Surat kabar Kompas tanggal 7 Juli 2020 memberikan foto yg cukup menarik bagi para insan peternakan, yaitu foto sepasang ternak kerbau sedang membajak sawah di sebuah desa Tlogorejo, Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Diceritakan bahwa sebagian petani masih meyakini bahwa membajak sawah dengan kerbau justru dapat meningkatkan kesuburan tanah.
Selain itu di tengah-tengah maraknya turbulensi korona muncul pula pemberitaan kecil di Kompas 29 Januari 2020 tentang menurunnya populasi kerbau Moa di Maluku akibat kubangan dan irigasi berkurang. Tiadanya sarana ini berakibat terjadinya kematian kerbau. Diberitakan pula bahwa kematian kerbau terjadi hampir 1.500 ekor per tahunnya dari populasi 11.323 ekor kata Kepala Desa Toumawan Loumasterd H Tetrapoik, Kabupaten Maluku Barat Daya. Desa itu berpenduduk 2.684 jiwa merupakan penghasil utama kerbau Moa, hewan endemik yang merupakan tumpuan hajat hidup warganya.
Pemerintah pusat dalam hal ini Kementan telah menerbitkan aturan dengan menjadikan Kerbau Moa sebagai salah satu dari 74 bangsa ternak Rumpun/Galur Murni Ternak Asli Indonesia. Tentunya pemerintah akan membangun wilayah pembibitannya untuk berusaha melestarikan plasma Nutfah dan sumberdaya genetik tersebut sebagai tindak lanjutnya. Dilakukan atau tidak kita menunggu respon dari pemerintah.
Namun perlu disadari bahwa gejala penurunan populasi terjadi tidak saja menimpa kerbau Moa tapi telah menjadi fenomena umum ternak kerbau diseluruh republik ini. Penurunan populasinya dari tahun ke tahun sudah dapat dikatakan menjadi alarm, mencemaskan. Coba kita lihat sejarah tren perkembangan populasinya.
Menurun Terus
Pada abad ke 19, tepatnya tahun 1841 kerbau di pulau Jawa populasinya masih lebih tinggi dari sapi. Tercatat kerbau 1,476 juta ekor dan sapi 476 ribu ekor, sehingga ternak kerbau disebut de parrrel Van oost Indie, sang mutiara dari Hindia Timur karena fungsi pentingnya dalam usaha tani. 90 tahun kemudian populainya meningkat 2,146 juta ekor tetapi sapi sudah mulai melampauinya jadi 2,647 juta ekor. 150 tahun kemudiaan (1991) kerbau meningkat jadi 3,282 juta ekor tetapi populasi sapi sudah melejit 10,520 juta ekor.
Selama dasawarsa terakhir mulailah terjadi penurunan populasinya. Tahun 2000 populasinya sudah berada pada angka 1,999 juta ekor dan pada tahun 2010 menurun jadi 1,3 juta ekor. Sampai tahun 2014- 2018 populasi masih bertahan di kisaran 1,3 juta ekor dan bukan tidak mungkin pada tahun² mendatang jumlahnya dapat menyusut terus jadi dibawah 1 juta ekor. Akhirnya dapat diramalkan kerbau hanya akan berjumlah ribuan ekor di tahun 2045 kelak, di beberapa tempat di Indonesia untuk menuju kepunahan kalau tidak ada tindakan yang tepat
Kerbau (Bubalis Bubalis) di Indonesia ada 2 tipe yaitu kerbau lumpur (swamp buffalo) yang banyak dijumpai di Indonesia dan kerbau sungai (river buffalo) endemik yang hanya terdapat di beberapa tempat di tanah air khususnya Sumatera Utara di Bah Bolon dan sekitar perkebunan yang mempekerjakan WNI asal suku Sikh. Populasi kerbau Indonesia porsinya 6% dari populasi kerbau dunia. Hampir 47% bermukim di Sumatera, 21% di Jawa, 8% di Nusa Tenggara, 7% Sulawesi, dan kira-kira 3% di Kalimantan. Propinsi Aceh memiliki kerbau tertinggi, diikuti Sumatera Barat, NTB, Banten, Sumatera Utara, NTT ,Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pendekatan Baru
Aturan FAO menyebutkan kalau jumlah ternak betina produktifnya sudah 100 ribu, alarm sudah terjadi ke arah terancamnya.species tersebut. Semoga saja tidak terjadi kelak yang menyebabkan anak cucu kita mungkin hanya dapat menyaksikannya diberbagai kebun binatang sebagai benteng terakhir konservasi.
