New Normal di sektor Peternakan

New Normal di sektor Peternakan

Oleh  Rochadi Tawaf

Pandemic covid-19 telah mampu memorakporandakan tatanan kehidupan manusia dimuka bumi ini. Di Indonesia sejak pemerintah menetapkannya sebagai bencana nasional, hingga kini pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk meredakan perkembangan virus yang mematikan ini.

Suatu strategi baru dalam melawan virus corona, pemerintah memberlakukan konsep “new normal” atau era “normal baru”. Konsep ini berpijak pada keinginan untuk hidup berdampingan dengan covid-19 namun dalam tata kehidupannya tetap produktif sehingga pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Menurut Wiku Adisasmita (2020) bahwa new normal adalah perubahan perilaku untuk tetap menjalankan aktivitas normal. Namun, perubahan ini ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan guna mencegah terjadinya penularan dan berkembangnya Covid-19.

Menurut beberapa sumber bahwa Pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada skenario terburuk sebagai dampak pandemi COVID-19 akan terperosok ke -0,5%. Sementara Capaian kuartal I-2020 saja hanya 2,97% diduga jika tidak dilakukan berbagai  intervensi di kuartal berikutnya akan terjadi penurunan. Oleh karenanya dengan menerapkan konsep new normal dalam tatanan kehidupan masyarakat di semua sector, ekonomi Indonesia akan terselamatkan.

Di sector peternakan pun, pandemic covid-19 telah mampu mengubah tatakelola peternakan. Hal ini sebagai akibat diterapkannya protokol kesehatan. Dampaknya terhadap produksi mulai terasa, karena kendala ketersediaan sarana dan prasarana produksi, system logistik, tranposrtasi dan lainnya.

Pertanyaannya, apakah tatakelola peternakan mampu menyesuaikan diri dengan konsep new normal ini? Karena  disadari bahwa keberhasilannya sangat tergantung kepada perilaku masyarakat sendiri yang ingin atau tidaknya untuk berubah mengikuti perilaku kehidupan dari covid-19 tersebut. Sebagaimana diketahui, bahwa virus ini tidak akan berkembang jika masyarakat bersikap higienis (misalnya membiasakan cuci tangan dan menjaga jarak) atau menjauhi dari perilaku yang bisa menimbulkan tumbuhkembangnya virus atau penyakit lainnya yang tidak dikehendaki.

Di sektor peternakan khususnya pada peternakan sapi untuk menghasilkan produksinya (from farm to the table), tatakelolanya masih belum higienis sesuai dengan konsep kesehjahteraan hewan (animal welfare). Kondisi ini terjadi, karena didukung pula oleh perilaku konsumennya sendiri serta infrastrukturnya yang serba terbatas. Misalnya, bagaimana peternakan rakyat memproduksi daging sapi, didasarkan atas permintaan konsumen yang menyukai daging segar (hot meat).

Jika  saja,  konsep new normal diterapkan, maka suka atau tidak konsumen harus mengubah pola konsumsinya ke konsumsi daging beku (frozen meat). Perubahan ini akan mengubah tatakelola rantai pasok (supply chain) yang berdaya saing sehingga kesenjangan rantai nilai nya yang terjadi akan semakin berkurang antara produsen dan konsumen. Namun faktanya, tatakelola RPH belum melakukan pola rantai dingin (cold chain)?. Menurut catatan penulis, ternyata RPH milik pemerintah di Jawa tidak ada yang menerapkan pola ini. Selain itu, informasi dari pedagang daging bahwa alasan klasik yang terungkap dalam bisnis ini, ternyata konsumen masih memilih daging segar dengan harga yang lebih baik ketimbang daging beku. Melihat fakta sosialnya yang kontra produktif dengan harapan akan terjadinya perubahan melalui konsep new normal, rasa-rasa nya di sektor peternakan secara umum dalam kondisi normative, tidak mudah terjadi perubahan tatakelolanya dalam tempo yang sangat singkat.

Kondisi normative, yang dimaksud adalah suatu proses alami tanpa intervensi khusus. Sebab, secara teoritis proses adopsi yang diakibatkan oleh inovasi memerlukan waktu panjang. Prosesya terjadi mulai dari orang itu berminat, mencoba, melakukan evaluasi dan menerimanya. Adopsi ini dilakukan jika nilai manfaatnya dirasakan lebih baik ketimbang dengan kegiatan sebelumnya.

Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah pada proses new normal di sector peternakan? Menurut hemat penulis bahwa konsep perubahan sosial atau adopsi yang dipaksa, terpaksa dan biasa, merupakan cara pendekatan yang dapat diacu pada kondisi pandemic covid-19 dalam mengubah tatanan kehidupan dan tatakelola masyarakat veteriner. Konsumen daging sapi menurut Soedjana (2017) hanya 16 % dan hidup diperkotaan dapat dijadikan alasan kuat bagi berubahnya perilaku konsumen. Selain itu sebagian besar RPH di kota-kota besar adalah milik pemerintah. Sehingga jika pemerintah melakukan intervensi rantai dingin pada tatakelola rantai pasok daging sapi di RPH  saat ini adalah momentum yang paling baik.

Berbekal dari pembelajaran dan pengalaman 30 tahun yang lalu, dimana pemerintah gagal membangun RPH modern pola rantai dingin di 10 provinsi, dapat dijadikan acuan pula bagi keberhasilannya pada era pandemic covid-19. Pada saat itu, pemerintah hanya membangun fisik, tidak membangun kesisteman dan tidak didukung oleh situasi dan kondisi lingkungan lainnya. Kini. Situasi pandemic covid-19 dengan dukungan kebijakan new normal sangat memungkinkan dilakukannya intervensi dengan pembiayaan yang cukup.

Tahapan yang perlu dilakukan adalah: merevitalisasi RPH pemerintah di pusat konsumen daging di Jakarta, Banten dan jawa Barat. Sebab, tiga provinsi ini merupakan wilayah konsumen daging nasional. Tahapan berikutnya dilakukan di pusat-pusat produsen sapi potong, diikuti dengan infra struktur logistic angkutan yang berantai dingin.

Maksud merevitalisasi RPH, adalah melakukan standarisasi SNI RPH milik pemerintah dan NKV (nomor control veteriner),  memfungsikan rantai dingin yang ada atau memberlakukan rantai dingin lengkap dengan infra strukturnya sampai di pasar ritel. Program ini dilakukan mulai saat ini lengkap dengan proses sosialisasinya bagi para pedagang dan konsumen.

Sementara itu, dipusat-pusat produsen sapi potong seperti di Jateng, Jatim, Nusatenggara dan sulsel, dipersiapkan intervensi tahap berikutnya dengan mengubah pola usaha peternakan dari penggabungan usaha pembiakan dan penggemukan (cow calf operation) ke usaha yang dipisahkan antara pembiakan dan penggemukan dengan pola klustering.  Program ini pun memerlukan waktu dan proses yang tidak mudah, namun harus diyakini bahwa program ini dapat dilakukan dalam situasi pandemic covid-19.

Kiranya new normal di sector peternakan akan terwujud jika niat pemerintah ini dilakukan dengan konsep yang jelas dengan dukungan dana yang cukup. Semoga momentum ini akan mengubah tatakelola peternakan dan rantai pasok pada berbagai komoditi peternakan menjadi rantai dingin yang berdaya saing.   

Penulis adalah  Pakar PB ISPI, Yayasan CBC Indonesia dan Penasehat PP PERSEPSI Rochadi Tawaf

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *