Menengok Kerbau Lampung, Kearifan Lokal yang Terlupakan

Dr. Ir. Erwanto, M.S.
Dosen FP Unila dan Anggota ISPI

Saya sangat bersyukur bahwa di penghujung bulan Juni 2018 lalu mendapat kesempatan berkunjung ke India (terima kasih kepada Yayasan Pendidikan Global Madani). Selain berharap bisa refreshing menikmati keindahan destinasi wisata India bersama kolega yang keren-keren, saya menyimpan keinginan khusus untuk mengamati kerbau India secara langsung. Pikiran saya penuh pertanyaan, mengapa India mampu memproduksi daging kerbau dalam jumlah banyak dan dengan biaya yang sangat murah pula. Murahnya harga daging tersebut membuat pemerintah kita sangat tergiur untuk mengimpor daging kerbau India. Walaupun sebagian akademisi menentang kebijakan ini, karena sebagian kawasan India belum bebas dari penyakit mulut dan kuku yang sangat potensial menulari ternak sapi kita.

Sepanjang perjalanan darat sekitar lima jam dari kota Agra ke Jaipur, dari jendela bus yang nyaman pandangan saya lebih banyak mengamati suasana perdesaan (rural area) di India. Saya sangat terpukau menyaksikan bagaimana kerbau India yang berkulit hitam legam, hampir selalu terlihat ikut mewarnai landskap lahan pertanian dan pekarangan rumah petani. Rataan kepemilikan lahan pertanian di India rupanya masih cukup luas, sehingga saya menyaksikan hampir di setiap petak lahan pertanian ada bagian lahan yang secara khusus digunakan untuk menanam rumput unggul. Fasilitas untuk kerbau berendam atau berkubang juga disiapkan. Fakta ini menjawab sebagian pertanyaan saya, mengapa kapasitas tampung ternak kerbau di India sangat tinggi.

Pada tahun 2012 populasi ternak kerbau di India telah mencapai angka 108,7 juta ekor, 56,6 juta ekor di antaranya adalah kerbau betina dewasa produktif. Sebagai pembanding kerbau di Indonesia tahun 2016 hanya sekitar 1,3 juta ekor. Populasi kerbau India secara konsisten terus meningkat setiap tahun, karena negeri ini sangat ketat menjaga populasi kerbau betina produktif tetap proporsional. Menurut studi Kadin India tahun 2013 populasi kerbau India mendekati 58% dari populasi kerbau dunia, suatu capaian yang amat fantastis. Oleh karena itu saat ini India merupakan negara eksportir daging kerbau terbesar di dunia dengan nilai ekspor sekitar USD 29 juta/tahun. Informasi ini seharusnya menginspirasi kita bahwa apabila dikelola dengan baik komoditas kerbau dapat berkontribusi besar terhadap kesejahteraan rakyat dan perekonomian nasional.

Setelah kembali dari India, saya coba membongkar koleksi pustaka saya tentang kerbau. Akhirnya saya memahami bahwa India memang negara yang sangat serius membangun agribisnis kerbau. Program unggulan agribisnis kerbau mereka kemas secara terpadu berupa “Green, White, and Red Revolution”. Green revolution (revolusi hijau) dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan produksi tanaman (crop) untuk pakan ternak; white revolution (revolusi putih) dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan produksi susu untuk gizi manusia; dan red revolution (revolusi merah) dimaksudkan sebagai upaya meningkatkan produksi daging. Program ini dinilai oleh lembaga internasional FAO sangat sukses.

India patut bersyukur bahwa untuk program unggulan tersebut mereka didukung oleh sumberdaya genetik kerbau yang luar biasa. Mereka memiliki banyak breed (bangsa) kerbau, yang sebagian besar memiliki potensi produksi susu tinggi. Ada sepuluh breeds kerbau unggul, termasuk Murrah, Nili-Ravi, Surti, Jaffarabadi, dan Pandharpuri, yang memiliki kemampuan produksi susu sekitar 1300 – 2200 liter susu dalam satu masa laktasi (ICAR, 1997). Selain terus mengembangkan potensi sumberdaya genetik, India juga terus mendorong proses inovasi teknologi di bidang pakan, manajemen produksi, reproduksi, dan bioteknologi. Aspek tataniaga daging kerbaupun tidak luput dari perhatian. Terkait dengan aspek ini, banyak hal bisa dipelajari dalam “Overview of The Indian Buffalo Meat Value Chain”.

Tentu kita tidak akan pernah lupa bahwa ternak kerbau pernah berjaya di Lampung sampai tahun 1970-an. Beberapa wilayah di Lampung memang cocok sebagai habitat ternak kerbau. Namun, strategi dan kebijakan pembangunan yang kurang memerhatikan kearifan lokal (local wisdom) menyebabkan kerbau Lampung kian tersisih dan secara konsisten populasinya cenderung menurun. Sudah saatnya kita menengok kembali plasma nutfah lokal ini. Kita harus segera menyelamatkan kerbau Lampung dan habitatnya. Serbuan komoditas sawit pada habitat kerbau harus ditahan. Hal ini penting karena kerbau memiliki posisi yang sangat eksklusif dalam adat-budaya Lampung. Jangan sampai kehadiran kerbau sebagai bagian integral dari prosesi acara adat Lampung terpaksa “diwakili” oleh sapi, kerena ketersediaan kerbau kita semakin terbatas.

Terkait dengan pengembangan kerbau Lampung harus ada inisiatif untuk menggagas “Revitalisasi Agribisnis Kerbau Lampung”. Pengembangan gagasan revitalisasi agribisnis kerbau harus melibatkan partisipasi segenap pemangku kepentingan (pemerintah, perguruan tinggi, industri, organisasi profesi, masyarakat, dan media). Gagasan revitalisasi hendaknya mencakup aspek penguatan SDM dan kelembagaan, sumberdaya genetik, inovasi teknologi, hilirisasi, tataniaga, pembiayaan, regulasi, dll. Tentu saja yang tidak kalah penting adalah tahapan implementasi program dan aksi nyata di lapang.

Pada tingkat nasional sudah saatnya dikembangkan fasilitas semacam “Pusat Kemerlangan Agribisnis Kerbau”. Pada fasilitas ini diperagakan best practices agribisnis kerbau hulu-hilir. Fasilitas ini dapat digunakan untuk gelar inovasi teknologi agribisnis kerbau, inkubator bisnis calon wirausahawan, magang petani dan start-up, serta fasilitas untuk mempertemukan pemerhati dan praktisi agribisnis kerbau. Blue print fasilitas ini memang harus dirancang dengan baik, sehingga kelak dapat menjadi tampat belajar yang baik bagi pihak-pihak, terutama eksekutif dan legislatif, yang ingin membangun agribisnis kerbau di daerahnya.

Secara sepintas saya juga sempat mengamati postur tubuh orang India yang umumnya tinggi-tinggi, termasuk Mas Monti (tour guide kami yang keren). Belajar dari postur tubuh orang India ini, muncul keyakinan saya bahwa daging dan susu kerbau dapat berkontribusi menekan kasus anak stunting (stunted in growth), yang sedang meresahkan ibu pertiwi. Urusan susu memang harus hati-hati, baiknya pilihlah yang segar. Susu kental manis sangat mungkin menipu, kerena susu biasanya tidak kental dan tidak manis. Susu segar dari sapi, kambing, atau kerbau pasti lebih bergizi dan menyehatkan. Tabik Pun, Namaste!

Dr. Ir. Erwanto, M.S.
Dosen FP Unila dan Anggota ISPI

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *