Opini Umum – PB ISPI https://pb-ispi.org Pengurus Besar Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia Thu, 31 Dec 2020 10:52:57 +0000 en-US hourly 1 https://wordpress.org/?v=5.8.2 https://pb-ispi.org/wp-content/uploads/2020/06/logo-ispi_icon1-150x150.png Opini Umum – PB ISPI https://pb-ispi.org 32 32 195813402 MENGHADAPI LINGKARAN SIPUT YANG KIAN MEMBESAR (Catatan Peternakan Akhir Tahun 2020) https://pb-ispi.org/menghadapi-lingkaran-siput-yang-kian-membesar-catatan-peternakan-akhir-tahun-2020/ https://pb-ispi.org/menghadapi-lingkaran-siput-yang-kian-membesar-catatan-peternakan-akhir-tahun-2020/#respond Thu, 31 Dec 2020 10:48:41 +0000 http://pb-ispi.org/?p=1305
Bambang Suharno

Tahun 2020 ini dunia peternakan mengalami gejolak akibat pandemi covid 19. Namun melihat sektor pariwisata dan industri transportasi yang banyak mengalami PKH, industri peternakan sebagai penyedia pangan tidak mengalami gejolak yang separah industri lain.

Pada webinar nasional outlook bisnis peternakan yang diselenggarakan ASOHI (Asosiasi Obat Hewan Indonesia) November 2020 silam, para narasumber mencatat bahwa tahun 2020 ini market ayam broiler diperkirakan turun 30 % sedangkan layer diperkirakan stagnan, tidak mengalami penurunan yang berarti. Terjadinya penurunan pasar menyebabkan terjadi oversupply. Bahkan saat masuk tahun 2020 pun dimana waktu itu belum terpikir adanya pandemi Covid 19, dunia usaha sudah khawatir akan terjadinya over supply karena ekonomi global diperkirakan mengalami perlambatan.

Sementara itu jika dibandingkan dengan krisis tahun 1998, situasi tahun 2020 masih relatif “ringan” karena di era tersebut terjadi pengurasan produksi broiler hingga 70% dimana populasi waktu itu hampir mendekati 1 miliar ekor, terjadi kemerosotan hingga tinggal tersisa 300 juta ekor.

Lingkaran Siput yang Kian Membesar
Gejolak harga di pasar komoditi termasuk komoditi ayam, sepertinya sudah dianggap sebagai peristiwa biasa sehingga pemerintah kerap kali membiarkan situasi ini hingga kemudian harga mengalami koreksi secara alami. Namun gejolak perunggasan saat ini terasa jauh lebih besar dibanding gejolak yang terjadi 10-30 tahun yang lalu.

Kejadian ini sudah pernah diramalkan oleh Soehadji (Dirjen Peternakan 1986-1994) di tahun 1990an. Ia menyebut masalah gejolak harga perunggasan ini adalah masalah klasik yang berulang-ulang yang dapat digambarkan sebagai lingkaran siput . Dimulai dari harga melonjak karena kekurangan pasokan, disusul penambahan populasi oleh pelaku usaha besar maupun kecil, hingga kemudian terjadi over supply yang membuat harga jatuh. Selanjutnya dilakukan pengurangan investasi secara alami, yang kemudian menyebabkan harga naik lagi dan seterusnya berputar berulang-ulang, makin membesar, dan membesar, seperti lingkaran siput.

Bisa kita bayangkan, tahun 1990an, populasi ayam sekitar 800 juta ekor, tahun 2019 ini diperkirakan 3 miliar ekor. Gejolak akibat fluktuasi harga pastinya jauh lebih dashyat dibanding fluktuasi tahun 1990an. Apalagi jika kondisi harga jatuh berlangsung berbulan-bulan. Total kerugian yang diderita peternak dan perusahaan sarana produksi ternak mencapai puluhan triliun rupiah.

Karena peternak mandiri maupun integratror sama-sama pemain komoditi (menjual ayam hidup), maka selama ini mereka sama-sama terjebak pada commodity trap (jebakan komoditi dimana harga tergantung pada supply demand). Sudah bisa ditebak, jika harga jatuh, peternak dengan modal kecil yang umumnya tidak memiliki “cadangan devisa” ketika harga jatuh, akan mudah mengalami kebangkrutan.

Upaya Memutus Lingkaran Siput

Sesungguhnya naik turunnya permintaan ayam dapat diprediksi setiap tahun oleh para pelaku usaha dan pemerintah. Indonesia punya hari raya yang biasanya meningkatkan permintaan. Ada juga musim sepi pembeli, misalnya di kala tahun ajaran baru. Bulan tertentu dimana banyak hajatan di daerah tertentu akan terjadi peningkatan permintaan, demikian pula keramaian Pilkada bisa mendongkrak permintaan ayam dan telur.

Pada negara yang pasarnya didominasi fresh commodity, maka campur tangan pemerintah sangat diperlukan. Hal ini karena produk peternakan mudah rusak. Kecepatan distribusi dan keseimbangan supply demand menjadi faktor penting penentu harga.

Manajemen Pasokan
Campur tangan pemerintah perlu dilakukan mulai dari hulu hingga hilir. Pada bagian hulu, pemerintah perlu berperan melakukan supply management (manajemen pasokan). Di sini, pemerintah bersama stakeholder perunggasan melakukan prediksi pasar setiap tahun dan mengatur pasokan bibit per bulan agar sesuai dengan naik turunnya permintaan. Jika datanya akurat, mestinya teknologi informasi 4.0 dengan kecerdasan buatannya mampu melakukan simulasi kecenderungan permintaan di setiap daerah.

Sejak beberapa tahun ini, manajemen pasokan sudah dilakukan oleh pemerintah dengan membentuk tim analisa supply demand perunggasan yang terdiri dari para ahli independen. Memang hasilnya belum memuaskan dan harus terus diperbaiki, Soal kuota impor bibit misalnya, masih terjadi pro kontra dimana hal ini perlu dikomunikasi dan didiskusikan lebih lanjut agar manajemen model manajemen pasokan melalui perencanaan impor GPS memenuhi syarat iklim usaha yang kondusif dan berkeadilan. Atau dibuka impor dengan bebas dan ada mekanisme kontrol dengan model tertentu. Intinya menurut manajemen pasokan itu tetap diperlukan.

Hilirisasi
Supply management di hulu tidaklah selalu akurat karena faktor penentunya relatif banyak. Oleh karena itu perlu campur tangan di hilir yaitu mendorong tumbuhnya usaha pemotongan penyimpanan dan pengolahan. Sehingga hasil usaha peternak tidak lagi dijual sebagai ayam segar melainkan ayam beku, ayam olahan, ataupun inovasi produk lainnya. Cara ini akan efektif untuk mengurangi gejolak harga yang tidak wajar. Patut dicatat, dari 3 miliar ekor ayam yang diproduksi Indonesia tahun 2019, yang dijual sebagai ayam beku baru sekitar 10-20% saja. Angka ini perlu ditingkatkan untuk mengurangi terjadinya commodity trap yang terjadi selama ini.

Perusahaan menengah dan besar pada umumnya tidak tertarik dengan program hilirisasi. Oleh karena itu sangat wajar jika pemerintah melakukan dukungan terhadap program hilirisasi baik berupa campur tangan penyimpanan melalui lembaga semacam Bulog ataupun insentif untuk pengusaha yang melakukan usaha hilir (pemotongan, penyimpanan, pengolahan). Hal ini wajar karena perunggasan adalah bisnis peternakan yang paling banyak menyerap tenaga kerja, namun nyaris tak pernah mendapat dukungan APBN.

Ekspor untuk Stabilisasi

Selama ini program yang dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga adalah dengan melakukan pemangkasan telur tetas, afkir dini parent stock dan upaya pemangkasan produksi yang lain. Sementara itu mengurangi produksi dalam negeri dengan melakukan ekspor belum secara nyata dilakukan. Ada program gerakan tiga kali ekspor oleh kementan tapi fokusnya lebih ke peningkatan devisa negara, bukan stabilisasi harga. Ini berbeda dengan yang dilakukan oleh Perancis beberapa tahun lalu, tatkala oversuply produksi susu sapi akibat embargo ke Rusia, pemerintah setempat membeli susu milik peternak dan melakukan ekspor ke negara berkembang, baik sebagai bantuan kemanusian maupun aktivitas lainnya.

Sementara itu, pemerintah juga perlu memanfaatkan dana APBN untuk kampanye konsumsi ayam dan telur. Masih ada ruang untuk meningkatkan konsumsi ayam dan telur sebesar 2 kali lipat dari sekarang, karena kita melihat konsumsi rokok masyarakat Indonesia sangat tinggi, sekitar 4.000 batang rokok per orang per tahun, sementara konsumsi ayam hanya 13 kg/kapita/tahun dan konsumsi telur hanya 150 butir/kapita/tahun. Jika konsumsi naik 2 kali lipat saja, bisnis perunggasan akan menciptakan jutaan tenaga kerja baru sekaligus usaha perunggasan akan semakin bergairah.

Tahun 2011 lalu Menteri Pertanian Suswono mencanangkan Hari Ayam dan Telur Nasional (HATN) yang diinisiasi oleh 14 asosiasi perunggasan. Pencanangan ini sebagai upaya untuk mempercepat peningkatkan konsumsi ayam dan telur. Sayangnya, kegiatan kampanye ayam dan telur ini dijalankan sendiri oleh para peternak dan asosiasi perunggasan. Belum ada dukungan nyata dari pemerintah untuk mendongkrak konsumsi ayam dan telur agar tidak terpaut jauh dengan konsumsi negara tetangga. Padahal Kementerian Perikanan dan Kelautan memiliki program gemar makan ikan (Gemarikan), dengan tim yang lengkap dari pemerintah pusat hingga daerah, sehingga konsumsi ikan secara nyata mengalami pertumbuhan lebih cepat dibanding konsumsi ayam dan telur.

Ancaman Daging Ayam Brazil dan Daging Buatan
Tahun 2021 perunggasan diperkirakan akan masih akan mengalami gejolak. Para ahli memperkirakan jika pengendalian Covid 19 bisa dilakukan lebih baik melalui upaya vaksinasi dan yang lainnya, diperkirakan market unggas mengalami pertumbuhan. GPMT dan ASOHI memperkirakan pasar peternakan akan dapat naik sekitar 5% .

Namun di perunggasan sendiri ada ancaman yang dapat membuat gejolak lingkaran siput menjadi lebih besar, yakni masuknya ancama daging ayam Brasil sebagai konsekuensi kemenangan Brasil atas Indonesia di sidang WTO. Dengan adanya pandemi, para ibu rumah tangga semakin terbiasa membeli daging beku dan paham cara menanganinya. hal ini berarti jika daging ayam beku asal Brasil masuk dengan harga lebih murah dan dipercaya halal, maka publik akan menerima kehadiran daging ayam beku. hal ini akan mengurangi pasar peternak dalam negeri.

Tantangan lain adalah isu daging buatan. Baru-baru ini Singapura mengizinkan daging buatan laboratorium. Apakah ini akan menjadi ancaman bagi peternakan? Diperkirakan Indonesia tidak akan mudah menerima daging jenis ini karena harus melalui kajian ilmiah dan kajian agama. Namun para pakar di ISPI dan organisasi terkait perlu menyikapi sedari dini agar tidak menjadi ancaman besar bagi dunia usaha peternakan.

Selamat Menyambut Tahun Baru 2021 .

Jakarta, 31 Desember 2020
Penulis: Bambang Suharno, Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Pengamat Peternakan

]]>
https://pb-ispi.org/menghadapi-lingkaran-siput-yang-kian-membesar-catatan-peternakan-akhir-tahun-2020/feed/ 0 1305
PC ISPI KEPRI, KONEKTIVITAS SARJANA PETERNAKAN NEGERI SEGANTANG LADA https://pb-ispi.org/pc-ispi-kepri-konektivitas-sarjana-peternakan-negeri-segantang-lada/ https://pb-ispi.org/pc-ispi-kepri-konektivitas-sarjana-peternakan-negeri-segantang-lada/#respond Mon, 21 Dec 2020 03:35:48 +0000 http://pb-ispi.org/?p=1269

Oleh: Dwi Supianti SPt (Wakil Ketua PC ISPI Kepulauan Riau)

Kepulauan Riau negeri segantang lada di Semenanjung Malaka berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di sebelah utara, Malaysia dan Provinsi Kalimantan Barat di sebelah timur, provinsi Bangka Belitung dan Jambi di selatan, Singapura, Malaysia dan provinsi Riau di selah barat. Ibukota provinsi berkedudukan di Tanjungpinang terdiri dari 5 kabupaten yaitu Anambas, Bintan, Karimun, Lingga dan Anambas serta 2 Kota yaitu Batam dan Tanjungpinang. Provinsi ini terbentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 dengan luas wilayah 251.810,71 dengan 96 persen adalah perairan dengan 1.350 pulau besar dengan jumlah penduduk 2.082.694 jiwa dan kepadatan 253,93 jiwa/km2. Kondisi geografis provinsi Kepulauan Riau menempatkan provinsi ini dijalur lalu lintas transportasi laut dan udara yang strategis dan terpadat tingkat internasional serta pada bibir pasar dunia yang memiliki peluang pasar besar.

Kondisi geografis kepulauan menempatkan Sarjana Peternakan alumni dari beragam Universitas dan daerah asal tersebar diseluruh wilayah Kepri dan terpisah lautan di berbagai lini sektor. Dilatarbelakangi dari keinginan untuk kontribusi nyata dalam pengabdian ilmu profesi, Sarjana Peternakan di wilayah Kepri tergabung dalam Pimpinan Cabang ISPI Kepulauan Riau yang digawangi oleh ibu Ir. Sri Yusneli alumni UNAND yang saat ini mengabdi di Pemko Batam yang rencananya akan dikukuhkan pada tanggal 5 Januari 2021 di Sekretariat PC ISPI Kepri Kantor Bidang Peternakan Keswan dan Kesmavet Dinas Ketahanan Pangan Pertanian dan Kesehatan Hewan Provinsi Kepri Jl. Toapaya Asri KM. 25 Kabupaten Bintan.

Butuh perjuangan yang cukup panjang untuk dapat menyatukan rekan-rekan Sarjana Peternakan di wilayah Kepri. Masih awamnya maksud dan tujuan organisasi dan tersebarnya S.Pt di seluruh wilayah sedikit menyulitkan dalam identifikasi dan invetarisasi awal. Berkat dukungan penuh dari Pengurus Besar dan kerja keras seluruh inisiator formatur akhirnya PC ISPI terbentuk yang diawali dari pembentukan Group WA Inisiator ISPI Kepri, Sosialisasi Pengurus Besar, Pembentukan Tim Formatur dan Pembentukan PC ISPI Kepri. Berdasarkan hasil pendataan sebanyak 78 Sarjana Peternakan diberagam lini sektor telah tergabung dalam wadah ISPI Cabang Kepulauan Riau. Beragamnya sektor yang digeluti menunjukan bahwa Sarjana Peternakan dapat berkiprah disegala bidang. untuk dapat berkontribusi dalam pembangunan peternakan. Karakteristik kepulauan memberi tantangan dalam komunikasi dan ISPI hadir sebagai konektivitas Sarjana Peternakan untuk menyambungkan simpul-simpul dan terhubung menjadi jembatan untuk silaturahmi, saling bertukar informasi, berdiskusi terkait isu strategis peternakan maupun aksi nyata kontribusi ilmu profesi bagi kemajuan peternakan di wilayah Kepri.

Potensi wilayah Kepri untuk pengembangan subsector peternakan mempunyai peluang besar untuk dikembangkan. Kebutuhan pangan asal ternak untuk memenuhi kecukupan protein hewani asal ternak sangat tergantung dari luar daerah. Pasokan barang sangat dipengaruhi oleh kondisi alam dan jarak yang berdampak pada kestabilan pasokan dan fluktuasi harga pangan asal ternak Data Susenas BPS tahun 2019 kebutuhan protein di Provinsi Kepri adalah 65,83 gram/kapita/hari, dengan jumlah penduduk 2.082.694 jiwa kebutuhan protein sebesar 137.103.75 ton/hari. Sementara produksi daging menurut data BPS Kepri tahun 2019 sebesar 22.053,73 ton dan telur sebesar 5.381,05 ton. Ketimpangan yang cukup significant antara kebutuhan dan kemampuan daerah dalam produksi, hal ini merupakan peluang pasar yang besar untuk pengembangan peternakan dan tantangan bagi ISPI untuk mencari formula yang tepat dalam penyediaan dan kecukupan pangan asal hewan yang berkualitas di wilayah kepulauan.

Pilar peyokong ISPI di Provinsi Kepri sebagian besar masih disokong dari unsur Pemerintahan dan Swasta, unsur dari akademisi belum terwakili penuh karena di Kepri belum ada Perguruan Tinggi Fakultas Peternakan. Dan ISPI mempunyai tanggungjawab untuk dapat memberi pertimbangan kajian mewujudkan pilar akademisi melihat potensi pengembangan peternakan sangat besar di wilayah ini. Sesuai dengan harapan besar dari salah satu anggota pengawas ISPI Kepri Bpk. Selamet.S, S.Pt salah satu putra daerah yang pernah menjabat anggota DPRD Kabupaten Bintan dan saat ini aktif di BUMD Kabupaten Bintan adalah terwujudnya fakultas peternakan di wilayah Provinsi Kepri dan dapat mencetak Sarjana Peternakan putra daerah untuk menjadikan Peternakan sebagai tuan rumah di negeri Segantang Lada dan mewujudkan swasembada protein hewani mendukung pembangunan SDM berkualitas dan pastinya tiga pilar ISPI dapat terpenuhi yaitu unsur pemerintah, swasta dan akademisi.

Sumber foto: Dwi Supianti SPt

]]>
https://pb-ispi.org/pc-ispi-kepri-konektivitas-sarjana-peternakan-negeri-segantang-lada/feed/ 0 1269
SELAYANG PANDANG ISPI CABANG LAMPUNG “KITA ADALAH ISPI, DAN ISPI ADALAH KITA” https://pb-ispi.org/selayang-pandang-ispi-cabang-lampung/ https://pb-ispi.org/selayang-pandang-ispi-cabang-lampung/#comments Mon, 07 Dec 2020 01:16:33 +0000 http://pb-ispi.org/?p=1200

Jelang Musyawarah Cabang (Muscab) yang dilakukan oleh Kepengurusan ISPI Cabang Lampung periode 2016-2020 yang direncanakan pada Sabtu, 19 Desember 2020 secara off line dan on line zoom meeting, maka saya menyajikan tulisan tentang “Selayang Pandang ISPI Cabang Lampung.

SYAHRIO TANTALO (Dosen Peternakan Faperta Universitas Lampung, Sekretaris Dewan Penasihat ISPI Cab. Lampung Periode 2016-2020)

ISPI Cabang Lampung merupakan wadah organisasi profesi bagi sarjana peternakan yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung. ISPI Cabang Lampung sudah berkiprah cukup lama yaitu sejak tahun 1980, Pada saat itu diketuai oleh Ir. Luhut Hutasoit (1980 – 1984), kemudian periode berikutnya berturut turut dipimpin oleh Ir. Dasuki Kholil (1984 – 1992), selanjutnya Ir. Imat Ruhimat (1992 – 2004) dan Ir. Didik Purwanto (2004 – 2008); serta Ir. Didik Purwanto (2008-2016). Dinamika organisasi profesi ISPI Cabang Lampung ini dengan jumlah sarjana peternakan yang berdomisili di wilayah Lampung yang relatif banyak ini cukup unik. Jika kita cermati masa kepengurusan ISPI Cabang Lampung ini tidak beraturan, bahkan pernah vakum bahkan mati suri dalam kepengurusannya, sehingga lama masa kepengurusan tersebut ada mencapai 12 tahun.

Pada tahun 2016, seiring dengan dinamika yang cukup menggeliat program/kegiatan yang dilakukan oleh PB ISPI yang dipimpin Bapak Prof. Dr. Ir. Ali Agus, M.Sc., maka ISPI Cabang pun tersentak untuk melakukan Musyawarah Cabang (Muscab) untuk pergantian kepengurusan tersebut. Dengan semakin banyaknya jumlah Sarjana Peternakan (S.Pt) yang berdomisili di Lampung dan semangat muda yang bergelora, maka dilakukan Muscab yang sangat demokrasi di Aula Fakultas Pertanian Universitas Lampung dengan sistem pemilihan one man one vote. Hasil Muscab tersebut memberikan mandat kepengurusan ISPI Cabang Lampung dipimpin oleh ISPI muda Lampung yaitu Bpk. Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., M.M. sebagai Ketua periode tahun 2016 – 2020.

Terkait kiprah saya dalam organisasi profesi ini, seingat saya, sejak (tahun 1986) dengan diterimanya sebagai Dosen Jurusan Peternakan Fakultas Pertanian Unila. Saya mulai ikut gabung dengan ISPI LAMPUNG pada saat ISPI LAMPUNG dipimpin oleh oleh Bpk Dasuki Kholil (1984 – 1992) sebagai simpatisan. Kemudian pada masa kepemimpinan Bpk. Imat Ruchimat (Almarhum) pada sekitar tahun 1990 an, saya sudah tercatat sebagai bagian dari kepengurusan pada Bidang Pengabdian Masyarakat. Pada kepemimpinan kepengurusan ISPI Cabang Lampung yang sebagai Ketua yaitu Bpk. Ir. Didik Purwanto (2008 – 2016), saya tercatat sebagai Ketua I Bidang Pengembangan Organisasi. Dinamika Muscab pada saat itu bertempat di Hotel Marcopolo Bandar Lampung dilakukan secara musyawarah mufakat dengan tiga calon Ketua Umum yaitu Didik Purwanto, Syahrio Tantalo, Agus Wahyudi. Hasil mufakat tersebut akhirnya tersusun Struktur Kepengurusan ISPI Cab. Lampung periode 2008 – 2016 tersebut yang ditetapkan, sebagai berikut :

  1. Pembina : Ir. Darmadji MGDP, Ir. Imat Ruhimat, Ir. Ahmad Junaidi Auli, MM
  2. Ketua Umum : Ir. Didiek Purwanto
  3. Ketua I Bid. pengembangan organisasi : Ir. Syahrio Tantalo, MS
  4. Ketua II Bidang pengabdian masyarakat : Ir. Ucu Samsuri Abdurahman
  5. Ketua III Bidang pengembangan Iptek : Dr.Ir. Didik Rudiono
  6. Sekretaris Umum : Ir. Agus Wahyudi
  7. Wakil Sekretaris : Dzikro, SPt
  8. Bendahara Umum : Ir. Dessy Romas, MM
  9. Wakil Bendahara : Ir. Yeni Sulistyani
  10. Kompartemen (Anggota) :
    Organisasi :
    a. Ir. Pius Wardoyo
    b. Ichwan Adji Wibowo, SPt
    c. Ir. Gunawan Hadi Prabowo
    Pengabdian Masyarakat :
    a. Ir. Santoso Adhi
    b. Ir. Nasrizal Jalinus
    c. Dr. Ir. Muhtarudin
    Pengembangan Iptek :
    a. Dr. Ir. Erwanto, MS
    b. Ir. Ikbal Pujananto
    c. Windu Indrayani, SPt.

Selanjutnya, pada kepengurusan ISPI Cabang Lampung periode tahun 2016-2020 yang diketuai Bpk. Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., M.M., maka saya diminta oleh pengurus sebagai Sekretaris Dewan Penasihat. Slogan “KITA ADALAH ISPI, DAN ISPI ADALAH KITA”, merupakan slogan yang dilontarkan oleh Bpk. Bpk. Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., M.M., yang selalu kami tebarkan dan gaungkan dalam setiap pertemuan anggota ISPI Cabang Lampung pada periode 2016 – 2020. Slogan tersebut bermakna bahwa maju mundur nya ISPI adalah sangat tergantung dari kiprah sarjana peternakan itu sendiri dalam organisasi profesi yang kita namakan IKATAN SARJANA PETERNAKAN INDONESIA (ISPI).

Waktu terus berjalan dan berlalu tanpa dapat kembali lagi. Oleh sebab itu, mencermati jumlah Sarjana Peternakan yang berdomisili di wilayah Provinsi Lampung yang terus bertambah, potensi Lampung sebagai wilayah agribisnis peternakan, serta problematika kekinian dari bidang peternakan, maka ide/pemikiran dari Sarjana Peternakan melalui wadah organisasi profesi peternakan (ISPI Cabang Lampung) sangat dibutuhkan untuk dapat berkiprah dalam proses pembangunan peternakan di Provinsi Lampung dan di tingkat nasional.

Sebagai informasi tambahan yang saya peroleh dari opini umum pada www.pb-ispi.org. “Catatan Perjalanan ISPI : Dinamika Kongres, Pergantian Antar Waktu Demi Lancarnya Organisasi”; yang ditulis oleh Bambang Suharno, Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Penulis Buku Catatan Perjalanan 40 tahun ISPI. “Jika pada acara Diskusi Sejarah ISPI yang dilakukan ISPI PC Bogor 20 Juni 2020, diketahui pada tahun 1968 adalah awal dimulainya sejarah Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Erwin Soetirto dalam buku Catatan Perjalanan 40 Tahun ISPI, mengatakan, waktu itu sebanyak 7 (tujuh) orang sarjana peternakan angkatan pertama IPB, berkumpul untuk mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Ketujuh orang tersebut adalah Ir. Erwin Soetirto, Ir. Djarsanto, Ir. Rachmat Hidayat, Ir. Jan Leswara, Ir. Ignatius Kismono, Ir. Koeswardhono Mukdidjo, Ir. Yayan Suchriyan S. Selanjutnya, Ignatius Kismono, menyatakan tujuh pendiri ini kemudian menyelenggarakan Kongres ISPI pertama pada 20 Agustus 1968 di Ciawi Bogor, dan kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir ISPI.

ISPI sudah mencapai usia 52 Tahun pada tahun 2020 ini. Usia 52 tahun tersebut merupakan usia yang dewasa dengan memiliki tingkat kematangan dalam berpikir dan bertindak. ISPI merupakan organisasi profesi yang mewadahi seluruh Sarjana Peternakan dalam menjadi mitra bagi Pemerintah dalam membangun Peternakan Indonesia. ISPI berfungsi sebagai wadah dan bentuk kerjasama para Sarjana Peternakan di Indonesia yang bertujuan untuk memajukan, mengembangkan dan mengamalkan ilmunya dalam pembangunan nasional, khususnya pembangunan peternakan.

Tulisan Selayang Pandang Tentang ISPI Cabang Lampung ini, saya tulis untuk mendukung pelaksanaan Muscab ISPI Cabang Lampung yang akan dilaksanakan secara off line dan on line (zoom meeting) pada Sabtu, 19 Desember 2020 di Bandar Lampung. Secara pribadi dan atas nama Dewan Penasihat ISPI Lampung periode 2016-2020, kami ucapkan salut dan apresiasi terhadap gelaran Muscab tersebut yang dilakukan oleh kepengurusan ISPI Cabang Lampung periode 2016-2020 yang diketuai oleh Bpk. Ichwan Adji Wibowo, S.Pt., M.M yang dilakukan pada akhir tahun 2020 ini.

Saya sangat berharap untuk partisipasi dan kontribusi yang saling menguatkan untuk kelancaran dan kesuksesan pelaksanaan Muscab tersebut. Dengan doa dan harapan, semoga ISPI Cabang Lampung dapat menghasilkan keputusan-keputusan termasuk terpilihnya Ketua ISPI Cabang Lampung periode tahun 2020 – 2024 yang berkomitmen untuk dapat menggairahkan dinamika organisasi profesi sarjana peternakan tersebut. Saya menghimbau, mari kita saling bergandeng tangan dalam mewujudkan kiprah kita semua sebagai Sarjana Peternakan baik super senior, senior, dan yunior serta sarjana peternakan melinial dengan moto : “KITA ADALAH ISPI, DAN ISPI ADALAH KITA”

VIVA PETERNAKAN….TABIK PUN

]]>
https://pb-ispi.org/selayang-pandang-ispi-cabang-lampung/feed/ 1 1200
Nasib Ternak Kita di Pengungsian (Resiko Hidup di Negeri Cincin Api) https://pb-ispi.org/resiko-hidup-di-negara-cincin-api-nasib-ternak-kita-di-pengungsian/ https://pb-ispi.org/resiko-hidup-di-negara-cincin-api-nasib-ternak-kita-di-pengungsian/#respond Fri, 20 Nov 2020 01:05:44 +0000 http://pb-ispi.org/?p=1122

Oleh : M. Chairul Arifin

Menyambung kegiatan ISPI Peduli Merapi yang beritanya dimuat di website ini tanggal 19 November 2020, redaksi kali ini menurunkan artika Opini dari M Chairul Arifin. Semoga dapat menjadi bahan kajian dan pemikiran lebih lanjut dari semua pihak terkait mengenai penanganan ternak di pengungsian yang lebih baik di masa depan. (Redaksi)

Hidup di negara cincin api memang harus ekstra waspada. Bencana alam misal gunung meletus, tanah longsor dan banjir, perubahan iklim yg ekstrem yang mengakibatkan bahaya hidrometeorologis angin puting beliung dan ombak tinggi lautan dapat menjadi ancaman yang sewaktu waktu dapat terjadi di tanah air. Sehingga kewaspadaan atas bencana di daratan, lautan dan angkasa menjadi keseharian kita bersama, akrab menjadi bagian hidup kita.

Ternak yang merupakan dari ekosistem biotis kita tidak akan lepas pula dari berbagai bencana tersebut. Ia membutuhkan juga tindakan evacuasi seperti manusia yg harus diselamatkan pula, karena sesama mahluk hidup yg hidup bersama, berdampingan dengan manusia. Fungsi ternak selain dimanfaatkan produknya seperti daging, telur dan susu serta limbahnya juga dapat berfungsi sebagai tabungan hidup bagi masyarakat agraris Indonesia. Sebagai rojo Pati dan rojo koyo sehingga berfungsi ganda.

Pada kejadian bencana gunung meletus yg sebelumnya didahului dengan evakuasi warga, seringkali ternak menjadi terabaikan dan kadang kala menjadi prioritas terakhir untuk evakuasinya, karena untuk ternak membutuhkan tempat khusus tersendiri. Ternak ini membutuhkan shelter yang aman, membutuhkan pakan hijauan dan konsentrat setiap harinya dan perlu perawatan kesehatan hewan agar tidak sakit atau tindakan jaga-jaga agar justru tidak menimbulkan wabah penyakit hewan.

Pada saat seperti ini, biasanya para peternak lalu mengambil opsi untuk menjual sebagian atau seluruh ternak yang dimilikinya karena mencari rumput hijauan pakan dan konsentrat relatif lebih sulit dibanding sebelumnya. Akibatnya harga jual jatuh dibawah ongkos produksinya. Peternak hanya gigit jari dan para blantik tengkulak bergembira ria. Seperti kejadian di tempat pengungsian Merapi baru-baru ini yang pada musim Siaga Merapi, pedagang bermunculan di dusun dusun di sekitar lereng Merapi untuk menawar ternak warga dengan harga murah karena warga menunggu kesiapan lokasi pengungsian ternak yang belum tentu sesuai dengan harapannya.

Harian Kompas, 18 November 2020 melaporkan misalnya Novianto (23) peternak sapi di dusun Ngandong, desa Ngargomulyo Kecamatan Dukun ,Kabupaten Magelang yang menjual 2 ekor sapi dari empat ekor yang dimilikinya. “Sekalian untuk mengurangi beban pikiran. Dua ekor sapi lainnya saya simpan sebagai tabungan”, ujar Novianto. Tentu harganya menjadi terbanting murah. Ia jualnya Rp. 10 juta per ekor, dari harga normal Rp. 16 juta. Langkah serupa ditempuh oleh pemilik ternak lainnya untuk mengurangi resiko bila Merapi meletus. Bila meletus dan dijual harga akan jatuh lagi. Para peternak ini mending menjualnya walau dengan banting harga karena pasti repot mengurusnya. Di daerah zona bahaya lainnya yaitu radius 5 kilometer dari puncak Merapi, didesa Sleman, di dukuh Kali Tengah Lor, Cangkringan penjualan ternak ini terjadi juga. Nanti kalau sudah aman mereka beli lagi. Tapi tindakan ini jelas-jelas merugikan peternak .

Solusi Pemda

Upaya yg dilakukan oleh Pemerintah Daerah setempat dengan menyiapkan evakuasi ternak warga telah dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan naiknya status Gunung Merapi dari Siaga ke Awas. Empat lokasi pengungsian ternak dengan lokasi 30 km dari puncak Merapi yaitu Pasar Hewan Muntilan, Pasar Hewan Borobudur, pasar Hewan Grabag dan kandang milik UNDIP di kecamatan Borobudur. Tempat pengungsian ini diharap menampung ternak di 9 dusun yaitu ternak sapi 111 ekor, kambing 423 ekor dan babi 14 ekor. Sedangkan di Kabupaten Sleman Yogya telah mulai diungsikan yaitu sebanyak 294 ekor sapi dari dusun yang terletak lima kilometerr dari puncak Merapi. Di Klaten pada daerah terdampak terlihat pula warga sambil membawa sapinya ikut mengungsi.

Kepedulian semua pihak

Mengungsi bagi ternak adalah hal yang tidak mudah. Diperlukan alat angkut yang dapat membawa ternak-ternak ke lokasi tempat ternak disiapkan sebagai tempatnya. Di lokasi pengungsiannya ternak harus dekat tanaman HPT ternak dan akses untuk pakan konsentrat dan sumber air. Setiap harinya ternak sapi dan kerbau mbutuhkan 20-30 kg rumput hijauan dan tambahan pakan konsentrat. Kambing 5–10 kg dan babi yang terkenal boros makanan 15 kg pakan. Tentu ini merisaukan peternak di tempat pengungsian. Selain direpotkan dengan kehidupan rumah tangga sendiri masih dibebani dengan urusan mengurus pakan minum serta perawatan ternak. Oleh karenanya wajar terjadi penjualan ternak dengan harga obral padahal ternak merupakan salah satu sumber penting kehidupannya dan sebagai tabungan.

Diperlukan langkah-langkah strategis dari Pemda setempat di daerah sekitar 5 kilometer dari puncak yaitu: pertama, dari sejak awal langkah mitigasi perlu dibangun bahwa mempersiapkan pengungsian orang itu juga harus juga mempersiapkan tempat pengungsian ternak sebagai bagian dari langkah evakuasi manusia. Kedua pertimbangan teknisnya untuk pemilihan tempat sudah mempertimbangkan kepentingan para peternak agar para peternak merasa secure dengan ternaknya sebagai sumber kehidupan dan tabungan. Para peternak merasa aman dengan adanya sumber pakan dan air minum sehari-hari untuk ternaknya.

Ketiga pentingnya adanya tenaga pendamping Sarjana Peternakan dan Dokter Hewan serta para medik Veteriner untuk perawatan hewan ternaknya. Jadi tempat pengungsian lebih terjamin kesejahteraan hewannya dan mencegah penjualan ternak. Keempat perlu adanya penjelasan kepada para peternak tentang adanya asuransi ternak bahwa ternak kalau mati akan memperoleh penggantian sesuai dengan aturan yang berlaku dan yang Kelima perlu diterbitkan semacam protokol pengungsian ternak bagi para peternak dan berbagai instansi terkait termasuk Pemda, LSM, Organisasi Profesi dan swasta.

Dengan demikian para peternak dan ternaknya dapat merasa aman di tempat pengungsian. Dana dan keperluan lainnya untuk ternak ditanggung renteng bersama antara para pemangku kepentingan tersebut. Selamat mengungsi dengan aman. Aman warganya Aman ternaknya.

Depok, 18 November 2020

M. Chairul Arifin

]]>
https://pb-ispi.org/resiko-hidup-di-negara-cincin-api-nasib-ternak-kita-di-pengungsian/feed/ 0 1122
Catatan Perjalanan ISPI : Dinamika Kongres, Pergantian Antar Waktu Demi Lancarnya Organisasi https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-dinamika-kongres-pergantian-antar-waktu-demi-lancarnya-organisasi/ https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-dinamika-kongres-pergantian-antar-waktu-demi-lancarnya-organisasi/#respond Wed, 05 Aug 2020 02:54:47 +0000 http://pb-ispi.org/?p=857

Tahun 1968 adalah awal dimulainya sejarah Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Erwin Soetirto dalam buku Catatan Perjalanan 40 Tahun ISPI, mengatakan , waktu itu sebanyak tujuh  orang sarjana peternakan angkatan pertama IPB, berkumpul untuk mendirikan organisasi yang kemudian dikenal dengan nama Ikatan  Sarjana Peternakan Indonesia (ISPI). Ketujuh orang tersebut adalah Ir. Erwin Soetirto, Ir. Djarsanto, Ir. Rachmat Hidayat, Ir. Jan Leswara,  Ir. Ignatius Kismono, Ir. Koeswardhono Mukdidjo, Ir. Yayan Suchriyan S.

Kismono saat diskusi sejarah ISPI Bogor Juni 2020

Pada acara Diskusi Sejarah ISPI yang dilakukan ISPI PC Bogor 20 Juni 2020, Ignatius Kismono, menyatakan tujuh pendiri ini kemudian menyelenggarakan Kongres ISPI pertama pada 20 Agustus 1968 di Ciawi Bogor, dan kemudian tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir ISPI

Berdasarkan Anggaran Dasar ISPI, kongres merupakan institusi tertinggi pengambil keputusan. Dalam forum kongres itulah terjadi pembahasan tingkat nasional yang melahirkan susunan Pengurus Besar ISPI periode berikutnya, penyusunan program kerja, penyempurnaan AD/ART dan wacana mengenai sikap organisasi terhadap masalah-masalah nasional.

Sejak berdiri, para pendiri ISPI tampak selalu berupaya mengelola organisasi ini dengan menjalankan tertib organisasi yang baik sesuai AD ART meskipun pada saat itu jumlah sarjana peternakan masih sedikit.

Ada dinamika menarik dalam pemilihan Ketua Umum di era itu, dimana pernah terjadi selama masa kepengurusan terjadi pergantian antar waktu akibat sang Ketua Umum harus menjalankan tugas ke luar negeri atau ke daerah.

Berikut data kongres yang dirangkum dari buku Catatan perjalanan 40 ISPI dan bahan buku “Refleksi 50 Tahun ISPI” yang sekarang dalam proses penyusunan.

Tabel : Daftar Kongres ISPI dan Ketua Umum Terpilih

Terlihat dari waktu penyelenggaraan kongres, ada perbedaan masa kepengurusan antara kongres yang satu dengan kongres berikutnya. Kongres II ISPI berlangsung tahun 1974, selisih 6 tahun dibanding kongres I. Berikutnya Kongress III ISPI berlangsung tahun 1979 (selisih lima tahun). Dari kongres III hingga IX penyelenggaraan kongres mulai konsisten tiap 4 tahun sekali, kecuali antara kongres V dan VI yang selisihnya enam tahun.

Dari catatan yang ada, Kongres V ISPI di Yogyakarta tahun 1988 sebenarnya menetapkan bahwa kepengurusan PB ISPI berlangsung 1988-1992. Akan tetapi pengurus PB ISPI yang dipimpin Erwin Soetirto di masa itu memutuskan untuk memperpanjang hingga 1994, dengan alasan bahwa di tahun 1992-1994 PB ISPI sedang mengalami kesibukan sebagai tuan rumah konferensi AAAP (Asian Australasian Association of  Animal Production Society) yang berlangsung di Bali tahun 1994. Pada tahun 1994 itulah, selain sebagai penyelenggara AAAP, ISPI juga menyelenggarakan kongres VI.

Dengan menyimak runutan kongres-kongres tersebut, tergambar ada dinamika cukup menarik untuk dicermati. Generasi pendahulu di ISPI ini merupakan peletak dasar sebuah organisasi. Para pendiri ini mengawal visi dan misi organisasi. Mereka seperti bergantian menjadi komandan ISPI dari kongres ke kongres.

Kongres pertama di Ciawi, Bogor, 20 Agustus 1968 menunjuk Kooswardhono Mudikdjo (1968-1974) sebagai Ketua Umum pertama didampingi oleh Sekjen Asi Napitupulu. Dilanjutkan dengan Kongres II ISPI di Cipayung, Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974 yang mengamanahkan Ketua Umum kepada Djarsanto selama periode 1974-1979.

Pada kongres pertama hanya diikuti oleh para pendiri dan beberapa alumni peternakan IPB (Bogor) . Kepengurusan pun baru ada di tingkat pusat, belum terbentuk kepengurusan daerah. Pembentukan cabang baru dimulai pada Kongres II di Cipayung, Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974. Pada saat itu, pelaksanaan kongres sekaligus menjadi waktu pelantikan pengurus cabang. Kepada para pengurus cabang dihimbau membentuk pengurus sebelum berangkat ke Bogor, sehingga sebelum dimulai kongres sudah terbentuk pengurus cabang.

Namun pelantikan pengurus di tahun 1974 ini terhambat lantaran Ketua Umum PB ISPI (1968-1974) Kooswardhono Mudikdjo berhalangan hadir, karena sedang bertugas ke Amerika Serikat. Panitia mengambil inisiatif meminta kepada Kooswardhono yang sedang berada di Amerika Serikat membuat surat kuasa kepada Djarsanto untuk melantik pengurus cabang. Akhirnya beberapa pengurus cabang waktu itu sudah terbentuk dan langsung mengikuti kongres di tempat sama, yakni di Cipayung, Bogor, Jawa Barat.

Ketua umum hasil kongres awal, hampir semuanya menjadi birokrat dan menduduki posisi strategis, sehingga sering mendapatkan kesempatan bertugas ke daerah, bahkan ke luar negeri. Ini membawa implikasi pergantian ketua umum dalam masa kepengurusan. Bahkan pernah terjadi pergantian komandan ISPI terjadi hingga 3 kali dalam satu kepengurusan, seperti hasil Kongres III ISPI di Denpasar, Bali.

Djarsanto (Paling kiri). Panitia menyambut pejabat di Kongres II tahun 1974.

Kongres III ISPI di Bali, 22-24 Februari 1979 memberi mandat kepada Alirahman sebagai ketua umum periode 1979-1983. Alirahman didampingi oleh Sekjen Soepodo Budiman. Namun, baru setahun menjabat, Alirahman  mendapat tugas ke Amerika, sehingga kepengurusan ISPI hasil Kongres Bali, hanya efektif berjalan 2 tahun (1979-1981). Kepemimpinan diteruskan oleh Erwin Soetirto. Belum genap setahun menjabat, Erwin Soetirto juga ditugaskan menjadi Kepala Dinas Peternakan di Provinsi Maluku.

Pergantian antar waktu terpaksa kembali dilakukan dan mandat diserahkan kepada Yayan Danu Atmadja yang berasal dari Departemen Koperasi. Namun dalam catatan rekam jejak PB ISPI, kepemimpinan Erwin waktu itu belum dibukukan dan yang tercatat menggantikan Alirahman adalah Yayan Dani Atmadja(1981-1983).

Pergantian antar waktu ini hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan antar pengurus alias tidak diputuskan melalui Kongres Luar Biasa, karena para peserta kongres Bali sepertinya sudah mengantisipasi masalah tersebut. Pada kongres sebelumnya telah disepakati bila ketua umum berhalangan, maka sebagai penggantinya adalah Ketua I. Bila Ketua I juga berhalangan, maka diganti Ketua II, dan seterusnya hingga ke Bendahara Umum.

Seperti diketahui, Alirahman adalah sarjana peternakan yang berkarir di pemerintahan namun di luar Departemen Pertanian. Karirnya di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) cukup cermerlang, hingga mencapai puncaknya sebagai Menteri Sekretaris Negara di masa Presiden Abdurrahman Wahid.

Kasus lain yang cukup menarik terjadi pada perjalanan pengurus ISPI periode 1981-1983. Menjelang Kongres IV ISPI di Malang, Jatim, 28-30 Oktober 1983, Ketua Umum dan Sekjen berhalangan hadir. Sebagai satu-satunya pengurus yang ditunjuk oleh kongres sebelumnya, Baroto,  yang waktu itu sedang bertugas di Kalimantan Selatan menyempatkan hadir memberikan laporan pertanggung jawaban pengurus. Baroto waktu itu sedang menggarap Proyek ADB di Kalimantan Selatan untuk kontrak selama 4 tahun (1983-1987).***

Ditulis oleh Bambang Suharno, Pemimpin Redaksi Majalah Infovet, Penulis Buku Catatan Perjalanan 40 tahun ISPI

Sumber foto: Kismono dan Dok Penulis

]]>
https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-dinamika-kongres-pergantian-antar-waktu-demi-lancarnya-organisasi/feed/ 0 857
Catatan Perjalanan ISPI : Pilihan Nama “Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan” dan “Ikatan Sarjana Peternakan” https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-pilihan-nama-ikatan-sarjana-ilmu-ilmu-peternakan-dan-ikatan-sarjana-peternakan/ https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-pilihan-nama-ikatan-sarjana-ilmu-ilmu-peternakan-dan-ikatan-sarjana-peternakan/#comments Fri, 31 Jul 2020 10:55:12 +0000 http://pb-ispi.org/?p=847

Hingga tahun 2020, ISPI genap berusia 52 tahun dan telah menyelenggarakan 12 kali kongres. Ada dinamika menarik selama perjalanan sejarah ISPI, yaitu tentang nama ISPI sebagai Ikatan Sarjana Peternakan Ilmu-Ilmu Indonesia dan Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia.

Didiek Purwanto (Ketum 2018-2022) dan Ali Agus (Ketum 20014-2018) dalam Kongres ISPI XII 2018 di Malang. Tak ada lagi perdebatan nama organisasi.

Soal perubahan kepanjangan nama ISPI dari luar mungkin tampak sebagai perubahan biasa, namun di dalam organisasi sendiri merupakan dinamika yang cukup hangat.

Pada awal berdirinya tahun 1968, ISPI merupakan kependekan dari Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia. Dilema muncul dalam kongres II di Cipayung Bogor tahun 1974 dimana jumlah sarjana peternakan masih sedikit, meskipun sudah ada lulusan dari UGM dan sudah ada cabang ISPI di Jogjakarta.

Baroto Suranto, yang aktif di ISPI sejak tahun 1974 mengatakan, dosen-dosen ilmu peternakan baik di IPB maupun UGM pada waktu itu sebagian besar adalah Dokter Hewan. Pengusaha yang menggeluti bisnis peternakan juga bukan sarjana peternakan.

”Akhirnya, demi kepentingan membesarkan organisasi, sekat ikatan sarjana peternakan dibuka. Sarjana non peternakan dan pengusaha yang mempunyai interes tinggi pada bidang peternakan dibuka kesempatan untuk masuk dalam organisasi. Alhasil,Kongres II di Cipayung Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974 memutuskan mengubah nama dari Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia menjadi Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia dengan singkatan masih sama ISPI,” urai Baroto, alumni Fapet UGM angkatan pertama yang berkarir di Ditjen Peternakan dan termasuk generasi awal ISPI.

Erwin Soetirto salah satu pendiri ISPI menambahkan, dengan adanya tambahan ”ilmu-ilmu”, maka anggota ISPI bukan hanya sarjana peternakan, melainkan sarjana lain yang berminat dalam ilmu peternakan, misalnya sarjana biologi, dokter hewan, sarjana ekonomi, sarjana ilmu sosial dan sebagainya. Bagi Erwin, ISPI sebaiknya bukan hanya milik orang yang begelar sarjana peternakan tapi juga sarjana lain misalkan sarjana ekonomi namun mendalami ekonomi peternakan.

Mungkin pemikiran Erwin kala itu mirip dengan Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI) yang anggotanya ada yang sarjana pertanian, peternakan, ekonomi.

Sebagaimana diketahui, Erwin Soetirto (alm) adalah salah satu pendiri ISPI dan sebagai tokoh ISPI yang menjadi sarjana peternakan pertama yang menjabat sebagai Dirjen Peternakan.

Dua puluh empat tahun kemudian, pada kongres ISPI VII di Cisarua, Bogor tahun 1998 mulai terjadi perubahan pandangan mengenai nama ISPI. Waktu itu diusulkan agar nama ISPI dikembalikan ke nama semula yakni Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia.

Alasan yang mengemuka waktu itu antara lain adalah karena secara umum organisasi yang menghimpun gelar sarjana menamakan dirinya sesuai nama gelar sarjana yang disandang. Misalnya organisasi sarjana ekonomi, menamakan dirinya Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI). Alasan kedua, kategori di Depdiknas nama sarjana tidak pakai tambahan ”ilmu-ilmu”, tapi cukup sarjana peternakan, sarjana pertanian, sarjana ekonomi dan lain-lain.

Perihal keberatan sebagian pihak bahwa menghilangkan kata ”ilmu-ilmu” akan membuat sarjana bidang lain tidak berminat bergabung dengan ISPI, menurut pihak yang mendukung penghapusan kata ”ilmu-ilmu” hal itu tidak menjadi masalah, karena dalam AD/ART dapat diatur mengenai anggota luar biasa dan anggota kehormatan. Melalui AD/ART ini jika ada sarjana lain yang berminat menjadi anggota ISPI, dapat mendaftar sebagai anggota luar biasa.

”ISPI sebagai Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia tidak berarti tidak menerima sarjana lain menjadi anggota. Mereka yang berminat masuk ISPI bisa diterima sebagai anggota luar biasa,” kata Muladno, Dirjen PKH 2015-2016 , yang aktif di ISPI sejak 1990an, menirukan pernyataan pihak yang mendukung penghapusan kata ”ilmu-ilmu”, sebagaimana disebut dalam buku “Catatan Perjalanan 40 Tahun ISPI”

Dalam kongres itu, pihak yang mengusulkan penghapusan kata ”ilmu-ilmu” kurang mendapat dukungan, sehingga sampai akhir kongres, nama ISPI tetap merupakan kepanjangan dari Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan Indonesia.

Selanjutnya, dalam kongres ISPI VIII tahun 2002 di Bandung, pendukung penghapusan kata ”ilmu-ilmu” makin banyak, namun penghapusan kata ”ilmu-ilmu” tidak dapat dilakukan secara aklamasi. Akhirnya kongres memutuskan diadakan voting untuk menetapkan apakah kata ”ilmu-ilmu” dihapus atau tidak. Hasilnya, butir keputusan penting dari kongres ISPI di Bandung tahun 2002 adalah penghapusan kata ”ilmu-ilmu” alias kembali ke nama saat berdirinya ISPI tahun 1968. Sejak itulah sampai sekarang, ISPI secara resmi merupakan kepanjangan dari Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia.

Menurut catatan penulis, Erwin Soetirto dalam beberapa kesempatan
pasca kongres VIII di Bandung menyampaikan bahwa dirinya mendukung nama ISPI tetap sebagai Ikatan Sarjana Ilmu-Ilmu Peternakan indonesia, namun apa boleh buat , kongres sudah memutuskan ISPI menjadi Ikatan Sarjana Peternakan Indonesia.

Begitulah diskusi hangat di dalam kongress ISPI yang perlu dijadikan catatan sejarah perjalanan ISPI.

Daftar Kongres ISPI 1968-2020

  1. Kongres I di Ciawi, Bogor, 20 Agustus 1968
  2. Kongres II di Cipayung, Bogor, 29 Juli-1 Agustus 1974
  3. Kongres III di Denpasar Bali, 22-24 februari 1979
  4. Kongres IV di Batu-Malang, Jatim, 28-30 Oktober 1983
  5. Kongres V di Yogyakarta, 22-23 Desember 1988
  6. Kongres VI di Denpasar-Bali, 12-14 Juli 1994
  7. Kongres VII di Cisarua-Bogor, 25-27 Nopember 1998
  8. Kongres VIII di Lembang-Bandung, 24-26 September 2002
  9. Kongres IX di Yogyakarta , 30-31 Agustus 2006
  10. Kongres X di Makassar, 5-6 Oktober 2010
  11. Kongres XI di Jogjakarta, 14-15 November 2014
  12. Kongres XII di Malang, 6-8 Desember 2018

Ditulis oleh Bambang Suharno berdasarkan Buku Catatan Perjalanan 40 Tahun ISPI dan sumber lainnya

]]>
https://pb-ispi.org/catatan-perjalanan-ispi-pilihan-nama-ikatan-sarjana-ilmu-ilmu-peternakan-dan-ikatan-sarjana-peternakan/feed/ 2 847
Potret Sebaran Populasi dan Produksi Sapi Perah (Ditulis Dalam Rangka Hari Susu Nusantara 1 Juni 2020) https://pb-ispi.org/potret-sebaran-populasi-dan-produksi-sapi-perah-ditulis-dalam-rangka-hari-susu-nusantara-1-juni-2020/ Mon, 01 Jun 2020 11:21:20 +0000 http://192.168.1.9/ispi/?p=112

Hari ini, saat tulisan ini disusun,  1 Juni 2020, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila, masyarakat peternakan Indonesia merayakan Hari Susu Nusantara dan juga World Milk Day.(Hari Susu Se Duniia) “Mari kita minum susu segar, bukan susu bubuk,” demikian kampanye yang bergaung di Hari Susu Nusantara.

Tertarik dengan kampanye minum susu segar, saya mencoba membuka data penyebaran populasi sapi perah dan produksi susu sapi segar Nasional. Saya ambil data Ditjen PKH  dan saya bikin peringkat populasi dan produksi susu segar dari semua provinsi di Indonesia. Berikut ini rangkumannya.

Perkembangan populasi sapi perah dari tahun ke tahun masih tergolong lambat. Tahun 2015 tercatat populasi nasional 518 ribu ekor, tahun 2019 naik menjadi 561 ribu ekor , terjadi penambahan populasi sebanyak 42 ribu ekor atau kenaikan sebesar 8%.selama 5 tahun 

Data menunjukkan, tidak semua provinsi di Indonesia memiliki sapi perah. Berdasarkan data BPS dan Ditjen PKH (2019), hanya ada 30 provinsi yang memiliki sapi perah dan hanya 24 provinsi yang menghasilkan susu sapi.  Tiga provinsi sangat mendominasi populasi sapi perah yaitu Jatim, Jateng dan Jabar dengan populasi di atas 100 ribu ekor. Provinsi lainnya populasinya  di bawah 5.000 ekor.  Bahkan ada yang populasi sapi perahnya di bawah 10 ekor. Sulawesi Tengah sempat tercatat memiliki 10 ekor sapi perah, namun tahun 2018-2019 sudah nol ekor. Tidak jelas apakah sapinya sudah diafkir atau bagaimana.

Dari total populasi 561 ribu ekor sapi perah (data tahun 2019), sebanyak 51% populasi (287 ribu ekor) berada di Jatim, 25 % (139 ribu ekor) berada di Jateng dan 22% (121 ribu) berada di Jabar . Ini artinya 97% populasi sapi perah berada di 3 provinsi tersebut. Sisanya yang 3 persen menyebar di 27 provinsi.

 

TABLE 1. PERINGKAT POPULASI SAPI PERAH 2015-2019 (EKOR)

noProvinsi20152016201720182019
1 JAWA TIMUR 255.947 265.002 273.881 295.809 287.482
2 JAWA TENGAH 134.670 137.334 138.560 154.202 139.111
3 JAWA BARAT 116.400 119.595 115.827 118.800 120.719
4 DI YOGYAKARTA 4.044 4.069 4.003 3.747 3.739
5 SUMATERA UTARA 1.078 1.409 1.948 2.565 3.042
6 DKI JAKARTA 2.433 2.411 1.897 2.023 2.090
7 SULAWESI SELATAN 1.515 1.529 1.696 1.763 1.833
8 LAMPUNG 461 455 420 463 816
9 SUMATERA BARAT 849 891 830 712 707
10 BENGKULU 189 127 244 302 394
11 KEP. BANGKA BELITUNG 161 193 223 277 303
12 KALIMANTAN SELATAN 228 221 218 227 139
13 KALIMANTAN TIMUR 79 97 107 110 115
14 KALIMANTAN BARAT 43 50 64 111 101
15 RIAU 140 132 92 84 85
16 SUMATERA SELATAN 124 127 112 68 74
17 SULAWESI UTARA 77 64 62 27 72
18 SULAWESI TENGGARA 12 19 35 47 53
19 BANTEN 20 42 51 60 46
20 ACEH 62 58 50 35 39
21 JAMBI 30 24 33 30 30
22 PAPUA 19 16 17 23 30
23 NUSA TENGGARA TIMUR 43 43 45 24 29
24 KEP. RIAU 7 7 8 7 6
25 GORONTALO 7 7 6 5 5
26 KALIMANTAN UTARA 1 1 2 1 1
30 SULAWESI TENGAH 10 10 10 0 0
  INDONESIA 518.649 533.933 540.441 581.822 561.061

Sumber: Ditjen PKH , 2020 (diolah)

Dalam hal produksi susu, Jatim juga menjadi provinsi produsen susu sapi nomor satu Indonesia, disusul Jabar dan Jateng. Di sini terlihat perbedaan antara peringkat populasi dan produksi. Dalam peringkat populasi, Jateng berada di posisi kedua , namun dalam peringkat produksi, Jateng berada di posisi ketiga dikalahkan oleh Jabar. Dimungkinkan karena produktivitas sapi perah di Jabar lebih bagus dibanding Jateng.

TABEL 2. PERINGKAT PRODUKSI SUSU SAPI 2015-2019 (TON)

noProvinsi20152016201720182019
1 JAWA TIMUR 472.213 492.461 498.916 512.847 523.104
2 JAWA BARAT 249.947 302.559 310.461 319.004 351.885
3 JAWA TENGAH 95.513 99.997 99.607 100.998 100.799
4 DI YOGYAKARTA 6.187 6.226 6.125 4.059 5.721
5 DKI JAKARTA 4.769 4.726 5.418 5.098 5.267
6 SULAWESI SELATAN 2.727 2.752 3.053 3.173 3.299
7 SUMATERA UTARA 776 1.014 1.403 1.847 2.190
8 LAMPUNG 678 669 618 1.122 1.200
9 SUMATERA BARAT 1.299 1.363 1.270 1.089 1.082
10 BENGKULU 274 184 205 437 570
11 KEP. BANGKA BELITUNG 83 100 328 407 445
12 KALIMANTAN TIMUR 121 148 164 168 176
13 KALIMANTAN SELATAN 162 126 112 252 155
14 KALIMANTAN BARAT 35 43 62 96 115
15 RIAU 79 75 52 88 90
16 BANTEN 17 18 20 88 88
17 SULAWESI TENGGARA 18 28 51 69 78
18 SUMATERA SELATAN 124 127 112 68 74
19 ACEH 94 89 77 54 60
20 NUSA TENGGARA TIMUR 0 0 31 16 20
21 JAMBI 9 7 12 9 9
22 KEP. RIAU 0 0 12 10 9
23 SULAWESI UTARA 0 0 0 2 7
24 PAPUA 0 24 0 0 0
  INDONESIA 835.125 912.735 928.108 951.004 996.442

Sumber : Ditjen PKH , 2020 (diolah)

Data sebaran produksi susu nasional tahun 2019 memperlihatkan bahwa provinsi Jatim berkontribusi sebesar 53% dari total produksi nasional (523 ribu ton), provinsi Jabar  35% (352 ribu ton), dan  Jateng 10% (101 ribu ton). Ini artinya  98% produksi susu nasional berada di 3 provinsi tersebut, sisanya yang 2% berada di 21 provinsi lainnya.

Melihat data di atas, tampaknya Hari Susu Nusantara yang disertai kampanye susu segar, masih menyisakan PR mengenai bagaimana melakukan distribusi susu segar agar benar-benar masyarakat seluruh nusantara bisa menikmati susu segar. Jangan sampai ada masyarakat melihat kampanye susu segar, tapi kemudian kesulitan mendapatkan susu segar.

Selamat Hari Susu Nusantara.

*)Penulis adalah Penasehat ISPI DKI, bekerja di Majalah Infovet, alumni Fakultas Peternakan Unsoed


]]>
112
Menyikapi beredarnya berita tentang : Telur tetas (HE) vs Telur Konsumsi (TK) https://pb-ispi.org/menyikapi-beredarnya-berita-tentang-telur-tetas-he-vs-telur-konsumsi-tk/ Fri, 22 May 2020 11:10:38 +0000 http://192.168.1.9/ispi/?p=109

PENCERAHAN UNTUK KITA SEMUA SARJANA PETERNAKAN

Berikut beberapa uraian dari Dewan Pertimbangan Organisasi PB ISPI dan Sekaligus Ketua GPPU

Menyikapi beredarnya berita tentang :  Telur tetas (HE) vs Telur Konsumsi (TK)  

1. HE, adalah telur yg telah dibuahi ayam jantan, sedagkan TK adalah telur yg tidak dibuahi.
Ke-duanya ada germ, yaitui titik pada permukaan kuning telur.

Pada HE,  ada ring yg mengitari germ tersebut sebagai calon embryo yang mengalami pembelahan dalam saluran prod telur dan berhenti saat telur di keluarkan.

2. Germ ber-ring pada HE tersebut akan membelah pada suhu / temperature yg sesuai (temperatur pengeraman) dan  akan mulai membesar germ tersebut pada hari ke 4 – 5 hari.
 
Kondisi yang sama pada telur ayam kampung dan telur itik yang dibuahi oleh pejantannya dan yang selama ini juga dikonsumsi oleh masyarakat. 

3. Tidak/belum ada bukti bahwa HE tersebut mempengaruhi sifat fisik/kimia telur ketika dikonsumsi.

4. Selama kedua telur (baik HE maupun TK) di-produksi dari ayam yang sehat maka kedua telur tersebut AMAN untuk dikonsumsi dan tidak akan memberikan efek buruk ketika dikonsumsi.

5. Perbedaan sifat fisik pada kedua jenis telur tersebut, seperti warna dan atau tebal tipisnya kerabang  , disebabkan perbedaan bangsa/strain ayam, umur ayam, serta dari kandungan MT n suhu lingkungannya. 

6. Disebutkan bahwa TK banyak kandungan omega3?

Pernyataan tsb tidak benar. Kandungan omega-3 pada telur yang diproduksi di bbrpa peternak, diperoleh atau  tergantung dari kandungan pakannya

7. HE banyak bacteria dan salmonella? 

Tidak benar dan menyesatkan, perlu diketahui bahwa semua breeders sangat menjaga kesehatan ayam melaui biosecurity dan  management pemeliharaan yg ketat, VAKSINASI  terjadwal, serta pengujian laboratorium secara rutin (harus bebas salmonella pullorum, bebas AI, good breeding practice dan lain lain, sesuai ketentuan dan diawasi  ketat oleh pemerintah)

8. HE masa simpan lbh pendek?

Perlu diketahui, Baik HE maupun TK semua tergantung dari lama penyimpanan, suhu ruangan dan kualitas dari telur yg berkaitan dgn kesehatan ayamnya.

Memang sebaiknya semua telur dapat diproses secepat mungkin sehingg tidak terlalu lama dalam penyimpanan.

Dari penjelasan tersebbu dapat disimpulkan, bahwa  HE adalah telur yang AMAN dan BAIK untuk di konsumsi seperti halnya TK

Rekan2 semua, ….

Sejak terjadi pandemi Covid-19 semua sektor usaha kena imbas, tak terkecuali sektor peternakan, dan khususnya sub sektor perunggasan. 

Ada dua hal yang menyertai imbas tersebut, yaitu faktor menurunnya daya beli serta over supplynya  produksi.

Menurunnya daya beli masyarakat serta over supply produksi ayam maupun telur mau tidak mau harus disiasati supaya bisa survive.  
Beberapa langkah yang dilakukan breeders unggas a.l afkir dini parent stock dan cutting setting telur tertunas (HE) yang sekarang ini jumlahnya (kmungkinan bisa) hampir 40an% dari total produksi HE perusahaan pembibitan. 

Lantas harus dikemanakan telur-telur HE yang tidak masuk mesin hatchery itu? 
Dalam kondisi krisis berjamaah imbas Covid-19, alternatifnya telur HE akan diedarkan/dipasarkan ke masyarakat. 

Namun, langkah alternatif yang juga waktunya hanya sementara, tidak berjalan mulus. 
Ada dua kendala eksternal yang harus dihadapi di perlu diluruskan. 

Pertama adanya resistensi dari pelaku peternakan ayam petelur. 
Kedua, adanya regulasi yang melarang mengedarkan HE.

Salah satu klausul dalam Permentan 32 tahun 2017 disebutkan HE dilarang diedarkan dalam pengertian diperjualbelikan, tetapi bukan dilarang dikonsumsi. Dengan demikian memperkuat kenyataan bahwa HE adalah telur yang aman dikonsumsi.  

Beberapa pakar, seperti Prof. Wihandoyo (UGM), Dr. Denny W. Lukman (pakar kesmavet IPB), Dr  Syahrir, Dr. Heru S (lab unggas UGM) dan beberapa  akademisi serta praktisi, telah memberikan info maupun tulisan yang  menbenarkan fakta tersebut diatas.

Bahkan, ada mitos yang cukup kuat  di masyarakat, bahwa   telur yg dibuahi, kandungan nutrisinya lebih tinggi dibanding telur yg tidak dibuahi.  

Selain itu, ada hasil penelitian yang menyebutkan perubahan protein putih telur.  
(Dapat dibaca pada dua lampiran dibawah ini).

Banyak pihak yang bertanya-tanya, apa alasan pemerintah melarang peredaran secara komersial telur tertunas ?, sebagaimana yang tertuang dalam  Permentan tersebut di atas. 

Untuk sementara, KAMI jawab : sampai saat ini tidak tahu .. karena masih perlu kajian hukum yang lebih komprehensif tentang kekuatan atau landasan hukum yang menyertai Permentan 32/2017.

Isu lain yang beredar, yaitu adanya HE  yang beredar mengganggu harga TK. 

Mengganggu harga? Apa dasar perhitungannya? 
Mari coba kita bersama-sama berhitung : … 

1. Dlm satu siklus pemeliharaan ayam Parent Stock (PS), produksi telur selama 42 minggu. 
Artinya, selama masa  produksi per ekor menghasilkan 180an butir HE dan dari jumlah tersebut sekitar delapan butir tidak layak ditetaskan karena berbagai ketentuan breeding, misalnya ukuran, bentuk dan lain-lain agar tidak mengganggu kualitas DOC serta efisiensi di tingkat pembudidaya FS.

2. Dari total produksi PS secara nasional yang sekitar 30 juta ekor,  sehingga telur tidak layak tetasnya  sekitar 43 ton per hari atau sekitar 0.3% dibanding produksi TK per hari. 

3. Sejak awal April 2020, pemerintah tidak lagi menentukan jumlah cutting HE umur 19 hari. Padahal di sisi lain masalah over supply DOC belum terselesaikan sehingga  breeders cenderung mengambil langkah alternatif tidak setting HE nya atau setting by order sesuai anjuran pemerintah 

4. Dari kondisi di atas, misalnya perhitungan yang ekstrim sekalipun, Anggap saja,  telur yang tidak di setting 40% maka sekitar 286 ton produksi HE perhari yg tidak disetting atau sekitar 2% dari produksi TK. 
Apakah yang 2% berpengaruh pada yang 98%? … monggo.

5. Seperti pada kebiasaan pada masa-masa sebelumnya,  7-10 hari sebelum puasa (untuk tahun ini sekitar tgl 13 – 24 april ),  permintaan naik dan setelah masuk bulan puasa sampai minggu ke dua permintaan menurun. 

Mari kita saling cross check kondisi masing-masing saat sebelum puasa (dimana saat itu tinggi2nya jumlah HE yg tidak tersetting) dan masuk 2 minggu ptama puasa.

Memang, kondisi tragedi pandemi covid19 ini membuyarkan perencanaan / planning yang telah dibuat, dan bisa menjadi catatan untuk kita semua.

Dutulis ulang atas penjelasan Ketua GPPU Ir. Achmad Dawami

]]>
109
PROSPEK USAHA PETERNAKAN DOMBA DI JEMBER https://pb-ispi.org/prospek-usaha-peternakan-domba-di-jember/ Sat, 28 Dec 2019 09:06:44 +0000 http://192.168.1.9/ispi/?p=106

Usaha Peternakan Domba Berbasis Kemitraan Menembus Pasar Ekspor

(Partnership-based sheep farming penetrates the export market)

Agus Sholehul Huda*

*)   Gumukmas Multifarm, Jl. Sultan Agung No 42 Purwoasri-Gumukmas Jember 68165,

email : [email protected]

ABSTRACT

Sheep and goats become the culture of society, almost every household can be found goats that are kept as businesses or savings.The need for consumption of goat products in the form of meat, milk and skin along with the by-products are increasing every year.Indonesia is aremoeslem majority country, sheep and goats are mandatory animals for islamic religious worship activities like aqiqah and Qurban. The higher the level of religious awareness, the higher the need for goats.Besides such a large domestic market, the international market also still very open for sheep marketing.Malaysia neighbor country, each month needs 5,000 sheep or 60,000 sheep every year and only 3000 sheep are fulfilled in 2018.The need for consumption of lamb products consisting of meat, milk and leather of the following products increases every year. However, up to now the sheep goats have not been able to provide benefits because the management still partial and traditional, which does not pay attention to technical governance and a good system farming.The need for structuring the production system, with the partnership pattern between goats will create an integrated production system between natural resources, seed sources, feed sources, managers, quality assurance systems, marketing, promotion, and government supportregullation.four pillars must work together to develop namely the Joint business group (implementing partnership), banking, academics, and the government.With this sheep partnership can be organized production so that productivity, quality and product continuity are guaranteed. The arrangement of the system with the partnership pattern is expected that goat sheep can be used as a superior commodity and to take a big portion of the international market and be able to prosper the rural community by increasing the household economy of farmers.

Key word : Sheep, Goat, Production, Partnership, Export

ABSTRAK

Domba dan kambing sudah menjadi budaya masyarakat perdesaan, hampir disetiap rumah tangga petani dapat ditemui domba kambing yang dipelihara sebagai usaha ekonomis atau tabungan. Kebutuhan konsumsi produk domba kambing yang berupa daging, susu dan kulit berikut hasil ikutannya semakin meningkat setiap tahunnya. Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah Muslim, domba dan kambing merupakan hewan wajib untuk kegiatan ibadah keagamaan yaitu aqiqah. Semakin tinggi tingkat kesadaraan beragama, semakin tinggi pula kebutuhan domba-kambing. Disamping pasar domestik yang demikian besar, pasar internasional juga masih sangat terbuka untuk pemasaran domba. Negari jiran, Malaysia, setiap bulannya membutuhkan 5.000 ekor domba atau 60.000 ekor per tahun dan hanya terpenuhi 3000 ekor domba di tahun 2018. Pemintaan pasar yang demikian besar, baik pasar domestik maupun pasar ekspor, dan ditunjang dengan sumber daya alam yang melimpah merupakan peluang yang sangat potensial dalam meningkatkan nilai manfaat dari ternak domba tersebut. Akan  tetapi, sampai dengan saat ini ternak domba kambing belum bisa memberikan nilai manfaat dikarenakan pengelolaannya masih partial dan tradisional yang tidak memperhatikan teknis tata kelola yang baik dan tersistem. Perlu adanya penataan sistem produksi, dengan pola kemitraan domba-kambing akan menciptakan sistem produksi yang terintegrasi antara sumber daya alam, sumber bibit, sumber pakan, managemen, sistem penjaminan mutu, pemasaran, promosi, dan didukung regulasi pemerintah. Empat pilar harus bersinergi, yaitu Kelompok Usaha Bersama (pelaksana kemitraan), Perbankan, Akademisi, dan Pemerintah. Dengan adanya pola kemitraan domba tersebut, produksi ternak domba dapat tertata secara menyeluruh sehingga terjamin produktivitas, kualitas dan kontinuitas produk.  Penataan sistem dengan pola kemitraan tersebut diharapkan ternak domba kambing dapat dijadikan komoditas unggulan dan mengambil porsi yang cukup besar di pasar internasional serta mampu mensejahterakan masyarakat perdesaan dengan meningkatnya ekonomi rumah tangga petani.

Kata Kunci : Domba, Kambing, Produksi, Kemitraan, Ekspor

PENDAHULUAN

Peternakan domba memiliki peluang bisnis yang cukup bagus, dikarenakan produk peternakan domba merupakan penunjang pemenuhan konsumsi protein hewani yang dibutuhkan dalam hidup keseharian manusia. Domba merupakan ternak ruminasia kecil yang sudah sangat familiar bagi masyarakat Indonesia. Domba adalah ternak yang sangat mudah dibudidayakan dan disenangi masyarakat petani sebagai tabungan, karena domba mudah diperjualbelikan. Hampir 95% domba dalam penguasaan petani atau peternak skala rumah tangga. Menurut data sensus Badan Pusat Statistik tahun 2017, domba dipelihara oleh sebanyak 645.561 rumah tangga dengan kepemilikan rata-rata 2-6 ekor per rumah tangga. Sedangkan perusahaan yang berkecimpung di usaha domba hanya ada 4 perusaaan (BPS, 2013).

Dengan penguasaan petani yang demikian besar dengan pola budidaya yang masih tradisional, struktur pasar domba menjadi tidak seimbang. Sebagai ternak yang dibudidayakan untuk tabungan, selama petani tidak membutuhkan uang untuk keperluan rumah tangga, domba-kambing tidak akan dijual, tetapi disaat petani membutuhkan untuk keperluan seperti anak sekolah contohnya, domba akan dijual dengan harga berapapun asal jadi uang. Bila dikelola dengan baik dan tersistem dengan berbasis budaya, domba merupakan ternak yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, pohon industri domba demikian luasnya, kambing-domba memiliki produk turunan selain daging yaitu kulit dan bulu, disamping itu kotoran dan air kencing domba bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik, tidak ada yang tidak termanfaatkan semua yang diproduksi kambing-domba. Dalam keseharian masyarakat kita, yang mayoritas muslim, domba menjadi produk yang tidak tergantikan dalam kegiatan keagamaan yaitu Aqikah, dalam perayaan iedul adha, domba juga menjadi salah satu hewan qurban selain sapi dan kerbau, semakin tinggi kesadaran agamanya maka semakin tinggi pula kebutuhan akan domba-kambing . Dengan struktur budidaya dan pasar yang tidak berkembang, populasi domba-kambing masih fluktuatif. Peningkatan jumlah penduduk dan kesadaran akan ibadah keagamaan (aqikah) juga mempengaruhi terhadap populasi domba nasional termasuk pemotongan betina untuk kebutuhan rumah makan maupun kegiatan keagamaan.

Selama ini, pola budidaya usaha domba masih menggunakan cara ekstensif atau dengan sistem penggembalaan. Sistem pemeliharaan ekstensif merupakan pemeliharaan domba dengan sistem dilepas sehingga tergantung dengan lingkungan sekitar. Sistem pemeliharaan semi intensif bisa juga dikatakan dengan model di gembala di lapang pada pagi sampai sore hari, saat menjelang petang domba di kandangkan dengan diberikan tambahan sedikit pakan didalam kandang domba. Hal ini sangat tergantung pada kondisi hijauan atau membutuhkan ladang gembalaan yang cukup luas. Dengan demikian peternak tidak dapat memelihara domba dalam jumlah banyak. Pemeliharaan domba di Indonesia masih bersifat subsistem dan tidak memperhitungkan faktor biaya dan kualitas dalam pemeliharaannya. Skala pemeliharaan masih kecil sampai menengah dan belum banyak pemeliharaan ternak dalam bentuk industri. Sebenarnya domba memiliki kelebihan dibandingkan hewan ternak penghasil daging lainnya, menurut Sudarmono (2007) domba memiliki sifat lebih mudah beradaptasi dengan lingkungannya, lebih mudah dalam perawatan, dan modal yang diperlukan untuk membuka usaha peternakan domba relatif lebih kecil. Sehingga penataan hulu-hilir peternakan domba memiliki peluang yang cukup baik untuk dikembangkan berbasis kemitraan.  

Dengan permintaan pasar kian hari semakin meningkat, baik pasar domestik maupun pasar eksport ke beberapa negara, sudah seharusnya peluang ini ditangkap dengan penataan hulu-hilir budidaya peternakan domba. Permintaan pasar domba dan kambing tahun 2018 mencapai 5 ribu ekor perbulan ke Negara Malaysia, peluang tersebut masih belum mampu ditangkap peternak kambing domba Indonesia (Tabloid Sinar Tani, 2019). Banyak sekali tantangan seperti kontinuitas pasokan, bibit dan pakan yang belum terintegrasi satu sama lain yang menjadikan banyak problem yang harus dihadapi oleh para peternak domba. Pada tahun 2018 bekerjasama dengan mitra eksportir Inkopmar Cahaya Buana, Gumukmas Multifarm (GMF) mampu memasok kebutuhan eksport domba ke Malaysia sebanyak 3000 ekor. Pasar eksport lebih kompetitif dalam hal harga dibanding pasar domestik terutama domba jantan. Pasar domestik hanya bagus dibulan-bulan tertentu dan kecenderungan pasar domestik memotong domba betina dibandingkan domba jantan, karena disparitas harga antara domba jantan dengan betina sangat tinggi.

Dalam upaya merubah pola pikir masyarakat dari budidaya yang hanya sebagai tabungan menjadi budidaya yang berorientasi bisnis, GMF merupakan kelompok usaha yang sudah berbadan hukum, menjawab potensi tersebut. Pola kemitraan adalah bentuk yang tepat untuk dikembangkan, karena potensi yang sudah ada dan masyarakat pada umumnya sudah memiliki domba dalam jumlah kecil. Dengan membentuk pola kemitraan atau gotong royong yang saling menguntungkan dengan mengumpulkan peternak-peternak kecil untuk lebih mengintensifkan pola budidayanya dari hulu sampai hilir, dengan penataan-penataan per bagian budidaya; pembibitan dan fattening serta pengkoordinasian pasar sehingga nilai tawar peternak menjadi lebih baik. Pola peternakan yang mengarah ke industrialisasi bisa diwujudkan dengan pola kemitraan tersebut. Dukungan dari pemerintah terkait termasuk lembaga keuangan dalam mensupport usaha ini merupakan keharusan.

Domisili usaha GMF berada di Kabupaten Jember, yang merupakan wilayah potensial untuk pengembangan domba, yang mana jumlah penduduk kurang lebih 2,419,000 jiwa dengan sumber ekonomi masyarakat adalah sektor pertanian dan sektor perternakan, khususnya ternak domba, sudah menjadi bagian dari rumah tangga petani. Populasi domba Jember menurut Badan Pusat Statistik (2018) berjumlah 79.021 ekor yang merupakan urutan ke 5 di Jawa Timur, meskipun urutan ke-5 Jawa Timur, jember tetap menjadi tujuan sumber bibit nasional dengan kualitas domba yang bagus dan sebagian besar petani lebih senang memelihara indukan untuk dijual anaknya. Potensi sumber daya alam Jember sangat mendukung untuk usaha peternakan domba dengan sumber pakan dari limbah pertanian yang melimpah. 

Permintaan domba kambing yang terus meningkat, tentunya memerlukan perbedaan tatacara pemeliharaan, supaya standar yang ditentukan dapat tercapai. Hal yang dapat dilakukan adalah dengan cara manajemen pemeliharaan yang lebih intensif. Salah satu yang sudah berubah dari pemeliharaan domba dan merupakan inovasi dari GMF adalah dari segi pakan. Pakan yang diberikan pada domba umumnya berupa hijauan, dirubah dengan pakan komplit yang bersumber dari limbah pertanian dan diformulasikan sesuai dengan kebutuhan nutrisi domba. Sehingga efisiensi dalam budidaya dapat tercapai.

Saat ini GMF menjalin kerjasama dengan peternak-peternak dan kelompok ternak dengan pola kemitraan. Kemitraan domba yang sudah dikelola GMF sebanyak 105 peternak dengan populasi masing-masing peternak dikisaran 10 sampai 100 ekor dan juga bermitra dengan koperasi ternak yang juga menerapkan pola kemitraan di daerah Bondowoso dengan jumlah mitra lebih dari 100 orang. Sebaran mitra GMF ada di 4 daerah yaitu Jember, Lumajang, Banyuwangi, dan Bondowoso. Keempat daerah tersebut memiliki potensi pengembangan domba yang sangat baik.

PEMBAHASAN

Kemitraan Domba

Keberadaan peternak kecil dituntut untuk dapat bersaing dengan pelaku usaha lainnya, dalam konteks ini, langkah kerjasama dalam bentuk kemitraan merupakan strategi untuk mengembangkan peternak kecil lebih berdaulat. Beternak domba dapat berperan dalam peningkatan ekonomi kerakyatan, banyak dilakukan dimasyarakat karena sumber daya alam mendukung. Harus diakui bahwa peternak kecil tidak lepas dari tantangan dan hambatan baik dari segi permodalan, sumber daya manusia, managemen, minimnya penguasaan teknologi informasi, dan pemasaran produk yang dihasilkan. Empat pilar harus berperan disini, yaitu : pemerintah, pengusaha/kelompok usaha/koperasi, lembaga keuangan, dan akademisi.

            Korporasi peternakan domba bisa terwujud dengan pola kemitraan untuk meningkatkan produktifitas, kontinuitas produksi, dan kesejahteraan peternak domba melalui adopsi managemen usaha dan teknologi industri. Sehingga tercapai tujuan efisiensi dan meningkatkan produktifitas usaha budidaya domba yang selama ini masih bersifat tradisional. Prinsip dari kemitraan adalah saling menguntungkan, baik disisi peternak (plasma) maupun dipihak koperasi/perusahaan (inti). Bila peternak untung, keberlangsungan usaha akan berjalan dengan baik, begitu pula sebaliknya.

            Dengan bekerjasama (bermitra), peternak kambing domba akan lebih kuat bersaing baik pasar domestik maupun pasar eksport. Peternak yang tergabung dalam kemitraan akan dapat menciptakan produk dengan harga yang lebih rendah, kompetitif dan menguntungkan. Melalui sistem budidaya berjenjang, yaitu peternak A memelihara domba selama 2 bulan, dilanjutkan kepada peternak B dengan budidaya 2 bulan juga dan seterusnya, kemudian saat tercapai berat dan harga yang dikehendaki maka hasil budidaya dijual ke pasar baik domestik maupun ekspor.

Pola kemitraan mampu menciptakan harga yang di kehendaki pasar sebagai contoh dari harga Rp 60.000,- per kg menjadi harga Rp 51.000,- per kg pada saat dilepas ke pasar. Hal tersebut juga akan terkait dengan kemitraan pembibitan atau pembiakan, untuk menentukan harga yang menguntungkan bagi peternak agar produksi yang dihasilkan yaitu hasil fattening bisa bersaing harga di pasar domestik maupun ekspor. Tidak akan sulit peternak menentukan harga bila tertata dengan baik, tersistem dan terencana. Yang terpenting adalah pasar bisa dipenuhi secara kontinyu sesuai dengan harga yang berlaku dan bersaing. 

Konsep dasar kemitraan domba dalam menembus pasar ekspor, dengan pola tersebut akan terkoordinasi dengan baik mulai dari harga produksi yang dihasilkan hingga populasi yang harus disediakan secara kontinyu untuk memasok pasar ekspor. Pada tahapan yang lebih panjang lagi, korporasi yang berbasis kemitraan peternak domba rakyat ini, akan bisa menentukan berapa harga bakalan yang layak dan menguntungkan serta berapa harga jual yang kompetitif dan mampu bersaing di pasar internasional.

Sumber Bakalan (Breeding)

Breeding memegang peranan utama dalam menyediakan bibit baik kuantitas maupun kualitas. Pekerjaan ini sangat menjemukan dan margin keuntungan yang tidak banyak dibanding fattening dan pengolahan hasil. Ungkapan “breeding is bleeding” sudah bukan asing lagi, harus berdarah-darah untuk mengelola kegiatan breeding. Tetapi dengan pengelolaan yang tersistem, breeding menjadi usaha yang sangat menguntungkan. Pembibitan atau pembiakan harus ada campur tangan dari pemerintah berupa insentif berupa lahan dan permodalan yang disesuaikan dengan masa atau waktu panen. Dalam hal ini pemerintah bekerjasama dengan pihak lain/stakeholder peternakan domba yang dapat melakukan pengawasan atas insentif pembibitan yang telah disalurkan.

Untuk mendapatkan domba yang dikehendaki pasar eksport, kualitas bibit menjadi hal yang penting untuk mendapatkan capaian bobot badan yang lebih cepat. Menurut Sudarmono & Sugeng (2007), di Indonesia terdapat berbagai tipe domba yaitu : (1) Domba asli Indonesia atau disebut dengan domba kampung atau lokal. Ciri-cirinya, berbadan kecil, lambat dewasa, warna bulu tidak seragam dan karkasnya rendah; (2) Domba priangan atau disebut domba garut yang merupakan persilangan antara domba asli, merino dan ekor gemuk dari Afrika Selatan. Domba garut banyak terdapat di Garut sebagai domba laga dengan ciri-ciri mempunyai tubuh besar dan lebar (60 kg untuk jantan dan 35 kg untuk betina); jantan bertanduk dan melengkung kebelakang daun telinga ramping; warna bulu kombinasi putih, hitam dan coklat atau campuran; (3) Domba ekor gemuk banyak terdapat di Jawa Timur, Madura, Sulawesi dan Lombok. Ciri-cirinya, bentuk badan besar (50 kg untuk jantan dan 40 kg untuk betina), bertanduk pada yang jantan dan berekor panjang (pada bagian pangkalnya besar dan menimbun lemak banyak, ujung ekornya kecil dan tidak berlemak).

Beberapa jenis domba yang terdapat di Indonesia terbukti mempunyai kemampuan adapatasi yang tinggi terhadap lingkungan, tahan terhadap ektoparasit maupun pakan berkualitas rendah. Keunggulan daerah asal ini yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan perbaikan genetik dengan cara disilangkan dengan domba-domba yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik (domba unggul).

            Perbaikan genetik akan mempercepat proses fattening dan tidak kesulitan dalam memenuhi stardard berat badan yang diinginkan pasar eksport, contohnya pasar eksport ke Malaysia, yang dikehendaki adalah domba yang memiliki berat badan minimal 30 kg. Untuk mendapatkan berat badan tersebut, bila menggunakan domba lokal membutuhkan waktu 2 (dua) kali lebih lama dibanding dengan domba yang memiliki genetik pertumbuhan yang baik. Nuraliah et al. (2014) melaporkan bahwa domba ekor tipis yang diberi pakan komplit dengan sumber protein bungkil kedelai yang terproteksi tanin yang hanya berkisar antara 42,70-55,70 g/ekor/hari. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa pertambahan bobot badan harian domba ekor tipis mencapai 92,5 g/ekor/hari (Mathius et al, 2001).

            Pola kemitraan yang diterapkan dalam budidaya pembibitan/pembiakan akan memperpendek perputaran keuangan, sehingga hal ini memungkinkan peternak mendapatkan support permodalan dari lembanga keuangan atau perbankan. Pola pemeliharaan ini bisa dibagi dalam 3 fase budidaya yang terbagi dalam 3 kelompok ternak, dimana masing-masing kelompok berbudidaya setiap tahapan breeding/pembiakan, mulai dari proses perkawinan hingga anak lepas sapih. Dengan sistem ini, semakin banyak masyarakat yang dilibatkan, sehingga kesejahteraan petani/peternak semakin membaik.  

TATA LAKSANA PAKAN

Pakan memberi kontribusi biaya terbesar dalam budidaya, memformulasikan pakan yang tepat merupakan hal yang mutlak dalam berbudidaya. Pakan yang baik adalah pakan yang mampu menyediakan seluruh kebutuhan nutrisi ditinjau dari kualitas maupun kuantitas. Sumber pakan dari limbah pertanian sangat melimpah di indonesia, sumber bahan pakan tersebut bisa digunakan dan dijadikan pakan komplit setelah melalui proses giling/teknologi menjadi partikel lebih kecil. Bahan baku pakan yang bersumber dari limbah pertanian maupun limbah pengolahan hasil pertanian diantaranya adalah rendeng kedelai, rendeng kangkung, tongkol jagung, tebon jagung, tumpi, limbah daun serai, bungkil kopra, bungkil sawit, dan banyak lagi yang bisa dimanfaatkan dari limbah pertanian lainnya. Disamping mendapatkan biaya pakan yang murah, juga membantu petani mengatasi limbah pertanian yang dulunya hanya dibuang dan di bakar, menjadi limbah pertanian yang bernilai ekonomi.

            Peternak dalam memberikan pakan masih sangat bervariasi dan belum memperhitungkan jumlah asupan nutrisi dan biaya pakan yang dikeluarkan. Perlu adanya edukasi kepada peternak tradisional agar pola pemberian pakan menjadi lebih baik dan berkualitas, sehingga meningkatkan produktifitas domba.

Dalam hal ini efisiensi pakan penting artinya, tetapi dengan tidak mengesampingkan kualitas nutrisi dari formulasi pakan tersebut. Hasil produksi atau budidaya akan lebih kompetitif dengan pakan yang efisien dan murah, hal ini akan meningkatkan daya saing domba untuk komoditi eksport.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pola kemitraan merupakan model pengembangan usaha yang sesuai untuk diterapkan di peternakan rakyat yang pada dasarnya ternak  domba sudah menjadi budaya petani/peternak dan dikembangkan sebagai penopang ekonomi rumah tangga. Dengan pola kemitraan ini akan dapat meningkatkan produktivitas dan meningkatkan daya saing peternak domba dalam menyediakan domba untuk pasar domestik maupun ekspor, kegiatan ini harus terintegrasi dari hulu sampai hilir dengan melibatkan peternak rakyat sehingga kesejahteraan petani semakin baik.

Perlu adanya support dari lembaga keuangan (perbankan) dalam hal ini permodalan dengan skim program yang sesuai dan ringan, untuk meningkatkan kapasitas produksi domba. Dalam hal perbibitan/pembiakan, harus ada insentif dari pemerintah baik lahan maupun  permodalan sehingga tersedia bakalan atau bibit domba yang berkualitas dan kontinyu. Demikian juga dengan proses perijinan eksport agar lebih dipermudah dan di dukung dengan sarana yng menunjang kegiatan eskport contohnya angkutan (kapal laut/pesawat terbang), karena domba adalah komoditi ternak yang memungkinkan di eksport dan mampu bersaing dipasar internasional dibanding dengan komoditi ternak lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman A. 2019. 12 kesalahan fatal peternak pemula. Blitar (Indonesia). Penerbit CV Veterinary Indie Publisher.

Dinpet_Jatim. 2019. Kebijakan pengembangan domba dan kambing di Jawa Timur. Makalah Seminar ISPI. 2019. Universitas Brawijaya

Ditjen PKH. 2018. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (Indonesia). Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian.

https://www.hestanto.web.id/teori-pola-kemitraan-menurut-para-ahli. html. Diunduh 14 Oktober 2019

http://tabloidsinartani.com/detail/indeks/ternak/9389-Diminati-Tiga-Negara-Peluang-Ekspor-Domba-Kian-Terbuka.html. Diunduh 29 September 2019

Mathius IW, Yulistiani D, Puastuti W. 2001. Pengaruh subtitusi protein kasar dalam bentuk bungkil kedelai terproteksi terhadap penampilan domba bunting dan laktasi. JITV. 7:22-29.

Nuraliah S, Purnomoadi A, Nuswantara LK. 2014. Pengaruh protein bungkil kedelai terproteksi tanin dalam pakan komplit terhadap produktivitas domba ekor tipis. Proseding Seminar Nasional Peternakan Berkelanjutan 6. Bandung, November 2014. Bandung (Indonesia); Fakultas Peternakan, Universitas Padjadjaran.

Sudarmono AS, Sugeng YB. 2007. Beternak domba. Jakarta (Indonesia). Penebar Swadaya. SEKJEN PB ISPI

]]>
106
Lampung Lumbung Ternak: Antara Harapan dan Kenyataan https://pb-ispi.org/lampung-lumbung-ternak-antara-harapan-dan-kenyataan/ Thu, 18 Jul 2019 09:02:06 +0000 http://192.168.1.9/ispi/?p=103

Ketika bersilaturahim dengan pemimpin perguruan tinggi negeri dan swasta se-Provinsi Lampung, Gubernur Arinal Djunaidi menyampaikan bahwa beliau mendapat tugas khusus dari Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kapasitas Lampung sebagai lumbung ternak nasional. Harapan Presiden tentu harus disambut dengan penuh semangat dan keyakinan bahwa dengan resources yang ada hal tersebut secara bertahap dapat diwujudkan. Bahkan penugasan khusus dari Presiden tersebut dapat menjadi momentum pemerintah daerah untuk meningkatkan peran subsektor peternakan dalam perekonomian daerah, termasuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesempatan kerja/berusaha, dan peningkatan PAD. 

Harapan yang disampaikan Presiden tentu sangat beralasan dan cukup realistis. Lampung dinilai berpotensi untuk berkontribusi signifikan dalam mengatasi salah satu masalah besar nasional di bidang pangan, yaitu defisit daging sapi yang terus membesar. Tahun 2015 produksi sapi siap potong nasional hanya sekitar 2,4 juta ekor (setara 416,1 ribu ton daging). Sedangkan kebutuhan ternak sapi untuk dipotong mencapai sekitar 3,8 juta ekor (setara 653,9 ribu ton daging). Berarti pada tahun 2015 ada defisit sebesar 1,4 juta ekor sapi yang setara 237,88 ribu ton daging. Defisit inilah yang selalu diatasi melalui impor sapi bakalan dan daging beku. 

Ditinjau dari berbagai aspek, Lampung memang daerah yang sangat layak untuk pengembangan agribisnis sapi potong. Kelayakan ini menjadi daya tarik khusus, sehingga hampir semua perusahaan besar penggemukan sapi berinvestasi di Lampung. Potensi SDM, sumber daya alam, kelembagaan, dan infrastruktur lainnya sangat menunjang untuk mendukung pengembangan Provinsi Lampung sebagai sentra produksi ternak sapi. Para peternak, tenaga inseminator, balai inseminasi buatan, poskeswan, perguruan tinggi dan lembaga litbang, industri/swasta, lembaga pembiayaan, serta pelaku bisnis sapi potong lainnya siap digerakkan Gubernur dalam “orchestra” menuju Lampung lumbung ternak. 

Salah satu akar permasalahan agribisnis sapi potong nasional adalah populasi sapi potong yang terlalu kecil. Populasi sapi potong nasional hanya sekitar 12.329.477 ekor (BPS- ST2013), sangat kecil untuk negara sebesar Indonesia dengan penduduk lebih dari 265 juta. Fakta ini mencerminkan bahwa upaya mempercepat peningkatan basis populasi sapi potong nasional harus menjadi agenda prioritas pemerintah. Pada sisi lain, upaya meningkatkan populasi sapi potong dipastikan bukan pekerjaan mudah. Selama puluhan tahun upaya pemerintah belum pernah berhasil signifikan dalam program ini. Sejumlah masalah dasar harus diatasi. Oleh karena itu, program pengembangan Lampung lumbung ternak harus dirancang dengan cermat.

Masalah lain yang perlu dianalisis secara cermat adalah struktur agribisnis sapi potong nasional tidak proporsional. Sejumlah 97.5% populasi sapi potong berada di tangan petani kecil dengan rata-rata kepemilikan 2-3 ekor. Skala ini masuk kategori bisnis yang tidak efisien. Sisanya sebagian besar sapi di tangan pengusaha fedloter besar dengan skala 10 – 30 ribu ekor. Peternak yang bergerak di segmen skala menengah 50 – 500 ekor sangat langka. Struktur bisnis seperti ini kerap disebutmissing in the middle, yang harus segera diperbaiki. Salah satu sebab segmen skala menengah bisnis sapi potong tidak berkembang adalah langkanya peternak atau calon peternak yang berkualifikasi entrepreneur

Dari berbagai kajian dapat dirangkum sejumlah masalah lain pada agribisnis sapi potong yang perlu ditangani serius. Masalah tersebut meliputi aspek mutu SDM; mutu genetik dan efisiensi reproduksi; jumlah dan mutu pakan; manajemen pemeliharaan dan kesehatan; cekaman lingkungan tropis; sistem tataniaga; pengendalian jumlah populasi, dll. Sebagai contoh, jarak antara sapi beranak dengan beranak berikutnya (calving interval) sapi rakyat masih tinggi (1,8-2,5 tahun), padahal idealnya 1 tahun. Pada aspek pakan, yang paling krusial adalah rendahnya kadar energi, protein, dan zat nutrisi mikro dalam ransum. Dari sisi lingkungan, stres panas adalah masalah lain yang dihadapi ternak di Indonesia. 

Dalam rangka percepatan peningkatan populasi sapi potong di Provinsi Lampung diperlukan sejumlah langkah, yaitu: peningkatan kemampuan entrepreneur peternak; introduksi bibit sapi unggul; pengadaan sapi induk dan inseminasi buatan; peningkatan mutu pakan; dan penerapan good farming practices. Diperlukan gerakan penerapan praktik budidaya ternak yang baik secara masif. Kapasitas peternak dalam menerapkan praktik budidaya yang baik dapat ditingkatkan melalui penyiapan sarana pembelajaran khusus yang lengkap. Sarana tersebut dapat dirancang berupa Pusat Kecemerlangan Agribisnis Sapi Potong (PK-ASP) berbasis masyarakat. PK-ASP harus dilengkapi sarana kaji-terap (action research); pelatihan/magang (training center); dan inkubator bisnis (business incubator) sapi potong. 

Dalam jangka panjang PK-ASP dikembangkan menjadi model/percontohan nasional sebagai fasilitas one stop services untuk pembelajaran agribisnis hulu-hilir sapi potong berbasis masyarakat. Provinsi Lampung dapat menggunakan momentum ini untuk mengajukan inisiatif pengembangan PK-ASP yang layak dibiayai APBN. Pada PK-ASP diperagakan proses inovasi teknologi hulu-hilir agribisnis sapi potong berwawasan lingkungan serta analisis bisnis sapi potong (business plan, kemitraan, pembiayaan, dan pemasaran). Peserta magang/tenant diberi kesempatan seluasnya untuk mempelajari dan mempraktikkan paket teknologi agribisnis sapi potong yang baik, sampai mereka layak memiliki sertifikat kompetensi dan siap memulai start-up bisnis. 

Penyusunan blue-printPK-ASP tentu harus melibatkan partisipasi akademisi, birokrasi, dan pelaku bisnis. PK-ASP yang terancang baik sangat penting untuk memotivasi, meyakinkan, serta membangkitkan semangat dan kepercayaan diri stakeholder peternakan. PK-ASP juga dirancang untuk membumikan konsep sinergi antara akademisi, bisnis, pemerintah, dan masyarakat (ABG-C) dalam membangun peternakan. Sebagai pusat pembelajaran khusus, PK-ASP dapat dikelola oleh perguruan tinggi. Perguruan tinggi dinilai memiliki kapasitas cukup dan regulasi yang lebih lentur untuk memimpin kolaborasi ABG-C. 

Kegagalan program-program bertajuk Lampung lumbung ternak terdahulu lebih disebabkan ketidakberhasilan dalam mendorong proses inovasi teknologi di level petani. Inovasi teknologi adalah upaya entrepreneur yang fokus pada penerapan invensi untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya secara efisien menuju peningkatan daya saing produk. Oleh karena itu, sudah saatnya kebijakan pembangunan peternakan lebih diarahkan pada peningkatan kemampuan entrepreneurshippara SDM peternak melalui inkubator bisnis. Inkubator bisnis sapi potong dirancang khusus untuk mencetak sebanyak mungkin wirausahawan muda. Karena paraentrepreneur adalah pelaku bisnis yang sesungguhnya. 

Kita berharap “orchestra” menuju Lampung lumbung ternak di bawah “conductor” Gubernur Lampung kelak bisa sukses mendekatkan harapan Presiden pada kenyataan. Selamat bekerja Pak Gubernur. Semoga Lampung segera Berjaya. Tabik Pun! Dr. Ir. Erwanto, M.S.
 (Dosen Jurusan Peternakan FP Unila, Anggota DRD Lampung). IT & Media ISPI

]]>
103