Para peneliti percaya, emisi gas rumah kaca dari sektor peternakan sapi ikut menyumbang 65 persen. Dalam hal sapi, gas metana ikut meningkatkan efek rumah kaca. Ternak berkaki empat atau istilahnya ruminansia (sapi, kambing, domba) menghasilkan gas metana yang keluar dari sendawa, kentut, dan kotoran hewan ternak. Sebagaimana dikutip dari tulisan berjudul Animal Agriculture’s Impact on Climate Change, gas metana menyumbang 16 persen dari total efek pemanasan global. Potensi pemanasan global mencapai 28 hingga 36 kali lipat, yang berujung menghasilkan karbon dioksida.
Ketika dampak perubahan iklim semakin mengkhawatirkan, gerakan mengurangi makan daging menjadi gerakan yang populer. Para aktivis lingkungan mendesak masyarakat untuk mengurangi makan daging untuk menyelamatkan lingkungan. Beberapa aktivis telah menyerukan pemberlakuan pajak atas daging untuk mengurangi konsumsi daging.
Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) menerbitkan sebuah penelitian berjudul “Bayangan Panjang Peternakan (Livestock’s Long Shadow),” yang mendapat perhatian luas secara global. Disebutkan bahwa ternak memberikan kontribusi sebesar 18% emisi gas rumah kaca dunia. FAO menarik kesimpulan yang mengejutkan: Peternakan memberikan kontribusi yang lebih banyak dalam kerusakan lingkungan dibanding semua moda transportasi digabung. Hal itu mendorong setiap negara untuk memiliki kebijakan yang focus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.
Memperhatikan permasalahan tersebut, dan mempertimbangkan pentingnya peternakan bagi penghidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global, serta mengingat perannya dalam aspek sosial, ekonomi dan ketahanan pangan, maka kita harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi ini. Terlebih, skala masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif permasalahan di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju.
Atas hal itu, Ikatan Sarjana PEternakan Indonesia (ISPI) sebagai organisasi yang menaungi para sarjana peternakan, memiliki kewajiban dalam mengembangkan ilmu pengetahuan sebagai basis utama dalam kegiatan peternakan, baik itu dalam kebijakan ataupun usaha komersil. Dalam seminar pada hari ini (27/1) di Jakarta yang mengambil Tema “Dampak Peternakan Sapi Bagi Lingkungan”.
Suistain and suistainability adalah merupakan wajah peternakan kita di masa depan, oleh karena itu diskusi–diskusi seperti hari ini yang kemudian ditindaklanjuti dalam penelitian serta implentasi lapangan adalah tugas sarjana peternakan.
Pebi Purwosuseno selaku perwakilan Dirjen PKH Kementan mengatakan bahwa sektor peternakan muncul sebagai salah satu kontributor bagi masalah lingkungan. Temuan ini mendorong setiap Negara untuk memiliki kebijakan yang fokus pada masalah degradasi lahan, perubahan iklim dan polusi udara, kekurangan air dan polusinya, serta berkurangnya biodiversitas.
Memperhatikan permasalahan tersebut, lanjut Pebi, perlu mempertimbangkan pula pentingnya peternakan bagi penghidupan masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global, serta mengingat perannya dalam aspek sosial, ekonomi dan ketahanan pangan, maka kita harus secara jeli dan berhati-hati mengambil sikap terkait kondisi ini. Terlebih, skala masalah akibat sektor peternakan di Indonesia mungkin tidak semasif permasalahan di negara-negara yang sektor peternakannya jauh lebih besar dan maju.
“Terwujudnya produk peternakan Indonesia yang berdaya saing dan berkelanjutan, dan ini telah secara eksplisit diterjemahkan ke dalam startegi utama yang selalu mengedepankan konsep keberlanjutan dalam langkah-langkah operasionalnya,” kata Pebi.
Acara diselenggarakan oleh Northern Territory Cattlemen’s Association
(NTCA) dan Red Meat and Cattle Partnership yang sudah bekerja sama
dengan ISPI selama ini. Hadir dalam acara itu para narasumber: Pebi
Purwosuseno yang mewakili Ditjen PKH, Dr Panjono, IPM (Fapet UGM), CEO
NTCA Ashley Manicaroos, Kieran Mc Cooskee d(Department Primary Industry,
Northern Teritorry Government) dan M Pribadie Nugraha dari Meat &
Livestock Australia (MLA). IT & Media ISPI