Pengantar
Kemajuan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya manusia (SDM) bangsa tersebut. Dengan “tagline” INDONESIA MAJU saat memperingati ulang tahun kemerdekaan ke-75, pemerintah menyadari pentingnya pembangunan kualitas SDM bangsa. Inilah sepertinya yang mendasari dijadikannya Peningkatan Kualitas Manusia Indonesia menjadi misi No. 1 di antara 7 Misi Kabinet Indonesia Maju (Kabinet Presiden Jokowi periode ke-2).
Hal ini tampak dari rilis pemerintah tentang Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2021 yang memuat kegiatan Prioritas Nasional (PN) yang dirinci lebih detail dalam Program Prioritas (PP). Dalam RKP 2021, tercantum PN dan PP yang sangat terkait dengan peningkatan kualitas SDM yaitu PN no. 1: Memperkuat ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan dan PN no. 3: Meningkatkan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing.
Di dalam PN no. 1 memuat PP no. 2 yaitu Peningkatan ketersediaan, akses dan kualitas konsumsi pangan, sedangkan dalam PN no. 3 terdapat PP no. 3 yaitu Peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan. Masing-masing program prioritas (PP) tersebut memiliki target tertentu yang terukur dalam bentuk indikator-indikator antara lain angka kecukupan energi (AKE), angka kecukupan protein (AKP), Prevalence of Undernourishmen (PoU), Food Insecurity Experience Scale (FIES), Angka kematian Ibu per 100 ribu kehamilan dan angka stunting pada Balita.
Adanya target yang ingin dicapai oleh Pemerintah dari indikator-indikator tersebut menunjukkan bahwa kondisi kualitas SDM bangsa kita masih jauh dari ideal. Beberapa indikator umum seperti Human Development Index (HDI) dan skor Program for International Student Assessment (PISA) berada di bawah skor negara-negara tetangga kita di ASEAN. Nilai HDI berasal dari penilaian terkait aspek pendidikan, usia harapan hidup dan pendapatan domestik bruto suatu negara. Adapun skor PISA merupakan gabungan nilai literasi (reading), numerasi (mathematic) dan sains (science). Berdasarkan laporan OECD tahun 2020, nilai HDI Indonesia tahun 2019 masih berada dibawah Singapura, Brunei, Malaysia dan Thailand, serta setara dengan Filipina. Sementara itu untuk PISA, skor semua negara-negara tetangga kita tersebut lebih tinggi, bahkan Vietnam pun berada di atas Indonesia. Belum lagi angka kejadian stunting di Indonesia yang masih tertinggi diantara negara-negara tersebut, kecuali dibandingkan dengan Laos dan Timor Leste.
Beberapa indikator umum kualitas SDM tersebut menunjukkan bahwa masih banyak sekali PR Indonesia untuk meningkatkan kualitas SDM-nya sehingga wajar jika salah satu misi penting Pemerintah saat ini adalah memperbaiki berbagai indikator kualitas SDM tersebut.
Relasi Kualitas Asupan Nutrisi dan Tumbuh Kembang Anak
Telah dipahami secara umum bahwa asupan nutrisi yang berkualitas sangat berpengaruh terhadap tumbung kembang manusia, baik itu aspek kognitif (intelegensia) maupun juga aspek psikomotorik. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa ada korelasi yang positif antara rendahnya indikator-indikator kualitas SDM Indonesia dengan rendahnya kualitas asupan nutrisi.
UNICEF (2018) melaporkan bahwa 3 dari 10 anak-anak Indonesia yang berusia dibawah 5 tahun mengalami stunting, sementara itu 1 di antara 10 anak-anak tersebut mengalami malnutrisi. Lebih lanjut dilaporkan pula bahwa ada sekitar 2 juta balita di seluruh Indonesia mengalami SAM (severe acute malnutrition). Demikian juga FAO (2017) melaporkan bahwa dari total konsumsi protein asal makanan, persentase konsumsi protein hewani orang Indonesia hanya 8%, sementara Filipina, Thailand dan Malaysia masing-masing sebesar 21, 24 dan 30%.
Protein hewani memang memiliki keunggulan dibanding protein nabati terutama dalam 2 aspek yaitu net protein utilization atau nilai biologisnya, yaitu persentase protein yang benar-benar diserap dan digunakan oleh tubuh; serta aspek kandungan asam-asam amino esensial, yaitu asam-asam amino penyusun protein yang tidak dapat dibentuk oleh tubuh manusia. Asam-asam amino esensial ini hanya terkandung dalam protein hewani. Berikut contoh nilai biologis dari telur, susu, ikan, nasi dan kedelai berturut-turut sebesar 94, 90, 76, 83 dan 73%.
Peran Penting Susu dalam Perbaikan dan Peningkatan Kualitas SDM
Sebuah studi yang dilakukan terhadap 130.432 orang anak dengan umur antara 6-23 bulan di 49 negara di dunia menunjukkan hubungan yang nyata antara stunting dengan asupan Animal Source Food (ASF) alias produk hasil ternak. Konsumsi ASF yang beragam (seperti daging ayam, susu, telur) bahkan berdampak lebih baik pada tumbuh kembang anak (Headey et al., 2018). Michaelsen (2013) juga melaporkan bahwa protein susu menjadi key ingredient dalam produk yang digunakan untuk mengatasi severe acute malnutrition (SAM) juga stunting dibanding dengan protein asal sereal atau kedelai.
Lebih lanjut, beberapa hasil riset/studi terhadap kasus stunting pada anak-anak/balita di ASEAN juga Indonesia menyimpulkan peran susu yang sangat signifikan dalam menurunkan kasus stunting. South East Asian Nutrition Survey (SEANUTS) pada tahun 2018 melakukan survey tentang asosiasi konsumsi susu dan produk-produk olahan susu dengan status nutrisi anak. Sebanyak 12.376 orang anak-anak berumur 1 – 12 tahun di Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam dilibatkan dalam studi ini. Hasil studi menunjukkan bahwa kejadian stunting dan underweight nyata lebih sedikit terjadi pada anak-anak yang mengkonsumsi susu dan/atau produk susu setiap hari (daily basis) dibandingkan mereka yang tidak mengkonsumsi susu.
Kemudian studi terhadap 172 orang anak-anak umur 1-3 tahun di Jakarta Timur dan Pusat dari Oktober 2013 – Januari 2014 menunjukkan bahwa mengkonsumsi susu (growing-up milk) sebanyak 300 ml/hari lebih nyata mencegah stunting pada anak-anak (Sjarif et al., 2018). Studi yang sama dilakukan di Bogor terhadap 113 anak berumur 24 bulan, hasilnya menunjukkan konsumsi susu berpengaruh nyata terhadap pencegahan stunting. Umur pertama kali anak diperkenalkan dengan konsumsi susu (setelah ASI ekslusif 6 bulan) terbukti menjadi faktor dominan yang mendukung pertumbuhan anak yang normal (tidak terjadi stunting) (Fikawati et al., 2019)
Data-data sebelumnya menunjukkan bahwa nilai biologis dan kandungan asam-asam amino esensial yang terdapat pada protein hewani sangat berpengaruh signifikan terhadap kualitas tumbuh kembang anak. Lebih dari itu, selain mengandung nilai nutrisi yang tinggi, susu juga mengandung komponen-komponen bioaktif seperti peptida bioaktif, ganglioside, CLA dan oligosakarida yang secara ilmiah telah terbukti memiliki fungsi-fungsi antara lain sebagai antipatogen, reseptor analog bagi bakteri pathogen dan virus, prebiotik, menstimulasi imunitas tubuh juga membantu pertumbuhan otak anak.
Peran Rantai Pasok Susu dalam Penguatan Ekonomi Rakyat
Selama hampir 50 tahun terakhir ini, peternakan sapi perah rakyat telah menjadi tulang punggung negara dalam menyediakan suplai susu segar dalam negeri (SSDN). Baru beberapa tahun belakangan ini muncul peternakan sapi perah kelas menengah dan peternakan korporasi (mega farm). Sampai saat ini sekitar 90% peternakan sapi perah masih tergolong ke dalam peternakan rakyat, sementara peternakan menengah (midsize farm) sekitar 2% dan 8% sisanya termasuk ke dalam peternakan korporasi (mega farm).
Peternakan sapi perah rakyat tersebut melibatkan 144.000 rumah tangga peternak, mayoritas dari mereka hanya memiliki 2-9 ekor sapi perah. Sekitar 70% dari peternak sapi perah berusia di atas 45 tahun, hanya sekitar 7% dari mereka berusia di bawah 34 tahun (BPS, 2017).
Dalam konteks ekonomi, tataniaga/rantai pasok persusuan di Indonesia memiliki multiflier effect ekonomi yang tinggi. Dimulai dari aktivitas produksi/pemeliharaan sapi perah, pemasok pakan (hijauan dan konsentrat), produksi susu, transportasi susu, kelompok peternak/koperasi, pengolahan susu (UMKM dan industri), distribusi, eceran (retail) sampai akhirnya tiba di tangan konsumen. Inilah yang kemudian disebut The Dairy Value Chain (Rondriquez-Enriquez, 2014).
Jika 144.000 rumah tangga peternak saja melibatkan istri dan anak-anak mereka, belum lagi tukang ngarit dalam memelihara sapi perahnya, demikian juga pekerja di peternakan sapi perah skala menengah dan besar; sopir dan asistennya yang mengantarkan pakan juga susu; pengurus dan pegawai koperasi; loper susu; pekerja di UMKM dan industri pengolahan susu; pergudangan dan distribusi/logistik; warung-warung sampai supermarket yang menjual susu dan produk olahannya; café-café sampai dengan hotel, catering dan restoran yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang menggunakan bahan baku susu; maka jumlah tenaga kerja yang terlibat sangat besar, demikian juga dengan nilai ekonominya. Dengan demikian, peran milk supply chain dalam penguatan ekonomi rakyat di Indonesia tidak dapat dianggap remeh.
Peluang dan Tantangan Industri Persusuan Indonesia
Dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, kinerja peternakan sapi perah atau persusuan di Indonesia belum menunjukkan hasil yang optimal. Walaupun saat ini sudah bermunculan peternak sapi perah skala menengah dan mega farm sebagai tambahan dari peternakan rakyat, populasi dan produktivitas sapi perah rakyat yang cenderung stagnan menghasilkan kurangnya pasokan SSDN untuk memenuhi dan mengimbangi semakin meningkatnya permintaan atau kebutuhan akan susu di dalam negeri. Hal ini juga ditunjukkan dengan menurunnya jumlah primer koperasi susu yang saat ini hanya terdapat 55 buah dibandingkan dengan tahun 1990-an yang pernah mencapai sekitar 230 buah.
Produksi SSDN yang relatif stagnan di bawah 1 juta ton setiap tahun, tidak dapat mengimbangi kenaikan kebutuhan yang meningkat sekitar 12% per tahun (olahan data dari BPS 2015-2018). BPS (2020) melaporkan bahwa kebutuhan susu nasional tahun 2019 sebesar 4,3 juta ton, sedangkan produksi SSDN hanya 957 ribu ton, sehingga ada defisit sekitar 3,37 juta ton. Dengan demikian, SSDN hanya mampu memenuhi sekitar 22% kebutuhan susu nasional, adapun sisanya dipenuhi dengan impor.
Peningkatan konsumsi susu dan produk-produk olahannya dipengaruhi secara umum oleh meningkatnya kelas menengah, komposisi penduduk usia produktif, meningkatnya kesadaran masyarakat tentang pengaruh susu terhadap kesehatan dan peningkatan sektor pengolahan makanan dan minuman. Bank Dunia (2018) melaporkan bahwa kelas menengah Indonesia meningkat sekitar 7%/tahun. Semua faktor ini secara akumulatif akan mendorong meningkatnya konsumsi hasil ternak, sehingga diperkirakan tingkat konsumsi susu per kapita orang Indonesia akan terus meningkat dalam jangka panjang.
Tingginya permintaan atau kebutuhan susu secara nasional ini tentu merupakan peluang ekonomi yang besar untuk dimanfaatkan khususnya bagi penguatan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional secara umum. Tinginya konsumsi susu dan produk susu pada akhirnya juga akan berdampak kepada peningkatan kualitas SDM bangsa.
Dalam rangka memenuhi peluang tersebut, perlu dikembangkan iklim usaha peternakan dan persusuan Indonesia yang tangguh. Sebenarnya Pemerintah telah menyadari posisi strategis industri persusuan di Indonesia, sehingga melalui Departemen (Kementrian) Perindustrian, Pemerintah pernah mengeluarkan dokumen “Road Map Industri Susu” pada tahun 2009, dalam dokumen tersebut dituliskan sasaran Jangka Panjang (2010-2025) industri persusuan di Indonesia. Lebih dari itu, melalui Kementrian Koordinator Perekonomian, Pemerintah menekankan lagi pentingnya pengembangan industri persusuan, dibuktikan dengan dikeluarkannya “Cetak Biru Persusuan Nasional 2013 – 2025” yang di launching pada tanggal 26 Februari 2014. Cetak biru tersebut kemudian direview pada tahun 2016. Review dilakukan terhadap implementasi dan capaian target dari cetak biru tersebut. Namun patut disayangkan, hingga kini rencana-rencana aksi tersebut belum banyak diimplementasikan sehingga mengganggu pencapaian target 60% pemenuhan kebutuhan susu tahun 2025. Diantara rencana aksi dari cetak biru itu antara lain (1) diterbitkannya regulasi untuk mendorong serapan pasar produksi susu dalam negeri sebagai pengganti Inpres 4 Tahun 1998. (2) mendorong terbitnya regulasi School Milk Program untuk menjamin pasar bagi peternak rakyat yang memproduksi susu sekaligus meningkatkan konsumsi susu nasional.
Implementasi rencana aksi no. (1) sebenarnya telah diupayakan oleh Kementrian Pertanian dengan menerbitkan Permentan No. 26/2017 tentang Penyediaan dan Peredaran Susu setelah hampir 20 tahun persusuan nasional tidak memiliki regulasi/peraturan (setelah dicabutnya Inpres No 2/1985). Permentan ini diharapkan mampu menjadi salah satu tahapan solusi di antara solusi-solusi lainnya untuk mengurai permasalahan persusuan nasional dengan mengakselerasi penyediaan susu dalam negeri yang berkualitas dan berdaya saing. Sangat disayangkan Permentan ini hanya berusia 1 tahun, setelah diterbitkannya Permentan No. 33 tahun 2018 yang merevisi Permentan No. 26 tahun 2017. Dengan demikian saat ini terdapat “kekosongan” regulasi pemerintah yang khusus mengatur persusuan ini.
Demikian pula dengan implementasi rencana aksi no. (2), program kampanye minum susu segar khususnya melalui program susu sekolah (school milk program) harus mulai diterapkan walaupun secara bertahap. Pemerintah Daerah Sukabumi misalnya, pernah mencanangkan dan melaksanakan Program Gerimis Bagus (Gerakan Minum Susu bagi Anak Usia Sekolah), untuk meningkatkan konsumsi susu segar di kalangan murid SD, dengan dana dari APBD. Pemerintah daerah lainnya, seperti Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan dan Semarang, Jawa Tengah juga telah merintis program ini. Sejak tahun 2017, Pemerintah DKI Jakarta telah memasukkan produk susu ke dalam produk pangan yang tergolong mendapat subsidi dari pemerintah daerah. Dapat dibayangkan jika program susu sekolah ini dicanangkan dan dilaksanakan secara nasional dengan kewajiban meminum produk susu yang 100% atau sebagian mengandung komponen SSDN, maka hal ini akan mendorong produksi dan penyerapan SSDN sekaligus meningkatkan status nutrisi dan kesehatan anak-anak.
Kunci utama pengembangan industri persusuan yang tangguh dimanapun adalah tangguhnya aspek on-farm yaitu peternakan sapi perah (atau ternak perah lainnya) yang didukung oleh aspek off-farm yang tangguh pula. Seperti diuraikan sebelumnya, pasokan SSDN yang kurang, baik dari segi kuantitas juga kualitas adalah karena lemahnya aspek on farm peternakan sapi perah di Indonesia yang didominasi oleh peternakan rakyat.
Dalam kaitan ini, beberapa tantangan baik on-farm maupun off-farm harus diatasi oleh para pihak terkait dalam rangka membangun persusuan yang tangguh di Indonesia antara lain:
- ketersediaan lahan yang cocok untuk peternakan sapi perah (saat ini populasi sapi perah 98% ada di Pulau Jawa);
- ketersediaan, kontinuitas dan kualitas pakan terutama hijauan khususnya di musim kemarau;
- terkait dengan temperatur dan kelembaban di daerah tropis, maka alternatif penggunaan bangsa sapi perah selain FH perlu dipertimbangkan misalnya bangsa sapi Jersey atau Sahiwal;
- kualitas dan kuantitas air (karena peternakan sapi perah membutuhkan banyak sekali air);
- manajemen pengelolaan limbah padat dan cair agar bernilai guna dan tidak mencemari lingkungan;
- ketersediaan dan kualitas “replacement stock”; dan
- ketersediaan dan kualitas semen (sperma) beku.
- transformasi teknologi, good dairy farming practices dan pengorganisasian pada peternak rakyat
- regenerasi peternak/penciptaan peternak baru dari kalangan milenial
Off-Farm:
- penguatan koordinasi dan sinergitas antar Kementerian/Lembaga terkait disertai penguatan aspek legalitas sebagai payung hukum untuk pengembangan persusuan Indonesia.
- kemitraan yang saling menguntungkan antara industri dan/atau importir dengan peternak rakyat
- penerapan manajemen professional dan good corporate governance pada koperasi peternak
- perbaikan tataniaga dan rantai pasok persusuan yang lebih adil dengan tidak hanya menempatkan peternak rakyat sebagai pemasok bahan baku semata.
Harapan untuk Masa Depan
Rantai pasok (supply chain) dan rantai nilai (value chain) susu tidak hanya mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi banyak profesi, memberikan penghasilan harian bagi para peternak, dan menghasilkan pajak bagi negara, tetapi juga berdampak signifikan bagi pembangunan SDM bangsa.
Jika Pemerintah serius dengan misi pengembangan SDM unggul sebagaimana yang sudah dituangkan sebagai program prioritas nasional, maka sudah seharusnya pencapaian target dari indikator-indikator yang sudah ditetapkan tersebut diikuti dengan penyusunan regulasi dan program aksi nyata yang lebih detail disertai alokasi anggaran (budgeting policy) yang mendukung.
Pengembangan persusuan yang telah dituangkan dalam “Cetak Biru Persusuan Nasional 2013 – 2025” dapat dijadikan salahsatu dari sekian banyak aksi nyata untuk mendukung pencapaian SDM unggul tersebut. Data-data hasil kajian dan riset yang telah diuraikan sebelumnya dengan jelas menunjukkan betapa peran konsumsi protein hewani terutama susu sangat signifikan dalam meningkatkan kualitas tumbuh kembang anak-anak dan mengurangi kasus stunting juga malnutrisi.
Implementasi dari cetak biru tersebut harus diiringi dengan detail aksi nyata yang disertai alokasi anggaran dari setiap Kementrian/Lembaga (K/L) terkait dan dilakukan dengan segera mengingat tenggat waktu 2025 yang hanya tersisa 4 tahun lagi. Jika dimungkinkan dan diperlukan, Satuan Gugus Tugas (Satgas) Percepatan Pengembangan Persusuan Nasional yang beranggotakan perwakilan dari setiap K/L juga pemangku kepentingan lain yang terkait dapat dibentuk. Dalam hal ini, karena dalam rantai pasok susu di Indonesia melibatkan kewenangan 4 Kementerian yaitu Pertanian, Koperasi dan UKM, Perdagangan dan Perindustrian, maka dari itu Kementrian Koordinator Perekonomian dapat mengambil posisi sebagai pimpinan satgas nasional.
Di masa lalu Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan berbagai kebijakan pengembangan persusuan nasional untuk membangun ekonomi rakyat dan mendukung pembangunan SDM yang berkualitas. Diantara kebijakan tersebut misalnya, pembagian susu bubuk 1 minggu sekali untuk siswa TK dan SD, pembagian susu bubuk kaleng kepada seluruh prajurit ABRI (TNI dan Polri) setiap satu bulan sekali (milk for military) dan kampanye 4 sehat 5 sempurna. Lebih dari itu, dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) no. 2 tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional saat itu telah mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan persusuan nasional. Kebijakan ini cukup efektif dalam menumbuhkan keinginan masyarakat pedesaan untuk menjadi peternak sapi perah. Selama kurun waktu 1983-1993 misalnya, jumlah keluarga peternak sapi perah meningkat pesat dari 64.663 KK menjadi 98.000 KK atau meningkat sekitar 52%, dan sampai tahun 1993 importasi sapi perah FH dara bunting dilaporkan sudah mencapai sebanyak 125.000 ekor (Seohadji, 1993). Industri pengolahan susu juga bertambah dan tentu konsumsi susu masyarakat juga meningkat.
Sebagai referensi, di Thailand, sejak 1992 program susu sekolah (school milk program/SMP) telah ditetapkan sebagai program nasional. Pemerintah Thailand mengalokasikan APBN-nya untuk mendanai program ini dengan mengajak partisipasi industri susu dalam pelaksanaannya. Seluruh siswa TK dan SD di Thailand diwajibkan minum susu disaat makan siang. Saat ini 40% SSDN Thailand diserap oleh SMP-nya, sebagai akibatnya saat ini tinggi badan rata-rata anak-anak di Thailand meningkat 5 cm, angka malnutrisi turun, IQ rata-rata meningkat, kasus stunting pun menurun, pada akhirnya mempengaruhi HDI dan skor survey PISA. Dengan adanya SMP juga, saat anak-anak tersebut dewasa, mereka menjadi terbiasa mengkonsumsi susu sehingga konsumsi susu Thailand pada tahun 1985 yang hanya 2 kg/kap/thn pada 2016 sudah mencapai 28 kg/kap/thn (bandingkan dengan Indonesia pada tahun 2020 = 16,27 kg/kap/thn). Rata-rata kepemilikan sapi perah pada peternakan rakyat di Thailand saat ini adalah 10-13 ekor, selain itu mereka menjadi eksportir terbesar produk-produk olahan susu di ASEAN.
Demi kemajuan bersama seluruh pemangku kepentingan terkait, pada tahun 2008 Thailand membentuk lembaga “Dewan Susu”, anggotanya 25 orang, yang mewakili birokrat dari K/L terkait, BUMN, perwakilan peternak dan perwakilan industri pengolah susu. Mereka bersama-sama menentukan: standar kualitas susu, harga pokok/dasar susu segar, kampanye susu, program susu sekolah, perbaikan manajemen beternak dan kuota impor susu.
Dengan pengalaman berbagai kebijakan yang pernah ditempuh sebelumnya dan adanya komitmen bersama saat ini yang telah dituangkan dalam “Cetak Biru Persusuan Nasional 2013 – 2025”, penulis berkeyakinan bahwa Indonesia mampu mengembalikan “kejayaan” persusuan nasionalnya. Dengan semangat maju dan makmur bersama diantara peternak rakyat, peternak korporasi, koperasi, industri pengolahan susu/importir dan Pemerintah, mewujudkan persusuan nasional yang maju, modern, tangguh, berkualitas dan berkelanjutan bukanlah suatu hal yang mustahil untuk diwujudkan. Semoga.
Bogor, 31 Mei 2021
Bagus sekali, bangga terlibat di pemain susu
Sangat memberikan informasi pengembangan persusuan indonesia