Gejolak Harga Daging Sapi

Rochadi Tawaf
(Penasehat PP PERSEPSI dan Dewan Pakar PB ISPI )

Harga daging sapi merupakan komponen yang paling dipercaya dan akurat dari berbagai variabel data dalam menganalisis pengembangan usaha peternakan sapi. Pada dasarnya, harga merupakan resultante tarik menarik antara permintaan dan penawaran. Fenomena gejolak harga daging sapi yang terjadi diawal tahun ini pun, menunjukkan pengaruh rendahnya pasokan pada suatu kondisi permintaan yang relative tetap. Akibatnya, harga melonjak tajam. Namun, disatu sisi ada kebijakan patokan harga yang harus dilanggar oleh para pedagang. Akibatnya, para pedagang dibawah naungan APDI (asosiasi pedagang daging Indonesia) memilih tidak berjualan untuk meminta perhatian pemerintah, guna melonggarkan kebijakan pemasaran daging sapi yang harus meningkat disesuaikan dengan harga bahan bakunya.

Jika penanganan kebijakannya seperti yang selalu dilakukan secara konvensional, gejolak harga daging sapi akan selalu berulang. Pasalnya, penyelesaian yang dilakukan ibarat pemadam kebakaran, yaitu diselesaikan dengan kesepakatan dan impor.    Memang kebijakan intervensi yang dilakukan ini dalam jangka pendek sangat mujarab, namun hanya sesaat. Hal ini, disebabkan karena Pemerintah, tidak memiliki konsep pembangunan jangka panjang yang tangguh, konsisten dipatuhi sesuai dengan asumsi yang dibuatnya. Sepertinya, roadmap pembangunan sapi pedaging yang dibuat pemerintah hanya pajangan semata. Lemahnya perencanan, dilanggarnya asumsinya dalam konsep tersebut, menyebabkan  terjadinya gejolak harga daging sapi yang selalu berulang. Dengan kata lain, gejolak harga daging merupakan indikasi lemahnya pembangunan peternakan sapi.

Bencana alam di Australia

Berbeda dengan gejolak harga sebelumnya, kali ini faktor penyebabnya  adalah bencana alam banjir dan kebakaran hutan di Australia pada tahun 2019-2020. Dua peristiwa bencana alam tersebut telah memorak porandakan kegiatan industri peternakan di negeri kanguru.  Penurunan populasi sapi yang sangat signifan (24,1%) telah terjadi dari populasi sapi sebesar 27,8 Juta ekor di tahun 2002, kini (2020) hanya tinggal 21,1 juta ekor. Semua kondisi ini, telah mengakibatkan meningkatnya harga sapi import di Indonesia, karena kelangkaan pasokannya dari Australia. Dalam sejarah importasi sapi dari Australia di awal tahun 1990an, baru kali ini terjadi harga sapi impor sekitar Rp. 56 ribuan/kg berat hidup (landed cost) lebih mahal dari pada harga sapi lokal (sekitar Rp. 47 ribuan/kg berat hidup). Kondisi ini, membuat para pengusaha feedlot tidak mungkin lagi menggunakan sapi bakalan impor. Bagi perusahaan feedlot yang masih bertahan, mereka mulai beralih dalam penyediaan sapi bakalannya dengan memanfaatkan sapi-sapi lokal. Akibat dari kondisi ini, diduga akan terjadi dampak yang serius dan merugikan bagi pengembangan peternakan sapi di dalam negeri.  Pasalnya, akan terjadi pengurasan populasi sapi (perah dan pedaging) di dalam negeri. Hal ini berdasarkan pengalaman di tahun 2011-2013 lalu, telah terjadi pemotongan betina produktif dan sapi perah. Program SIWAB dan SIKOMANDAN diduga pula tidak akan mampu mengatasi hal tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa program yang dilakukan pemerintah selama ini masih belum mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kontribusi produksi domestic terhadap impor.

Krisis Usaha Penggemukan

Keadaan bisnis usaha penggemukan sapi pedaging, diduga pada dua-tiga tahun ke depan dihadapkan pada kondisi titik nadir. Pasalnya, Australia masih membenahi industrinya untuk meningkatkan populasi ternak sapinya. Idealnya populasi ternak sapi di Australia sekitar 25 juta ekor untuk mampu melakukan ekspor ke Indonesia. Semantara itu impor dari Negara lain seperti Mexico/Brazil masih belum siap infra strukturnya. Jarak yang cukup jauh menyebabkan sulitnya bisnis ini berkembang. Sehingga para pengusaha feedlot akan kesulitan memperoleh sapi bakalan.

Jika saja dalam dua, tiga tahun kedepan, pemerintah tidak mengubah strategi mendasarnya dalam pembangunan peternakan sapi untuk penyediaan sapi bakalan, dipastikan akan terjadi pengurasan populasi sapi (betina produktif dan sapi perah) di dalam negeri dan berdampak untuk selamanya negeri ini akan tergantung import komoditas daging sapi. Oleh karenanya, kondisi dua-tiga tahun kedepan mungkin negeri ini berada pada kondisi krisis usaha pada bisnispenggemukkan sapi.

Ubah Strategi

Perubahan strategi yang dimaksud, pertama adalah mengubah mindset bahwa guna meningkatkan permintaan daging sapi dengan mengintroduksi sapi-sapi premium (Belgian Blue/BB dan Glacian Blond/GB) dan melakukan importasi daging sapi/kerbau yang menyita biaya sangat besar dengan tingkat keberhasilan yang rendah. Kebijakan tersebut harus segera dialihkan dengan mengoptimalkan peningkatan produktivitas sapi-sapi lokal, melalui intensifikasi pola breeding dan pemanfaatan lahan-lahan terluang.  Kedua, mengubah sentra produksi sapi yang selama ini ditujukan ke wilayah-wilayah konvensional seperti Jateng, Jatim, NTB, NTT dan Sulsel beralih ke sentra-sentra perkebunan besar di Sumatera, Kalimantan dan Papua serta lahan-lahan bekas tambang di Kalimantan, juga ke pulau-pulau kosong di wilayah Timur.  Ketiga, jangan berharap banyak kepada peternakan rakyat untuk dijadikan andalan dalam memberikan kontribusi penyediaan sapi bakalan. Jadikan peternakan rakyat untuk melakukan usaha penggemukan, dan pembiakannya dilakukan oleh industri skala besar pada usaha integrasi perkebunan dan peternakan di sentra-sentra perkebunan. Keempat, berlakukan dalam kebijakan nasional penggunaan bio teknologi penggertak pertumbuhan. Sebab, negeri ini melakukan importasi dari Negara-negara yang menggunakan hal tersebut.

Bisnis pembiakan untuk menghasilkan sapi-sapi bakalan memerlukan lahan yang luas guna menekan harga pakan. Di sentra-sentra perkebunan yang menghasilkan limbah atau hasil ikutan industri perkebunan sebagai pakan ternak tentu sangat murah harganya. Selain itu,  lahan pasca tambang yang sangat luasnya ribuan mungkin juga jutaan hektar, selama ini dibiarkan tidak termanfaatkan secara optimal. Berikan insentif terhadap upaya masyarakat yang melakukan usaha di kawasan tersebut, terutama perlindungan terhadap berbagai kebijakan kontra produktif bagi pengembangan usaha ternak sapi selama ini. Misalnya, kebijakan importasi daging kerbau, Introduksi Sapi BB/GB, kebijakan export bungkil sawit ataupun insentif permodalan yang tidak merangsang  terhadap pengembangan peternakan sapi di dalam negeri. Kiranya, pemerintah dapat mengimplementasikannya, sehingga kita dapat terhindar dari krisis pangan lanjutan pasca pandemic covid-19.  Selain itu, hendaknya pemerintah memiliki roadmap pembangunan peternakan sapi pedaging jangka panjang yang secara konsisten dijalankan oleh siapa pun rezim yang memimpin negeri ini.

Artikel ini pernah dimuat di Tabloid Sinar Tani (Rochadi Tawaf)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *