Sungguh ironi. Negeri agraris besar ini ternyata semakin kewalahan memenuhi hampir semua jenis kebutuhan pangannya. Produktivitas padi dinilai sudah leveling off pada angka 5,2 ton/ha bahkan mulai menurun (Bustanul Arifin, Misteri Penurunan Produktivitas Padi, Kompas Jum’at 3 Juli 2020). Selain penurunan produktivitas lahan, tingginya laju konversi lahan sawah untuk penggunaan lain juga memperburuk kinerja produksi padi nasional. Padahal di sisi lain kebutuhan pangan nasional terus meningkat. Dengan laju pertambahan penduduk seperti sekarang (1,19%/tahun) maka jumlah penduduk bisa meningkat menjadi dua kali lipat dalam 58 tahun.
Situasi ini sudah saatnya dicermati dengan serius. Tantangan besar tersebut harus dihadapi dengan strategi pembangunan pertanian yang cerdas berbasis iptek. Pembangunan pertanian selama ini kurang mendukung penerapan praktik pertanian yang baik (good agricultural practices). Sebagai contoh, program pupuk bersubsidi sangat berpihak pada pupuk kimia dan kurang mendorong penggunaan pupuk organik. Praktik budidaya pertanian yang dilakukan petani selama ini juga kurang berpihak pada restorasi bahan organik tanah dan unsur hara mikro. Penggunaan herbisida, pestisida, dan fungisida (untuk pengendalian gulma dan hama/penyakit tanaman) yang tidak ramah lingkungan juga menyisakan dampak negatif.
Setelah berlangsung puluhan tahun praktik pertanian yang keliru terbukti berujung pada penurunan kualitas dan produktivitas lahan. Kadar bahan organik tanah semakin menurun. Penurunan bahan organik ini berdampak negatif terhadap sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dampak negatif juga terjadi pada kehidupan mikroba tanah dan kemampuan tanah menahan air. Selain itu, beberapa unsur hara mikro (yang diabaikan dalam pembuatan pupuk kimia) diyakini mulai menjadi faktor pembatas produksi (the law of minimum Liébig). Resultan dari semua efek negatif tersebut adalah ketidakmampuan lahan menyediakan unsur hara (nutrients) dalam jumlah yang cukup dan berimbang untuk tanaman.
Sudah saatnya dilakukan reorientasi pembangunan pertanian. Program pembangunan pertanian harus dengan cermat mengintegrasikan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture). Sistem pertanian berkelanjutan (SPB) dapat menjamin terwujudnya proses produksi secara berkelanjutan baik dari aspek teknologi, ekonomi, maupun sosial. Dari sisi teknologi SPB menerapkan teknik budidaya yang menjamin kelestarian lahan sebagai media tanam; kelestarian bahan tanam (benih/bibit); serta optimasi bioproses produksi. Praktik pertanian berkelanjutan secara bertahap akan memulihkan kondisi dan produktivitas lahan pertanian.
Salah satu alternatif solusi memulihkan lahan pertanian adalah memadukan usaha tanaman dengan ternak. Integrasi ternak-tanaman crop-livestock system (CLS) adalah bentuk praktik baik yang banyak dilakukan nenek moyang. Banyak literatur mengungkap praktik CLS menjamin terwujudnya pertanian berkelanjutan. Kehadiran pupuk kandang akan menambah bahan organik tanah yang selanjutnya memperbaiki kehidupan mikroba, aktivitas enzim tanah, kapasitas tukar kation, ketersediaan unsur hara, serta kemampuan tanah menahan air (Maughan, et al. 2009 dan Acosta-Martines, et al. 2014). Perlu dicatat bahwa penggunaan pupuk kandang juga akan memasok mineral mikro, karena mineral tersebut selalu ditambahkan ketika ransum ternak disusun, yang sebagian tidak terserap dan ke luar melalui feses.
Integrasi ternak-tanaman di masa depan sangat prospektif terutama jika dirancang untuk mengeksplorasi hubungan sinergis antara kedua jenis komoditas menuju model produksi nir limbah (zero waste). Secara biologis kedua komoditas saling memerlukan. Selain feses ternak untuk pupuk organik, biomassa tanaman sisa usaha tani sangat diperlukan untuk pakan hijauan yang semakin sulit diperoleh sejak keterbatasan lahan untuk menanam rumput unggul. Secara ekonomis bisnis kedua komoditas akan saling menenggang dari sisi modal usaha, terutama ketika salah satu komoditas menghadapi masalah. Sampai saat ini, berbagai pola integrasi tanaman-ternak terus berkembang, salah satu yang cukup sukses adalah integrasi sapi-sawit di Sumatera dan Kalimantan.
Pilihan paduan komoditas ternak-tanaman serta pola integrasi harus sesuai, sehingga benefit yang diperoleh kedua komoditas optimal. Menurut Hilimire (2011) terdapat 3 pilihan pola integrasi tanaman-ternak: integrasi terpisah (spatially separated) yaitu ternak tidak bergabung di lahan; integrasi secara rotasi (rotational) yaitu tanaman dan ternak menggunakan lahan secara bergantian; serta fully combined yaitu tanaman dan ternak bergabung di lahan secara bersamaan. Pola integrasi terpisah lebih banyak diterapkan karena teknis pengelolaannya lebih mudah dan aman.
Pemulihan lahan sawah untuk meningkatkan produktivitas padi dapat meringankan beban pemulihan ekonomi pasca wabah Covid-19. Upaya tersebut dapat diawali dengan mengalihkan sebagian dana subsidi pupuk kimia untuk mendorong integrasi tanaman-ternak. Hukum Liébig mungkin dapat digunakan untuk meyakinkan pemerintah bahwa sebagian pupuk kimia bersubsidi yang ditebar ke lahan sawah bernasib sia-sia, karena efektivitasnya telah dibatasi oleh unsur hara pembatas. Penulis berharap isu ini dapat dibahas secara mendalam dalam forum yang lebih luas, yang kelak melahirkan rekomendasi kebijakan untuk menyusun strategi pembangunan pertanian yang cerdas. (Tulisan oleh: Dr. Ir. Erwanto, M.S., Dosen Fak. Pertanian Unila & Anggota ISPI)
Referensi
- Acosta-Martinez, V., T.M. Zobeck and V. Allen. 2004. Soil, microbial, chemical and physical properties in continuous cotton and integrated crop-livestock systems. Soil Science Society of America Journal, 68:1875-1884.
- Hilimire, K. 2011. Integrated crop/livestock agriculture in the United States: A Review. Journal of Sustainable Agriculture, 35(4):376-393.
- Maughan, M.W., J.P.C. Flores., I. Anghinoni., G. Bollero., F.G. Fernandez and B.F. Tracy. 2009. Soil quality and corn yield under crop-livestock integration in Illinois. Agronomy Journal, 101:1503-1510.