PENGEMBANGAN KERBAU KALIMANTAN SELATAN

Pengembangan Kerbau Kalimantan Selatan
Prof. Dr. Ir. Muhammad Rizal, M.Si

Kerbau rawa yang ada di Kalimantan Selatan sejak tahun 2012 secara resmi telah diakui sebagai salah satu rumpun kerbau lokal dan menjadi kekayaan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia yang harus dilindungi dan dilestarikan, dan diberi nama Kerbau Kalimantan Selatan. Pengakuan ini tertuang di dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 2844/Kpts/LB.430/8/2012. Di dalam SK Mentan tersebut dinyatakan bahwa kerbau Kalsel berasal dari dataran Tiongkok yang dibawa oleh orang Tionghoa yang datang ke Kalimantan. Kerbau Kalsel tersebut tersebar di beberapa wilayah kabupaten, yakni: Hulu Sungai Utara, Banjar, Kotabaru, Tanah Laut, Tanah Bumbu, Barito Kuala, Hulu Sungai Tengah, dan Hulu Sungai Selatan. Kata-kata dilindungi dan dilestarikan di dalam SK Mentan tersebut tentu saja memiliki makna bukan hanya sekedar dipertahankan keberadaannya, tetapi kerbau Kalsel tersebut juga harus dikelola dengan baik dan benar agar berdampak positif terhadap perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Kerbau Kalsel sebenarnya adalah jenis kerbau lumpur, sama dengan kerbau yang umum terdapat di wilayah lain di Indonesia. Hal yang paling membedakan antara kerbau Kalsel dengan kerbau lumpur yang ada di pulau-pulau lain adalah habitat hidupnya. Kerbau Kalsel menghabiskan hidupnya di daerah-daerah rawa, sehingga memiliki kemampuan adaptasi yang baik pada keterbatasan lingkungan. Peternakan kerbau Kalsel merupakan suatu bentuk usaha yang telah dilakukan bertahun-tahun secara turun temurun dengan memanfaatkan areal-areal rawa sebagai lahan penggembalaan dan kalang sebagai “kandang” tempat istirahat dari sore hingga pagi setelah seharian merumput di rawa. Hal ini yang menyebabkan kerbau Kalsel tersebut juga dikenal dengan nama kerbau kalang.
Kabupaten Hulu Sungai Utara merupakan wilayah dengan populasi kerbau Kalsel terbanyak di Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan fakta ini, sejak tahun 2014 Kabupaten HSU telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementan melalui SK Dirjen PKH Nomor 1212/Kpts/F/12/2014 sebagai salah satu di antara tujuh kabupaten terpilih di Indonesia dalam melaksanakan kegiatan penguatan pembibitan kerbau. Dengan demikian, diharapkan bahwa suatu saat nanti Kabupten HSU akan menjadi sumber bibit kerbau Kalsel. Program Kementan tersebut menjadi strategis mengingat terjadinya kecenderungan penurunan populasi kerbau Kalsel di Kabupaten HSU dan juga di Provinsi Kalsel pada umumnya. Penurunan jumlah populasi disebabkan oleh berbagai faktor. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah tidak seimbangnya antara jumlah kerbau yang keluar (dipotong atau dijual keluar daerah Kalimantan Selatan) dengan jumlah kelahiran.
Salah satu faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya tingkat kelahiran dan juga mungkin penurunan kualitas genetik kerbau di Kalimantan Selatan adalah tingginya kejadian perkawinan sedarah (inbreeding).  Inbreeding terjadi karena masih rendahnya penerapan tatalaksana peternakan yang baik dan benar, di mana peternakan kerbau di Kalimantan Selatan masih dikelola dengan pola pemeliharaan ekstensif.  Salah satu yang belum diterapkan pada sistem peternakan kerbau Kalsel adalah pencatatan (recording), terutama pencatatan dalam bidang kegiatan reproduksi.  Inbreeding banyak terjadi karena tidak dilakukan penggantian pejantan di dalam suatu kelompok kecil ternak secara teratur dalam periode waktu tertentu, sehingga seekor kerbau jantan berpeluang mengawini ibunya atau saudara betinanya. Salah satu indikator yang diduga sebagai akibat dari tingginya tekanan inbreeding adalah lahirnya beberapa anak kerbau “bule” (albino) di dalam suatu kelompok ternak. Fenomena kerbau albino sudah banyak muncul di Kecamatan Paminggir sebagai salah satu sentra peternakan kerbau Kalsel di Kabupaten HSU. Secara umum, tingginya tekanan inbreeding akan mengakibatkan menurunnya performa ternak, termasuk pada kerbau Kalsel.  
Menurut penulis, ada beberapa permasalahan yang dihadapi peternakan kerbau Kalsel dalam upaya pengembangannya, antara lain: rendahnya ketersediaan bibit unggul, kurangnya pejantan unggul, kontinuitas ketersediaan pakan sepanjang tahun, pencegahan dan pengobatan penyakit, pemotongan kerbau produktif, dan status lahan (padang) penggembalaan ternak. Kesemua permasalahan ini harus ditemukan solusinya agar peternakan kerbau Kalsel dapat dipertahankan keberadaannya dan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Telah terbukti bahwa kerbau Kalsel merupakan komoditas andalan masyarakat dalam menghidupkan perekonomian, terutama di Kecamatan Paminggir sebagai wilayah dengan populasi kerbau Kalsel terbanyak di Kabupaten HSU.
Bibit unggul dihasilkan melalui penerapan prinsip-prinsip pembibitan yang sesuai (good breeding practice atau GBP). Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menerapkan prinsip-prinsip pembibitan yang baik adalah: ketersediaan sarana dan prasarana, tatalaksana pemeliharaan, dan proses produksi bibit yang meliputi perkawinan, recording, seleksi, ternak pengganti (replacement), dan sertifikasi. Produk (bibit) yang dihasilkan oleh peternakan yang menerapkan GBP harus dibekali dengan dokumen berupa surat keterangan layak bibit (SKLB), setelah produk bibit ternak tersebut dinilai kesesuaiannya dengan standar yang telah ditentukan (untuk bibit ternak kerbau Kalsel mengacu pada SNI 8292.1:2016). Penerbitan SKLB merupakan langkah awal sebelum produk yang dihasilkan mendapatkan pengakuan dari Lembaga Sertifikasi Produk (LSPro). Harga jual ternak yang berkualifikasi bibit harus lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukan bibit, dan hal ini harus diatur dengan regulasi pemerintah agar mengikat. Mengapa harga bibit harus lebih tinggi? Karena peternakan yang dikelola secara khusus untuk menghasilkan bibit merupakan suatu jenis usaha yang padat modal dan periode proses produksi yang lama. Hal yang lebih penting adalah bahwa produk (bibit) yang dihasilkan memiliki silsilah yang jelas dan kualitas genetik baik serta dapat diprediksi kemampuan produksinya. Peternakan kerbau Kalsel belum dikelola sesuai dengan persyaratan tersebut di atas, sehingga perlu pembenahan secara bertahap dan berkelanjutan.
Masalah kurangnya pejantan unggul dapat diatasi dengan penerapan sistem perkawinan intensifikasi kawin alam (INKA) dan teknologi inseminasi buatan (IB). Penerapan INKA dilakukan dengan cara memasukkan pejantan unggul ke dalam suatu kelompok induk yang tidak memiliki hubungan darah (kekerabatan) yang dekat. Penggunaan pejantan sebagai pemacek harus dibatasi dalam jangka waktu tertentu untuk mencegah terjadinya inbreeding. Pejantan-pejantan unggul juga dapat dirotasi di antara kelompok-kelompok peternak yang ada. Penggantian pejantan dapat juga dilakukan dengan cara memasukkan pejantan-pejantan kerbau lumpur yang berkualitas tinggi dari luar Provinsi Kalimantan Selatan. Sebagai tahap awal, penerapan teknologi IB dapat dilakukan dalam skala kecil seiring dengan dilakukannya upaya perbaikan manajemen pemeliharaan ternak secara komprehensif. Salah satu kendala utama yang menghambat penerapan IB pada kerbau Kalsel adalah terlalu sedikitnya jumlah betina yang dapat dijadikan sebagai akseptor karena umumnya kerbau-kerbau tersebut “liar” sehingga sulit dikendalikan. Manajemen ternak betina pasca-IB yang belum memenuhi standar menjadi salah satu faktor penyumbang terbesar belum berkembangnya secara baik aplikasi IB pada kerbau Kalsel. 
Kontinuitas ketersediaan pakan sepanjang tahun menjadi syarat mutlak dalam penerapan GBP. Beberapa permasalahan terkait dengan pakan untuk peternakan kerbau Kalsel adalah: kandungan gizi pakan hijauan relatif rendah, beberapa jenis rumput berkualitas dan disukai kerbau jumlahnya berkurang, musim kemarau atau musim hujan yang berkepanjangan, dan alih fungsi lahan menyebabkan produksi hijauan menurun. Solusi yang dapat dipertimbangkan untuk mengatasi hal tersebut adalah: rotasi penggunaan lahan penggembalaan (dengan membuat petak-petak atau paddock pada lahan), budidaya hijauan lokal yang telah adaptif pada lahan penggembalaan sehingga populasinya lebih banyak, upaya budidaya rumput dan legum non lokal, pemanfaatan limbah pertanian untuk mengatasi kesulitan pakan pada saat musim paceklik, dan penerapan teknologi pengolahan pakan berupa silase dan amoniasi. Lahan penggembalaan direvitalisasi dengan cara membasmi tumbuhan gulma dan menggantinya dengan menanam rumput alam seperti padi hiyang, kumpai batu, kumpai mining, kumpai minyak, dan lain-lain, yang sudah lazim dikonsumsi oleh kerbau Kalsel. Hasil pengamatan penulis, lahan penggembalaan di wilayah Kecamatan Paminggir telah banyak ditumbuhi oleh tumbuhan gulma, sehingga menurunkan produksi hijauan yang dapat dikonsumsi oleh kerbau.
Pencegahan dan pengobatan penyakit pada kerbau Kalsel juga harus mendapatkan perhatian yang cukup. Pengadaan Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan) harus ditempatkan di daerah yang strategis, sehingga petugas dapat dengan efektif dan efisien melayani kebutuhan peternak di wilayah sekitar. Poskeswan harus dilengkapi dengan peralatan dan obat-obatan, dan dokter hewan atau tenaga paramedik siap setiap saat melayani peternak. Poskeswan juga dapat dilengkapi dengan peralatan dan bahan untuk keperluan pelayanan IB. Dokter hewan atau tenaga paramedik dilatih secara khusus agar terampil dalam pelaksanaan IB, sehingga sekaligus berfungsi sebagai inseminator. Hal yang lebih penting adalah bahwa peternak harus menerapkan tatalaksana peternakan dengan prinsip “mencegah lebih baik dan lebih murah daripada mengobati”. Peningkatan pengetahuan peternak tentang tatalaksana peternakan yang baik dan benar menjadi kewajiban bagi berbagai pihak yang terkait langsung dengan dunia peternakan seperti: pemerintah daerah (Dinas Peternakan), lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lain-lain.
Pengendalian atau pencegahan pemotongan betina produktif harus diupayakan semaksimal mungkin. Regulasi pemerintah menyangkut hal ini sebenarnya sudah ada, yakni Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/7/2011 tentang Pengendalian Ternak Ruminansia Betina Produktif. Saat ini yang perlu dibenahi adalah aspek pelaksanaan Permentan tersebut di lapangan. Fakta menunjukkan bahwa masih terjadi pemotongan betina produktif di rumah pemotongan hewan (RPH) milik pemerintah maupun di tempat pemotongan ternak yang dikelola oleh masyarakat. Betina produktif harus dilindungi karena mereka adalah “pabrik” yang akan mempertahankan kontinuitas ketersediaan bibit. Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan untuk menurunkan tingkat pemotongan betina produktif adalah dengan memberikan dana talangan kepada peternak. Peternak yang akan menjual ternaknya (betina produktif) karena membutuhkan dana, dicegah dengan cara menutupi kebutuhannya tersebut melalui dana talangan. Mekanisme dan detail tentang dana talangan tersebut memerlukan pembahasan dan pengaturan sedemikian rupa di dalam kelompok peternak dan melibatkan pemerintah setempat. 
Salah satu yang perlu dipertimbangkan untuk segera diwujudkan terkait dengan upaya pengembangan ternak kerbau Kalsel adalah penyediaan payung hukum sebagai bentuk perlindungan terhadap lahan penggembalaan ternak.  Areal-areal rawa yang selama ini sudah dimanfaatkan secara turun temurun oleh peternak sebagai lahan penggembalaan ternak kerbau perlu dilindungi dalam bentuk peraturan khusus seperti PERDA, sehingga ada kejelasan serta perasaan aman dan nyaman bagi peternak dalam mengembangkan usaha ternaknya. Kalaupun harus terjadi alih fungsi lahan dari areal penggembalaan ternak ke peruntukan yang lain, maka harus ada solusi penggantian lahan di lokasi yang tidak terlalu jauh dari tempat pemukiman peternak.  
Sebagai catatan, lahan penggembalaan merupakan faktor yang krusial dalam usaha peternakan kerbau.  Seintensif apapun sistem pengelolaan peternakan kerbau yang diterapkan, kebutuhan lahan dalam jumlah yang tidak sedikit (bergantung pada jumlah kerbau) adalah sesuatu yang mutlak. Sebenarnya, areal yang selama ini dimanfaatkan oleh peternak sebagai lahan penggembalaan ternak kerbau adalah merupakan wilayah genangan air yang tidak dikelola secara khusus sebagai lahan produktif sepanjang tahun, sehingga jika areal tersebut dialihfungsikan ke peruntukan yang lain seperti perkebunan, perumahan, pabrik, dan lain-lain akan memberikan kontribusi pada terjadinya banjir pada saat musim hujan, kebakaran lahan pada saat musim kemarau, dan kerusakan ekosistem rawa. Kehadiran kerbau di areal rawa tersebut telah menciptakan simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) antara sesama biota penghuni rawa. Ringkasnya, sektor peternakan juga harus memiliki bentang lahan yang jelas dan tertuang di dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) pada setiap daerah otonom.
Sisi lain yang juga perlu mendapatkan perhatian dan sentuhan khusus dari pihak berwenang terkait dengan peternakan kerbau Kalsel tersebut adalah potensi wisata yang dimilikinya. Dengan melengkapi berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan disertai upaya promosi yang memadai, peternakan kerbau Kalsel dapat dikembangkan menjadi salah satu obyek wisata alam berupa agrowisata. Berkembangnya sektor pariwisata akan berdampak positif terhadap tumbuhnya perekonomian rakyat. 
Melalui sentuhan dari berbagai lini, diharapkan bahwa usaha peternakan kerbau Kalsel sebagai salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Kalimantan Selatan tetap dapat dipertahankan keberadaannya, sesuai dengan amanat SK Mentan tahun 2012 tersebut di atas. Dengan demikian, kita masih dapat mewariskan salah satu komoditas andalan masyarakat Kalimantan Selatan kepada anak cucu di masa yang akan datang (kewajiban bagi kita yang memperoleh warisan untuk mewariskannya kembali).

*Penulis adalah Guru Besar dalam Bidang Ilmu Reproduksi Ternak pada Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, ULM. Anggota Dewan Pakar Ikatan Sarjana Peternakan (ISPI) Cabang Kalimantan Selatan.Sudah terbit pada Koran Radar Banjarmasin tanggal 17 September 2019 Kolom Opini Halaman 27 SEKJEN PB ISPI