Dari lesson learned penurunan populasi kerbau tersebut kita mulai dapat bertanya pada diri kita sendiri; sudah tepatkah penanganan terhadap saudara-saudaranya kerbau kyai Slamet tersebut? Berkelanjutankah berbagai upaya kepada si Munding ini? Yang namanya ternak Tedong tersebut ternyata harus dekat dengan air dan lumpur sebagai habitatnya. Kulitnya yang tipis dan tubuhnya yang hanya memiliki sedikit kelenjar keringat menyebabkan kerbau senang bermain di habitat perairan tersebut. Di jaman keemasannya sering nampak ternak ini bermain disungai dinaiki oleh anak-anak belia sambil berkecipratan air. Sungguh senang kerbau kalau begitu. Sebagai tenaga kerja di sawah dia sebenarnya tidak kuat sengatan panas matahari. Karenanya para petani sadar pada setiap jam 11 siang, kerbau harus diistirahatkan untuk berkubang di lumpur persawahan, baru dipekerjakan lagi.
Solusi yang diberikan oleh Pemda Maluku Barat Daya sungguh tepat. Dibangunlah ekosistem kerbau dengan menciptakan tempat kubangan dan irigasi agar kerbau dapat menikmati habitat aslinya yang sempat hilang itu. Tidak itu saja tetapi juga menggalakkan kerbau sebagai bagian penting dari event pariwisata yang setiap tahun digelar di Maluku.
Tiadanya ternak kerbau kelak menjadikan punahnya salah satu peradaban di Maluku. Oleh karena itu kepedulian Universitas Pattimura yang meneliti hewan endemik kerbau Moa ini agar tidak menuju kepunahan patut diapresiasi. Begitu juga kepedulian Balai Wilayah Sungai setempat untuk membangun irigasi tempat kubangan kerbau Moa perlu didukung agar ternak khas Maluku satu-satunya ini bisa selamat dari ancaman kepunahan.
Sudah waktunya mulai kita pertimbangkan bahwa dengan hanya pendekatan tehnis saja tidak cukup.
Pelaksanaan IB, kawin alam, perbaikan pakan atau penanganan penyakitnya itu penting, tetapi akan lebih bermakna lagi kalau lebih berpikiran integral dengan mengkaitkannya dengan upaya untuk melestarikan dengan membuat ekosistem habitat alaminya. Menghubungkannya dengan aspek sosial ekonomi berupa pariwisata, kuliner, adat istiadat dan kepercayaan setempat merupakan langkah yang tepat. Contoh pada ritual Rambo Solo yang hidup subur di Tana Toraja yang menggunakan kerbau (Tedong bonga) waktu upacara mengantarkan arwah mereka yang wafat. Dengan kuliner seperti rendang, dadih di Sumbar, dangke di Sulsel, permen susu di NTB, kebiasaan meugang di Aceh, Belis di NTT, dan kebo haji di NTB dan Kalsel, balapan kebo di daerah Nusa Tenggara dan Bali (mekepung). Banyak sekali list kerbau dikaitkan dengan aspek sosial budaya dan ekonomi di tanah Nusantara ini. Kita tidak boleh berpaling dari aspek ini, sehingga kegiatan tehnis semata akan menjadi lebih baik kalau berkolaborasi dengan aspek sosbud dan ekonomi setempat semacam membuat zona ekonomi yang inklusif. Pengembangan kerbau jadi kepedulian bersama bukan urusan orang peternakan dan kesehatan hewan saja.
Depok, Juli 2020
M. Chairul Arifin