Kemelut perunggasan sesungguhnya dimulai sejak di introduksikannya broiler tahun 1970 dan boomingnya back yard farming (peternakan rakyat) tahun 1980an. Pada Lokakarya Perunggasan Nasional (Logasnas) tahun 1987 masyarakat Peternak meminta peninjauan kembali Kepres 50/81 tentang pembinaan peternak. Kemudian, tahun 1990an terjadi over supply DOC dan kelangkaan jagung karena kemarau panjang dan krisis moneter, bisnis perunggasan mengalami kontraksi kembali. Penyebabnya utamanya 60% sarana produksinya usaha ini berasal dari impor. Di awal tahun 2000an diintroduksikannya sistem agribisnis perunggasan. Sistem inilah yang membuat industri perunggasan tumbuh pesat. Kemelut perunggasan di era sebelum tahun 2009, keberadaan peternakan rakyat masih bisa berlindung pada UU PKH No. 6/67. Tatkala terjadi perubahan UU PKH ditahun 2009 dan diperbaiki di tahun 2014, nomenklatur peternakan rakyat tidak dikenal lagi. Dari semua kemelut tersebut hingga kini yang dirugikan adalah peternakan rakyat.
Selama tiga tahun terakhir, fenomena yang terjadi adalah perkasanya bisnis Industri Perunggasan dibandingkan dengan peternak rakyat (peternak mandiri). Hal ini sebagai akibat dari penentu kebijakan melakukan dikotomi terhadap keduanya. Kondisi ini, sebenarnya dampak dari diintroduksikannya sistem agribisnis dalam industri perunggasan nasional 20 tahun lalu. Sesungguhnya sistem ini akan menjadi tangguh tatkala integrasinya dari hulu ke hilir dilakukan secara vertikal. Malangnya peternak mandiri belum mampu, memenuhi tuntutan tersebut. Artinya Negara tidak mampu memberikan perlindungan dan pelayanan ketersediaan sarana produksi kepada peternak mandiri. Sehingga, produknya menjadi tidak berdaya saing atau kalah bersaing dengan industri.
Berbagai upaya untuk menyelesaikan kemelut tersebut, pemerintah telah melahirkan beberapa kebijakan. Misalnya, untuk mengatasi fluktuasi harga melalui kebijakan penetapan harga acuan (Permendag No.7/2020), indikasi adanya kartel dalam pemasaran produk unggas (sidang Masalah Kartel di KKPU), ketersediaan bahan baku jagung (Permendag No. 21/2018 Tentang Ketentuan Impor Jagung): Pola kemitraan (Permentan No.13/2017 Tentang Kemitraan Usaha Peternakan), Impor GPS (Permentan No 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi), cutting HE (SE Dirjen PKH No. 18029/2020 dan No. 19037/2020) dan Afkir dini (Pementan No. 26/2016). Seluruh kebijakan tersebut baru menyentuh fenomena yang terjadi belum sampai ke akar masalahnya, yaitu terjadinya dikotomi dalam industri perunggasan. Seharusnya, pemerintah mampu menghilangkan dikotomi tersebut dengan membangun industri perunggasan yang tangguh.
Cara-cara penyelesaian masalah yang dilakukan selama ini ternyata tidak mampu menghentikan gejolak harga dan kerugian usaha yang diderita peternak mandiri. Oleh karenanya, sangat wajar peternak mandiri menggugat pemerintah dalam hal ini Ditjen PKH, Menteri Pertanian dan Presiden RI sebesar Rp. 5,4 T karena dianggap lalai melakukan pembinaan, perlindungan bahkan cenderung pembiaran terhadap kondisi usaha yang tidak kondusif, membuat kerugian usaha peternak mandiri. Disisi lain para pengusaha industri peternakan unggas telah meraup kentungan usaha berlipat-lipat. Maka sepatutnya di pertanyakan, Quo Vadis Peternakan Unggas?
Industrialisasi perunggasan
Bisnis perunggasan merupakan usaha ternak yang lebih maju dibandingkan dengan usaha ternak lainnya. Inovasi teknologi budidaya sangat cepat di adopsi peternak. Atas dasar tuntutan permintaan, peluang pasar dan persaingan usaha yang terbuka, bisnis ini telah berubah menjadi industri yang mampu tumbuh dan berkembang dengan kuat.
Di sisi lainnya, peternak mandiri pun tumbuh dan berkembang mengikuti industrinya. Namun faktanya, mereka telah ditinggalkan oleh industrinya. Kini, peternak mandiri menjadi bulan-bulanan dalam sistem pasar bebas yang ada. Sehingga mereka menderita kerugian yang sangat signifikan.
Dikotomi industri dan peternak mandiri mestinya tidak terjadi, logikanya mereka dapat hidup berdampingan membentuk industri perunggasan yang tangguh bukan hanya kuat. Tangguhnya industri ini, dicirikan atas ketersediaan sarana produksi dan sumber daya domestik yang mampu mendukung sistem agribisnis perunggasan nasional. Bukan karena dukungan sarana produksi, yang berbasis impor.
Langkah yang harus ditempuh adalah melalui korporatisasi peternakan mandiri. Bentuk korporatnya, bisa BUMDESA, Koperasi dan badan hukum usaha lainnya. Hal ini, perlu dilakukan dalam rangka melaksanakan tahap berikut, yaitu melalui bantuan pemerintah badan hukum usaha peternakan mandiri membeli saham industri perunggasan skala besar (Tbk) di bursa saham. Jika saja pembelian sahamnya secara dominan dimiliki oleh peternakan mandiri, maka tentunya pengembangan industri perunggasan tidak lagi ada dikotomi kelembagaan. Sehingga tujuan pembangunan perunggasan dapat dinikmati semua pelaku bisnis, baik peternak mandiri maupun industri karena mereka satu perahu.
Kebijakan Perunggasan
Dalam jangka pendek, penyelesaiannya dapat dilakukan melalui kehadiran/peran Negara, yang direpresentasikan oleh BULOG/BUMN/BUMD di tengah-tengah anjloknya harga ayam di peternak. Solusi ini, sekaligus untuk mengatasi masalah stunting dan krisis daya beli akibat pandemi melalui program pemulihan ekonomi. Kasus ini pernah dilakukan pemerintah Daerah Jawa Barat dengan asosiasi peternak Unggas.
Dalam jangka menengah, perlu dilakukan harmonisasi kebijakan yang kontra produktif. Misalnya, memperbaiki Tupoksi Ditjen PKH (Permentan No. 43/2015 tentang organisasi dan tatakerja Kementan) , karena tupoksi ini pemerintah tidak punya kewajiban mengurus peternak agar menjadi sejahtera dengan bisnis yang menguntungkan. Selain itu, menjadikan komoditi unggas masuk dalam Bahan Pangan Pokok dan Barang Penting (Bapoktin) sehingga daging ayam dan telur dapat dijadikan Cadangan pangan nasional (Perpres No. 71/2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Bapokting). Dampak dari kebijakan ini diharapkan negeri ini akan memiliki GPS ayam Indonesia yang selama ini 100 % tergantung impor.
*Sebelumnya sudah dimuat di Harian Kompas