MENGAPA SILASE SULIT DITERAPKAN?
Mansyur
Lektor Kepala pada Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran
Sebagai teknologi pengawetan hijauan, silase sudah sangat akrab didengar oleh kita, orang-orang yang berkecimpung dalam bidang peternakan. Silase dapat mempertahankan kuliatas hijauan dan mampu mensuplai kebutuhan hijauan pada saat kekurangan hijauan, seperti pada musim kemarau. Kegiatan untuk menyebarluaskan teknologi ini sangat masif, baik dalam bentuk penyuluhan, bimbingan teknis, ataupun kegiatan transfer teknologi lainnya, baik oleh pemerintah, koperasi, perguruan tinggi, maupun lembaga penelitian dan pengkajian.
Kenyataan yang ada hanya sedikit sekali peternak yang menerapkan silase sebagai upaya penyediaan hijauan pada musim kemarau. Pembuatan silase pada peternakan skala kecil paling-paling hanya untuk keperluan perlombaan kelompok, bukan sebagai keperluan individu peternak. Kegiatan penyuluhan dan sejenisnya hanya mampu meningkatkan pengetahuan peternak, bahwa silase adalah salah satu teknologi yang dapat dilakuan untuk penyediaan hijauan di musim kemarau, tetapi silase belum menjadi pilihan dan bukan kebutuhan dalam menyediakan hijauan.
Jangan menghakimi peternak tidak cerdas karena tidak menerapkan teknologi tersebut. Peternak adalah insan cerdas yang menggunakan pilihan rasional. Pilihan peternak biasanya sangat realitis, efiesin, dan ekonomis sesuai dengan kemampuan dan sumberdayanya. Perlu memahami kondisi emosional, sosial, dan ekonomi petani, bahwa mengapa silase sulit diterapkan atau bukan pilihan?.
Faktor penyebab
Marilah kita mencoba untuk mengurai kenapa silase ini belum menjadi pilihan dan bukan kebutuhan untuk penyediaan hijauan pada musim kemarau. Setidaknya ada beberapa penyebab atau alasan yang membuat hal itu terjadi, antara lain: kondisi iklim, jenis hijauan, kesediaan lahan, kepemilikan ternak, dan peralatan yang dibutuhkan.
Musim hujan, hijauan, terutama rerumputan, sangat tumbuh melimpah. Pada musim kemarau produksinya menurun, tetapi bukan berarti tidak ada hijauan. Bahkan beberapa tanaman legum pohon masih tetap hijau. Sepanjang masih mau mencari sumber hijauan, masih banyak sumber hijauan alternatif yang bisa digunakan. Hanya saja curahan tenaga kerja yang diberikan akan lebih banyak. Akan tetapi hal tersebut menjadi tidak masalah ketika curahan tenaga kerja tidak dihitung dan peranan ternak bukan sebagai komoditas utama ekonomi.
Apabila kita lihat strukur kepemilikan sapi di Indoseia sebagai berikut satu ekor (67%), dua ekor (26%), tiga ekor (6%), empat ekor (1%), dan lebih dari lima ekor (0,09%), artinya sangat sedikit sekali peternak yang menempatkan ternak sebagai unit usaha utama. Fungsi dan peranan ternak sebagai tabungan, sumber pupuk, dan sosial masih sangat dominan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran ternak sebagai bagian integral dari suatu usaha pertanian. Dengan menggunakan sisa limbah pertanian dan sisa curahan tenaga kerja masih memadai untuk mensuplai kebutuhan hijauan ternak yang dimiliki. Ketika akang membuat silase, investasi yang dibutuhkan lebih besar dari nilai aset ternak yang dipunyai, sehingga hal tersebtu menjadi tidak ekonomis.
Kepemilikan lahan menjadi faktor selanjutnya, kepemilikan lahan yang kecil, menempatkan penanaman hijauan pada posisi yang ketiga setelah kebutuhan pangan dan tanaman ekonomis. Hijaun biasanya ditanam berperan tanaman sela, pagar, ataupun sengkedan. Ketersediaan hijauan bukan berbasis kepemilikan lahan tetapi “berbasis kekuatan pundak”. Hijauan yang dipanen/diambil hari ini cukup untuk kebutuhan hari ini, karena pundak yang tersedia hanya untuk kebutuhan hari ini, tidak ada untuk yang diawetkan.
Hijauan tropis mempunyai kadar gula rendah, sehingga untuk dibuat menjadi silase diperlukan tambahan karbohidrat siap cerna. Untuk mencampurkannya menjadi tidak efisein, karena tambah tenaga juga tambah biaya. Dalam skala besar perlu mesin pencampur khusus. Belum lagi bicara ketersediaan bahan aditif tersebut. Hijauan yang mempunyai kandungan gula tinggi hanya sedikit, sementara hanya jagung dan sorghum yang bisa langsung dibuat silase. Penggunaan hijauan tinggi kadar gula akan mereduksi penggunaan mesin pencampur hijauan.
Peralatan untuk mendukung membuat silase yang baik ada tiga yaitu chopper, mixer, dan silo. Peranan chopper dan mixer ketika dalam penyuluhan tidak terasa, karena kita hanya membuat percontohan dalam kapasitas kecil, paling banyak juga 100 kg rumput. Ketika memproduksi sudah lebih dari satu ton dan hijauan yang dipakai rendah kadar gula, memotong dan mencampur dengan tangan menjadi tidak efektif lagi. Selanjutnya pengguna silo menjadi kunci penting. Silo-silo yang ditawarkan dalam bentuk plastik, tong, maupun bunker masih belum praktis dan tidak mencapai keekonomisan untuk menyimpan hijauan untuk ukuran peternak yang kepemilikan ternak dibawah lima ekor.
Kapan Silase Efektif?
Silase akan efektif ketika dibuat dalam sebuah kelompok besar atau koperasi sebagai sebuah unit usaha khusus penyedia hijauan, karena tidak bisa dilakukan oleh petani dengan kepemilikan rendah, tanpa lahan dan hijauan, serta tidak mempunyai alat-alat pendukung. Pada pembuatan silase, pembuatan dalam jumah besar, akan menghasilkan produks yang lebih efisien. Menggunakan silo tipe bunker atau trance dengan hijauan kadar gula tinggi, dan dilengkapi dengan chopper yang bagus, dengan tong sebagai wahana untuk isi ulang dapat diproduksi silase isi ulang (SIUL) yang lebih efisen. Kalau tidak bisa memenuhi syarat tersebut lebih baik hentikan saja transfer pengetahuan mengenai silase, karena akan menjadi sesuatu yang sia-sia.
Selanjutnya, untuk sistem peternakan yang mempunyai kepemilikan ternak rendah dan keterbatasan lahan perlu alternatif lain penanggulangan kekurangan hijau di musim kemarau. Upaya yang dapat dilakukan adalah pengembangan model sistem pertanian di lahan sempit, eksplorasi dan pengembangan hijauan tahan kekeringan, dan optimalisasi dan konservasi penggunaan limbah pertanian. Model-model seperti sistem tiga strata (STS) yang dimodifikasi sesuai argroekosistem perlu terus digali. Ekplorasi jenis jenis hijauan Indonesia yang tumbuh baik pada musim kering perlu terus dikembangkan, dan pembentukan kultivar yang adaptif pada kekurangan air dan mempunyai kualitas dan produktivitas lebih tinggi perlu terus diupayakan. Hasil ikutan tanaman pangan yang panen saat musim kering, seperti kacang tanah, pucuk tebu, singkong, umbi-umbian perlu dioptimalkan penggunaannya untuk penyedian hijauan pada saat musim kering. SEKJEN PB ISPI