REKOMENDASI TENTANG PENGEMBANGAN SAPI CROSSBRED BELGIAN BLUE DI INDONESIA

REKOMENDASI TENTANG PENGEMBANGAN SAPI CROSSBRED BELGIAN BLUE

DI INDONESIA

Oleh: Nuzul Widyas dan Tri Satya Mastuti Widi

Pemerintah mengintroduksikan sapi Belgian Blue (BB) untuk dikembangkan di Indonesia dengan pertimbangan teknis, bahwa sapi BB memiliki produksi daging yang tinggi sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan daging merah di Indonesia. Benarkah sesederhana itu? Adakah konsekuensi negatif yang dibawa dengan adanya program ini? Mari kita kupas satu persatu fakta di balik ‘gagah’nya sapi BB ini.

Sapi Belgian Blue merupakan sapi yang terkenal dengan double muscling-nya. Double muscling (DM) merupakan kondisi yang disebut “muscular hypertrophy” dimana massa dan ukuran otot, tumbuh secara berlebih yang disebabkan oleh mutasi pada gen MSTN (Myostatin). Mutasi ini menyebabkan MSTN yang bertanggungjawab untuk mengontrol tumbuh kembang otot menjadi tidak berfungsi, akibatnya pertumbuhan otot tidak terkendali dan terjadilah fenotip DM. Sebagai akibatnya, sapi BB dapat menjadi sangat besar dan berdaging banyak. Namun perlu diingat, bahwa otot bukan hanya sebagai penyusun daging. Seluruh organ dan saluran di tubuh terdiri atas otot, sehingga sifat DM juga mempengaruhi struktur dan fungsi organ. Tidak jarang sapi-sapi DM mengalami gangguan fisiologis (terutama jika dipelihara di tempat yang kondisi lingkungan dan sumber daya pendukungnya kurang optimal) dan reproduktif (terutama masalah penyempitan saluran reproduksi betina).

Sapi BB dibentuk di Belgia dan pada awalnya merupakan sapi dwiguna (catatan tahun 1920) baik difungsikan sebagai sapi perah dan pedaging. Mutasi MSTN terjadi secara alami pada populasi tersebut dan memunculkan fenotip DM BB, yang kemudian diseleksi secara masif untuk sifat DM pada tahun 1950-1960. Dari seleksi itulah terbentuklah sapi Double Muscling Belgian Blue dalam sub-populasi yang sudah terpisah dari sapi BB dwiguna. Sapi DM BB (yang merupakan hasil dari proses seleksi dengan mengakumulasikan MSTN mutan) kemudian dibiakkan khusus untuk tujuan penghasil daging rendah lemak dengan prosentase karkas yang sangat tinggi dan tentunya dengan manajemen dan sumber daya yang khusus pula.

Mungkin kita bertanya-tanya bagaimana sebenarnya pola pewarisan gen yang termutasi pada sapi DM BB tersebut, apakah sama dengan pewarisan sifat dalam pembentukan sapi Brahman Cross misalnya atau persilangan sapi Peranakan Ongole (PO) dengan Simmental dan Limousine? Jawabannya adalah “TIDAK”.

Berikut akan diuraikan pewarisan sifat DM dalam 3 skenario berdasarkan teknologi reproduksi yang digunakan, yaitu melalui embyo transfer (ET), Inseminasi Buatan (IB) semen sapi BB kepada  sapi  betina  konvensional dan IB semen  sapi  BB  terhadap  betina  crossbred BB (50% BB).

Pada skenario pertama dimana embrIo DM-BB ditransfer kepada induk resipien normal konvensional, maka peluang pedet untuk mewarisi sifat DM adalah 100% karena embrIo tersebut, diproduksi dari sel telur dan sel sperma yang sama-sama memiliki gen MSTN mutan. Sedangkan pada skenario kedua, dimana sapi induk normal di-IB dengan semen sapi BB, maka embrIo yang dihasilkan akan memiliki separuh gen mutan dari pejantan dan separuh gen normal dari induknya.   Penelitian crossbreeding antara sapi betina konvensional dengan pejantan sapi DM-BB menyebutkan bahwa dari sapi-sapi keturunannya (sebut saja F1) hanya 42-45% yang menunjukkan sifat DM, lebih dari 50% F1 tidak menampakkan sifat DM. Jadi pada populasi F1 yang sama-sama memiliki 50% mutasi MSTN, performance perototannya tidak seragam, ada yang DM dan ada yang normal. Jika F1 (betina) kemudian di-IB lagi dengan semen BB, maka sapi keturunannya (F2) bisa dua macam; berikut penjelasannya: Induk betina F1 memiliki separuh MSTN normal dan separuh MSTN mutan, sedangkan pejantan memiliki 100% MSTN mutan. Induk dan pejantan masing-masing akan mewariskan separuh MSTN ke keturunannya. Jika pedet mewarisi MSTN normal dari induk dan separuh mutan dari bapak maka pedet akan mirip dengan induk F1nya (50% mutan – 50% normal). Namun, jika yang diwarisi dari induk adalah mutan dan dari pejantan juga mutan, maka F2 akan memiliki 100% MSTN mutan.

Dari ketiga skenario ini terlihat bahwa pewarisan sifat DM lebih ditentukan dari seberapa besar PELUANG untuk mewarisi MSTN mutan dari tetuanya dan BUKAN pada prosentase bangsanya. Itulah sebabnya mengapa crossbred DM-BB tidak ditemui di pasaran; karena memang kemunculan sifat DM memiliki variasi yang sangat tinggi alias tidak stabil. Apalagi jika ada wacana untuk mengawinkan sapi lokal Indonesia (seperti sapi Aceh, Bali, Madura atau Pasundan) dengan semen DM-BB. Selain peluang mendapatkan keturunan dengan sifat DM kurang dari 50%, carrying capacity induk lokal yang notabene termasuk bangsa sapi kecil perlu dikaji. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah ”apakah sapi lokal memiliki kemampuan untuk mensuport janin dari DM-BB tanpa merusak kondisi induk?”

Setelah sedikit mengenal latar belakang pembentukan dan karakteristik sapi BB, sekarang kita coba mencermati, langkah pemerintah yang telah mulai memasukkan sapi DM-BB dalam bentuk embrio ke Indonesia sejak tahun 2015. Program selanjutnya adalah melalui inseminasi buatan semen pejantan BB kepada induk sapi bangsa-bangsa lain dan produksi semen yang hingga akhir tahun 2019 ini, konon sudah mencapai belasan ribu dosis. Program pemerintah ini memang masih dilakukan secara tertutup di lembaga-lembaga penelitian, unit-unit pelaksana teKnis dan balai inseminasi buatan milik pemerintah. Rencana pemerintah selanjutnya, adalah melepaskan semen sapi  BB yang  telah  diproduksi  tersebut  kepada  masyarakat  (peternak) luas.

Apakah langkah-langkah pemerintah ini, sudah tepat untuk menyelesaikan persoalan pemenuhan kebutuhan daging merah di Indonesia dan mengurangi jumlah impor daging? Bagaimana jika yang terjadi justru sebaliknya, di mana peternak rakyat dengan sumber daya yang ada saat ini, tidak mampu memenuhi standar kebutuhan hidup dan produksi sapi BB yang lebih tinggi, dibanding sapi-sapi lokal dan crossbred yang sudah ada saat ini, sehingga potensi produksi sapi BB yang diharapkan, TIDAK optimal. Artinya, sama saja dengan memelihara sapi persilangan Bos Taurus biasa. Di sisi lain, ketika kita berkomitmen untuk mengintroduksi sapi BB, gen yang termutasi akan terus diwariskan dari generasi ke generasi, yang artinya sifat DM berikut resiko sifat-sifat negatifnya juga akan terus diwariskan. Efek negatif yang justru mungkin terjadi antara lain adalah gangguan fisiologis karena bentuk dan proporsi organ tubuh menyimpang dari normal, terjadi gangguan reproduksi karena testis mengecil dan saluran reproduksi betina menyempit. Gangguan reproduksi ini akan berakibat makin lambatnya laju pertambahan populasi sapi di Indonesia.

Ketika akan mengintroduksikan suatu bangsa asing (eksotis) baru pada sistem peternakan yang sudah ada, seyogyanya dilakukan assessment terlebih dahulu secara menyeluruh dan komprehensif dari aspek teknis, ekonomi, sosial, lingkungan maupun genetik. Secara teknis, peternak harus mampu memelihara dan memenuhi kebutuhan sapi BB untuk berproduksi sesuai dengan potensinya. Secara ekonomi introduksi tersebut harus dapat memberikan keuntungan bagi peternak dan negara (swasembada daging atau mengurangi impor daging). Resiko kesulitan beranak (dystocia) yang memerlukan tindakan section caesaria serta gangguan-gangguan fisiologis pada sapi keturunan BB merupakan issue kesejahteraan ternak (animal welfare) yang pasti akan mendapatkan perhatian dan kritik dari masyarakat luas. Hal tersebut termasuk dalam aspek sosial (penerimaan secara sosial). Dari aspek lingkungan, muncul pertanyaan apakah sumber daya (pakan) kita mampu mendukung keberadaan sapi ini, mengingat negara-negara maju seperti Amerika, justru sangat berhati-hati   ketika ingin mengembangkan sapi BB karena menyadari bahwa lahan pastura yang mereka miliki, tidak akan mampu mendukung produksi sapi BB. Dari aspek genetik, perlu diwaspadai potensi rusaknya sapi betina lokal karena cemaran genetik.

Analisis risiko (risk analysis) riil dan urgent yang mampu kita lakukan sebelum introduksi sapi BB ke masyarakat, salah satunya adalah dari aspek ekonomi, yaitu perhitungan biaya pemeliharaan sapi BB hingga mampu berproduksi secara optimal. Selama ini terjadi gap, antara tujuan pemerintah untuk swasembada daging dengan tujuan peternak rakyat dalam memelihara ternak sapi. Bagi peternak rakyat, sapi memiliki berbagai fungsi, yaitu sebagai tabungan, penghasil pupuk kandang, status, budaya dan lain sebagainya.  Kriteria bangsa sapi yang mereka pilih untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut, tentu saja sangat berbeda dengan kriteria bangsa sapi yang diinginkan pemerintah sebagai penghasil saja. Peternak cenderung memilih bangsa sapi yang paling mudah dipelihara, tidak memerlukan perawatan ekstra dan biaya besar.

Analisis ekonomi pada akhirnya akan membandingkan apakah ketika memelihara BB yang memerlukan sumber daya lebih besar dibanding bangsa sapi lain, akan memberikan peningkatan keuntungan yang setara dengan peningkatan sumber daya yang dikeluarkan. Jika tidak, dengan berbagai resiko teknis dan genetis sebelumnya, introduksi sapi BB di Indonesia, khususnya pada peternakan rakyat tentu tidak diharapkan.

Dibandingkan peternak rakyat, perusahaan swasta dengan modal besar dirasa akan lebih mampu dalam memelihara Belgian Blue. Lalu, untuk memastikan agar genetik Belgian Blue tidak mencemari genetik sapi lokal Indonesia, perlu ada implementasi kebijakan yang ketat. Keturunan pertama (F1) harus dipotong seluruhnya, agar tidak ada kemungkinan memiliki keturunan. Sebaran semen dari Belgian Blue juga harus dibuat tertutup sehingga tidak terjual ke peternak rakyat. Sapi potong lokal Indonesia perlu dilestarikan karena sifat-sifat genetisnya yang baik dan adaptif. Pemuliabiakan sapi potong asli Indonesia menjadi keharusan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi nasional. SEKJEN PB ISPI