Revisi Grand Desain Sapi Potong

Pemerintah bercita-cita bahwa di tahun 2045, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia. Dimana komoditi sapi potong akan menjadi lumbung pangan Asia di tahun yang sama. Pernyataan perencanaan ini tertuang dalam Grand Desain Pengembangan Sapi Potong dan Kerbau 2045, yang dipublikasikan oleh Kementrian Pertanian pada tahun 2016 lalu. Dalam grand desaintersebut, disebutkan target-target dan asumsi-asumsi yang harus dipenuhinya. Pasalnya, jika asumsinya tidak dipenuhi maka dengan sendirinya progam tersebut tidak mungkin akan dijalankan. 

Asumsi yang tercantum dalam perencanaan tersebut, antara lain bahwa pemerintah harus mengimpor sapi indukan sebanyak 3,2 juta ekor selama sepuluh tahun pertama, atau sekitar 320 ribu ekor/tahun. Melihat asumsi ini, ternyata dalam dua tahun terakhir (2017-2018) kemampuan pemerintah mengimpor sapi indukan tidak lebih dari 6.000 ekor/2 tahun atau setahun hanya 3000 ekor . Masih sangat jauh dari asumsi yang di buatnya. Fakta lain, ternyata pula bahwa impor sapi indukan sejumlah tersebut sumbernya masih dipertanyakan, karena sangat sulit untuk memperolehnya baik berkaitan dengan jumlah maupun harganya.

Disisi lain menurut prediksi APPHI (2019) bahwa kebutuhan protein hewani di dalam negeri yang berasal dari daging sapi di tahun 2029 sekitar 3,4 juta ton setara dengan 20 juta ekor sapi per tahun. Sementara itu, ketersediaan produksi domestik hasil kajian Damardjati (2016) bahwa ketersediaan sapi potong dari 6 daerah utama produsen sapi, produksinya di tahun 2020 hanya 1,4 juta ekor. 

Berdasarkan beberapa data hasil kajian tersebut, yang harus di waspadai adalah tinggiya tingkat permintaan yang mencapai sekitar empat kali lipat daging/tahun. Hal ini disebabkan komoditi daging memiliki elastisitas permintaan terhadap pendapatan 1,2. Artinya semakin sejahtera masyarakat, konsumsi daging sapi akan semakin meningkat. Selain itu,  karena pertambahan populasi dan tingkat sadar gizi masyarakat turut mendorong peningkatan konsumsi daging sapi. 

Rendahnya kemampuan produksi domestik, akan menciptakan meningkatnya volume impor daging sapi. Hal ini, sesungguhnya merupakan peluang bagi peternak sapi di negeri ini untuk meningkatkan produksi dan produktivitasnya.

Harmonisasi kebijakan

Upaya peningkatan produksi dan produktivtas sapi di dalam negeri, sangat berkaitan dengan masalah-masalah teknis, sosial, eknomis bahkan politis.

Masalah koefisien teknis yang faktual dan kredibel harus merupakan acuan yang digunakan sebagai asumsi dalam suatu perencanaan. Katakanlah struktur populasi sapi, jarak beranak, umur sapih, sampai dengan berapa sapi indukan yang mungkin dapat diimpor. Semua asumsi yang digunakan, harus yang paling memungkinkan bisa dilaksanakan dalam operasionalisasi perencanaan

Selain hal tersebut, pertimbangan faktor sosial pun harus dijadikan dasar bagi strategi pengembangan ternak sapi. Jika saja, pola pengembangan sapi menggunakan sapi bali tentu respons masyarakat akan sangat berbeda jika menggunakan sapi BX (eximpor). Demikian halnya dari sisi aspek ekonomi. Bahwa, usaha ternak sapi potong harus mampu memberikan tingkat keuntungan usaha bagi pelakuknya. Dengan kata lain; secara teknis fisibel bias dilaksanakan, secara sosial akseptablebias diterima masyarakat dan secara ekonomis profitable atau menguntungkan.

Aspek yang sering dilupakan dalam menentukan rencana kerja adalah kebijakan. Banyak kebijakan yang menjadi kontra produktif dan harus segera di harmonisasi. Hal ini disebabkan para penentu kebijakan seringkali gagal pahamterhadap mekanisme proses dalam pembangunan peternakan. Paling tidak ada tujuh kebijakan yang harus diharmonisasi agar pembangunan peternakan menjadi kondusif. Yaitu sebagai berikut :

Pertama, larangan penggunaan hormon pertumbuhan (UU 41/2014 PS 22,  ay 4C). sementara negeri ini melakukan importasi dari Negara yang menggunakan hormon pertumbuhan. Artinya, pemerintah tidak melindungi peternakan di dalam negeri. Mereka bersaing dengan teknologi yang tidak seimbang. Alangkah idealnya, jika di dalam negeri pun diperbolehkan menggunakan hormon pertumbuhan. Atau, sama sekali dilarang dan kita pun tidak melakukan importasi dari negera-negara yang menggunakan hormon pertumbuhan.

Kedua, lama pemeliharaan penggemukan 120 hari (UU 41, pasal 36B, ayat 5). Dalam UU ini, jelas sekali tidak mempertimbangan kemajuan teknologi dan bisnisnya. Dalam UU sebaiknya tidak mengatur waktu lamanya pemeliharaan. Hal ini, sebaiknya diatur pada kebijakan operasional yang lebih rendah, misalnya SK Menteri atau Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Ketiga, perubahan pendekatan pembangunan dari Produksi Kepada Harga Daging Sapi(Permendag 699/2013). Konsep ini, jelas-jelas telah mampu membuat usaha ternak menjadi tidak kondusif. Sebab, harga sesungguhnya merupakan insentif bagi peternak untuk meningkatkan skala usahanya. Alangkah baiknya, jika pemerintah menetapkan harga hanya merupakan indikasi, bukannya sebagai patokan.

Keempat, perubahan penetapan berat badan pada kebijakan impor sapi bakalan dari 350kg menjadi 450kg  (Permentan 49/ 2016 ke 02/ 2017 pasal 15). Kebijakan ini, telah menurunkan pendapatan optimal bagi bisnis penggemukkan. Disadari bahwa bisnis penggemukan, utamanya memanfaatkan pertubuhan kompensasi, pada umur dan berat badan tertentu. Jika berat badan sapi impor dinaikan menjadi 450 kg, secara otomatis pertumbuhan kompensasinya menjadi kecil. Hal ini, berdampak terhadap pendapatan usahanya.

Kelima, Membebaskan Impor Daging dan Sapi  (Permentan No 17/2016,34/2016dan Permendag 59/2016). Kebijakan ini melemahkan daya saing produksi daging sapi di dalam negeri. Seharusnya, kebijakan importasi daging dan sapi diatur sedemikan rupa sebagai upaya peningkatan produksi dan produktivitas sapi domestik.

Keenam, Membuka Impor dari Negara yang Belum Bebas PMK (PP 4/2016 dan SK Mentan No.2556/2016).Kebijakan ini jelas-jelas melanggar UU No.41/2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang berpeluang terhadap kemungkinan berjangkitnya Penyakit Mulut dan Kuku, mendistorsi pasar daging sapi yang selama ini kondusif, menjadi tidak bergairah lagi.

Ketujuh, kebijakan Rasio Impor Sapi Bakalan Dengan Indukan(Permentan 02/2017 pasal 7) dimana kebijakan ini hanya di respons oleh perusahaan penggemukan tidak kurang dari 2%. Artinya, jika kebijakan ini terus diberlakukan maka usaha penggemukan sapi impor akan berhenti usahanya. Pasalnya, disebabkan karena seharusnya kebijakan tersebut berbasis pada luasan kandang yang digunakan bukannya terhadap volume impor sapi bakalan.

Melihat fakta dan data lapangan yang terjadi selama ini, maka merevisi “grand desain” pengembangan peternakan sapi dan kerbau 2045, khususnya sapi potong menjadi keniscayaan. Jika dibiarkan, maka pernyataan Mentri Pertanian Suswono di era SBY akan berulang, yaitu “bahwa kegagalan swasembada daging sapi karena salah hitung”. Rochadi Tawaf (Dewan Pakar PB ISPI dan Peneliti Senior LSPPI).

Pernah dimuat di Majalah Infovet, edisi 296 Maret 2019. IT & Media ISPI