Unggas merupakan komoditi ternak yang dominan dipelihara dan peningkatan populasi nya semakin berkembang seiring dengan pertambahan penduduk dan permintaan akan produk unggas berupa daging dan telur, yang merupakan pangan sumber protein bagi masyarakat dengan harga terjangkau. Selain itu, unggas mempunyai efisiensi pertumbuhan tertinggi dan produk unggas merupakan sumber pangan dengan harga protein (Rp/ gram protein) terendah dibandingkan dengan produk ternak lain, telur 140, daging broiler 150 vs daging sapi 600. Untuk mencapai produktivitas unggas yang tinggi tersebut, diperlukan pakan sebagai input produksi utama, terutama penyediaan pakan dari sumber biji-bijian dan sumber protein baik hewani maupun nabati, terutama bahan pakan utama penyusun pakan unggas : sumber energi dari bahan pakan jagung kuning dan sumber protein dari bahan bungkil kedelai, dan ketersediaan dan harga kedua bahan ini relatif bervariasi dan cenderung semakin mahal.
Dalam usaha ternak unggas, biaya pakan merupakan komponen biaya terbesar (70-75%), sehingga menentukan dari harga pokok produksi dan keuntungan usaha peternakan, dengan melakukan upaya efisiensi pakan melalui penurunan harga pakan atau menurunkan nilai FCR/Feed Conversion Ratio) akan berdampak pada penurunan biaya dan peningkatan keuntungan. Harga bahan pakan dan pakan jadi baik untuk broiler maupun layer cenderung meningkat, sehingga biaya produksi juga semakin meningkat. Perlu ada upaya melalukan efisiensi pakan, salah satu nya dengan menggunakan pakan alternatif.
Bahan Pakan Sumber Energi
Penggunaan Jagung kuning sebagai pakan sumber energi utama unggas mencapai rata-rata 45 – 55% dalam pakan, sehingga ketersediaan dan harga jagung sangat mempengaruhi harga pakan jadi. Dalam 5 tahun terakhir, ketersediaan jagung semakin meningkat dan import semakin menurun dan berdasarkan data GPMT (2019), impor jagung kuning di indonesia sudah rendah hanya sekitar 5%. Menurunnya nilai impor jagung untuk pakan ini disebabkan ada upaya peningkatan produksi jagung baik secara ekstensif melalui perluasan area penanaman jagung, maupun secara intensif melalui perbaikan produktivitas jagung/ha dengan intensifikasi. Akan tetapi menurunnya impor jagung ini, diikuti dengan menurunnya penggunaan jagung dalam pakan dan meningkatnya penggunaan gandum, sehingga disini terjadi substitusi jagung kuning dengan gandum yang nota bene merupakan produk impor. Data BPS mengindikasikan adanya hubungan antara impor 2 komoditi jagung dan gandum, yang memang diperlukan untuk keperluan industri mie instan dan roti, tetapi juga digunakan sebagai bahan pakan. Impor jagung tahun 2017 sekitar 520.000 ton dan impor gandum mencapai 11,43 juta ton. 2018 impor jagung 740.000 ton dan gandum sebesar 10,10 juta ton. Kemudian tahun 2019 impor gandum 10,69 juta ton, namun impor jagung melonjak menjadi 1,58 juta ton. Kementrian Pertanian tampaknya mempertimbangkan tiga aspek ketahanan pangan yang di prioritaskan : ketersediaan, keterjangkauan harga dan kesinambungan pasokan.
Berdasarkan kualitas nutrisi jagung sebagai pakan sumber energi, agak sulit mencari alternatif bahan lain yang bisa menggantikan jagung kuning khususnya karena pertimbangan : 1) Kadar energi metabolis jagung kuning mencapai 3200 kkal/kg, relatif lebih tinggi dibandingkan dengan bahan sumber energi lain (gandum 3000 kkal/kg, menir 2800 kkal/kg, dedak halus 2500 kkal/kg) atau pun tepung singkong atau sagu dengan energi yang masih lebih rendah. Sehingga proporsi substirusi yang sama membutuhkan penggunaan minyak untuk menutupi kekurangan energi metabolisme nya; 2) Kadar energi jagung relatif rendah sehingga mempunyai densitas energi dan nutrisi lain yang lebih tinggi dibandingkan bahan pakan sumber energi yg lain; 3) Kadar β karoten pada jagung kuning merupakan sumber pigmen yang diperlukan untuk menghasilkan karkas dan kuning telur yang berkualitas, pada bahan pakan lain relatif tidak ada; dan 4) Harga relatif jagung paling rendah dibandingkan dengan sumber energi lain, dengan harga riil yang rendah dan kadar energi metabolis tinggi.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, jagung kuning sebagai pakan sumber energi belum bisa digantikan secara keseluruhan, dan substitusi nya hanya dapat dilakukan secara partial dalam jumlah tertentu, tanpa mengganggu performa dari ternak. Hasil beberapa penelitian menyarankan substitusi jagung bisa dilakukan pada taraf 25 – 30% saja, sehingga paling tidak dapat mengurangi volume penggunaan jagung (mengurangi impor) dan menurunkan biaya pakan sekitar 5 %. Penggunaan bahan -bahan limbah produk pertanian, untuk tujuan substitusi jagung berdasarkan hasil hasil penelitian yang dilaporkan juga relatifrendah dan ketersediaan dan kontinuitas nya kurang banyak.
Ada potensi bungkil inti sawit/BIS (palm kernel meal) yang banyak banyak diproduksi di Indonesia khususnya di pulau Sumatera dan Kalimantan, yang prospektif sebagai pengganti sebagian jagung kuning dalam pakan unggas. Hasil penelitian di Universitas Brawijaya (kolaborasi dengan PT. Wilmar Indonesia) menunjukkan bahwa BIS dapat digunakan menggantikan jagung kuning pada pakan broiler dan layer sampai pada level penggantian sebesar 30% dengan melakukan perlakuan enzimatis untuk merombak komponen mannan (tidak tercerna oleh unggas), penambahan minyak sawit 2-3% dan diberikan pakan bentuk crumble/pellet. Potensi BIS ini juga baik karena mempunyai kadar protein kasar 16% meskipun ada kendala SK yang tinggi (15%). invensi lain dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ayam petelur cenderung lebih acceptable dan adaftif terhadap serat BIS yang agak tinggi dibandingkan dengan broiler, sehingga lebih prospektif diberikan sebagai bahan pakan layer. Indonesia dengan produksi BIS mencapai 6 juta ton/ha, merupakan potensi bahan pakan yang besar dapat dimanfaatkan untuk unggas dengan menerapkan proses enzimatis dan diberikan dalam bentuk pellet/crumble.
Corn estate merupakan solusi untuk penyediaan jagung dalam jangka panjang. Corn estate merupakan penanaman jagung pada area khusus (misalnya area hutan yang sedang bera/setelah tanaman utama ditebang) yang dimiliki oleh pemerintah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dan ketersediaan bahan pakan. Program corn estate ini sudah dilakukan oleh Brazil dengan menanam jagung pada sebagian kecil are hutan amazon, dan Indonesia dengan luas hutan yang cukup besar dapat membuat corn estate ini pada sebagian area hutan. Luasan corn estate ini dapat menyesuaikan dengan defisiensi jumlah jagung yang dibutuhkan per tahun atau per periode tertentu. Dengan asumsi produksi jagung 6 ton/ha, maka untuk memenuhi kebutuhan 3 juta ton, diperlukan area seluas 500 ribu Ha khusus untuk corn estate ini. Hal ini memerlukan kemauan dan dukungan dari pemerintah pusat (Kementrian Pertanian), daerah (Dinas Pertanian) dan juga stake holder semua fihak yang terkait dengan kebutuhan jagung ini khususnya sebagai bahan pakan sumber energi.
Bahan Pakan Sumber Protein
Bahan pakan sumber protein mempunyai harga yang relatif lebih mahal dibandingkan dengan bahan pakan sumber energi. Bahan pakan yang dominan digunakan dalam pakan unggas adalah bungkil kedelai dengan kualitas protein yang sangat baik untuk unggas. Bungkil kedelai merupakan hasil ikutan dari ekstraksi minyak kedelai. Hampir 90 – 95% dari kebutuhan bungkil kedelai berasal dari impor, karena luasan penanaman kedelai yang relatif sedikit dan prioritas penggunaan kedelai untuk industri pangan produksi tahu dan tempe.
Penggunaan bungkil kedelai pada pakan berkisar antara 23 – 30% dari total pakan, sehingga jumlah kebutuhan bungkil kedelai (BKK) untuk keperluan pakan unggas di indonesia mencapai sekitar 5 juta ton/tahun (asumsi produksi pakan unggas 20 juta ton/tahun). hampir semua dari kebutuhan BKK untuk pakan unggas berasal dari impor, sehingga menyebabkan harga pakan relatif sulit untuk diturunkan.
Alternatif solusi dari masalah ini adalah perlu di lakukan program food estate dengan perluasan penanaman kedelai untuk mengurangi ketergantungan impor dan sekaligus juga akan menjamin stabilitas produksi dan harga BKK di dalam negeri. Food estate ini bisa dilakukan dengan membuka lahan-lahan yang bisa dimanfaatkan untuk penanaman kedelai, dan dengan harga kedelai yang relatif tinggi akan menjadi stimulus untuk petani menanam kedelai.
Alternatif bahan pakan lokal pengganti BKK, bisa berasal dari bungkil jenis tanaman yang lain seperti bungkil kacang tanah, bungkil kelapa, dll dengan beberapa modifikasi untuk menutupi kekurangan asam amino lysin dan methionin. Memang agak sulit mencari yang kualitasnya setara, meskipun ada beberapa bahan yang potensi secara nutrisi tetapi jumlah dan kontinuitas ketersediaan nya sulit terjamin. Penggantian BKK dengan sumber protein lain menunjukkan hasil yang lebih rendah dan mengganggu performa ternak. Penggunaan daun leguminosa sebagai sumber protein pakan unggas, hanya dapat digunakan maksimal 5 – 10%, karena kendala serat kasar yang tinggi.
Alternatif sumber protein lain yang potensi nya sustainable di masa depan adalah algae dan serangga. Alga merupakan jenis protista yang menyerupai tumbuhan karena mampu memperoleh makanan nya dengan cara menproduksi sendiri (autotrof) dengan cara berfoto sintesis seperti tumbuhan lain, tetapi tidak mempunyai akar, batang dan daun. Alga memiliki klorofil, namun juga memiliki pigmen warna untuk membantu proses fotosintesis. Berdasarkan warna pigmennya, alga dibagi menjadi alga hijau, coklat, merah, dan keemasan. Studi di Belgia menunjukkan bahwa residu alga prospektif digunakan sebagai bahan pakan unggas, dengan kadar protein yang tinggi dan asam amino yang relatif seimbang, akan berpengaruh baik pada komposisi asam lemak dan asam amino serta warna dari kuning telur. Kadar serat lkasar dan kecernaan residu alga yang perlu ditingkatkan melalui treatment fisik, kimia atau biologis. Algae juga punya potensi efek sebagai anti bakteri , antiviral dan anti oksidan. Beberpa algae juga kaya akan asam lemak rantai panjang omega 3 dan mengandung pigmen klorofil dan karoneoid yang dapat memperbaiki indeks warna kuning telur dan kulit karkas.
Protein dari serangga juga merupakan alternatif sumber protein. Dengan kandungan PK mencapai 60% dengan profil asam amino yang baik, tepung serangga berpotensi dimanfaatkan sebagai bahan pakan unggas. Serangga mempunyai laju konversi yang tinggi : membutuhkan pakan 5 kali dan minum 10x lebih rendah dibandingkan ternak sapi misalnya untuk menghasilkan jumlah protein yang sama. Tepung serangga ini sudah mulai dikembangkan dan diteliti di negara Eropa dan dinilai sebagai sumber protein alternatif yang potensial untuk dikembangkan. Beberapa jenis serangga yang berpotensi dikembangkan adalah Maggot (Black Soldier flyes), jangkrik, lebah, dan belalang. Beberapa catatan terkait dengan tepung serangga ini adalah tentang keamanan pangan dan penerimaan konsumen terhadap penggunaan tepung serangga sebagai pakan.
Studi dan penelitian tentang pakan alternatif yang dapat tersedia secara ekonomis, sustainable dan aman untuk digunakan sebagai bahan pakan, perlu terus diupayakan untuk menjaga kelangsungan produksi ternak secara efisien, menghasilkan produk ternak yang aman dan sehat, serta dan tidak menimbulkan masalah terhadap lingkungan.
Selain itu, jagung memiliki asam amino methionin dan Beta_caroten yg sgt diperlukan dlm kebutuhan nutrisi pd ayam. Demikian juga bungkil kedelai sbg sumber asam amino lysin. Kedua asam amino tsb sgt esensial dlm metabolisme energi dan metabolisme secara enzimatis pd tubuh ayam. Apalagi tuk ayam broiler yg rata-rara dipanen pd umur lebih kurang 28 hari.Salah satu pakan alternatif yaitu tepung daun Indigofera dgn kandungan protein sekitar 23 -27%, tetapi untuk ayam terkendala dgn kandugan serat kasar yg tinggi. So saya setuju untuk terus berupaya mencari pakan alternatif pengganti jagung dan bungkil kedelai sbg bahan pakan formulasi ransum ayam tsb.