan dalam surat keputusan Nomor 137/PUU-VII/2009 bahwa pemasukan ternak dan produk ternak tetap menganut basis Negara (country based) bukan wilayah (zona).

Namun pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR mengubah kembali UU No. 18/2009 yang mencantumkan lagi frasa Zona Based menggantikan Coutry Based, atas masuknya produk ternak. Pada kasus yang kedua, dilakukan gugatan kembali ke MK. Kesimpulan gugatan melalui keputusan MK No. 129/PUU-XIII/2015 bahwa frasa import ternak dan produk ternak boleh dilakukan dari Negara yang berbasis zona.

Produk hukum inilah yang menurunkan kebijakan operasional berupa kebijakan Peraturan Pemerintah No. 4/2016, Permentan No.17/Permentan/PK.450/5/2016 dan SK Mentan No.2556/2016 yang membolehkan masuknya daging dari India.  Berdasarkan hal tersebut, lagi-lagi masyarakat peternak melakukan judicial review ke MA atas diterbitkannya PP No. 4/2016. Pasalnya, bahwa India merupakan Negara yang belum bebas PMK dan tidak memiliki Zona. Namun, lagi-lagi putusan MA no. 27/P/HUM/2018 yang tetap memberlakukan PP No.4/2014 tersebut. Sejak kebijakan ini diundangkan importasi daging sapi asal india ini menjadi legal, pada bulan Juni 2016. Kebijakan inilah sebenarnya awal dari bencana outbreak PMK di negeri ini. Pasalnya, kecerobohan longgarnya kebijakan memasukan produk ternak dari Negara yang belum bebas PMK dan tidak memiliki zona.

Kini, status Indonesia di organisasi kesehatan dunia (OIE) sudah tidak lagi sebagai Negara yang bebas PMK tanpa vaksinasi. Konsekuensinya bahwa setiap Negara yang akan melakukan perdagangan bilateral dengan Indonesia akan berpikir dua kali. Seperti halnya beberapa waktu lalu Indonesia menolak importasi komoditi pertanian/peternakan dari Negara yang tertular PMK.

Untuk mengembalikan agar negeri ini menjadi Negara yang bebas PMK, tentu memerlukan kerja keras, biaya yang tinggi dan waktu yang panjang. Langkah yang dapat ditempuh, segera melakukan eradikasi dengan dana tanggap darurat yang cukup dan vaksinasi masal serta peternak melakukan biosekuriti yang ketat. Selanjutnya, sesuai saran Jokowi perlu mengusut faktor penyebabnya agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Selain itu, diharapkan Ombudsman dapat melakukan evaluasi atas kebijakan yang ada dan pemerintah segera melakukan moratorium bagi kebijakan yang berkaitan dengan terjadinya outbreak PMK ini…semoga

*Sudah diterbitkan di Bisnis.com 17 Mei 2022

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *