Pada tangggal 21 Juni 2016 , didampingi Menteri Pertanian dan Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Presiden Jokowi meninjau sentra pembibitan sapi milik swasta di Rumpin, Tangerang, Banten. Usaha pembibitan sapi tersebut sedang mengembangkan diri dan nantinya akan menghasilkan semen beku sapi Belgian Blue.
Setelah mendapatkan penjelasan dari Karnadi, pemilik peternakan sapi tersebut, Presiden Jokowi mengatakan, bahwa Indonesia akan swasembada daging sapi di tahun 2026. Padahal sebelumnya dalam berbagai kesempatan, selain menyatakan akan swasembada Pajale (Padi Jagung Kedelai) di tahun 2019, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman menyatakan akan swasembada daging sapi di tahun 2019 melalui program SIWABnya. Pernyataan Presiden Jokowi ini sepertinya kata bersayap. Jangan-jangan tidak yakin dengan pernyataan Menteri Pertanian. Kalau toh tidak tercapai, swasembada tahun 2026 sesuai konstitusi jabatan beliau, akan berakhir di tahun 2024.
Cukup menarik pernyataan, Presiden Jokowi yang menyatakan bahwa di tahun 2026 , kita dapat swasembada daging sapi. Sebenarnya pernyataan ini dapat ditafsirkan secara tidak langsung adalah perintah kepada Menteri yang bersangkutan – yang dalam hal ini Menteri Pertanian – untuk dapat merealisasikan. Kita hitung, saat ini sudah hampir masuk tahun 2022. Berarti waktu tinggal lima tahun untuk mewujudkan perintah Presiden Jokowi. Setidak di akhir jabatan beliau di tahun 2024, produksi daging sapi lokal harus sudah memenuhi sekitar 80 persen dari kebutuhan nasional.
Cukup menarik untuk dikupas, perintah Presiden Joko Widodo ini. Kita tengok sejenak program swasembada daging sapi tahun 2010 dan swasembada daging sapi 2014 di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Keduanya gagal. Ternyata produksi daging sapi lokal hanya memenuhi sekitar 50 persen dari kebutuhan nasional. Memasuki pemerintahan di bawah Presiden Joko Widodo, Menteri Pertanian, Amran Sulaiman juga menyatakan, akan swasembada daging sapi di tahun 2019, dan dikembangkan dengan program SPR (Sekolah Peternak Rakyat). Disusul dengan Siwab (Sapi Wajib Bunting).
Tidak berbeda dengan program swasembada sebelumnya, di akhir tahun 2019 diperoleh data bahwa impor daging sapi dan kerbau, masih pada kisaran 250 ribu ton. Kalau seekor sapi dengan berat hidup sekitar 400 kilogram, diasumsi menghasilkan daging sapi sekitar 140 kilogram, maka impor daging sapi di tahun 2019 setara dengan 1,78 juta ekor sapi. Rupanya Amran Sulaiman lupa, bahwa ibarat kapal, pergantian menteri itu ibarat nahkoda yang ganti. Awak kapal tidak berubah dalam bekerja dan cara berpikir.
Menjadi pertanyaan, apakah dalam waktu lima tahun ke depan, kita mampu meningkatkan populasi dan produksi daging secara drastis? Mari kita lihat potret populasi sapi dan produksi daging yang ada beberapa tahun terakhir.
Populasi dan Produksi Daging Sapi
Tahun | Populasi (juta ekor) | Peningkatan populasi (%) | Pemotonga sapi (juta ekor) | Produksi daging (ribu Ton) | Produksi daging/ ekor | Perkiraan berat hidup sapi |
2013 | 12,5 | – | 1,2 | 504 | 420 | 1.119 |
2014 | 14,726 | 17,8 | 2,216 | 497 | 233 | 665 |
2015 | 15,419 | 4 | 2,175 | 506 | 232 | 662 |
2016 | 15,997 | 3,7 | 2,151 | 518 | 240 | 685 |
2017 | 16,429 | 2,7 | 1,956 | 486 | 248 | 708 |
2018 | 17,860 | 3,8 | 2,013 | 496 | 246 | 702 |
Sumber data :
- Statistik Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan untuk populasi, produksi daging dan jumlah pemotongan sapi.
- Produksi daging/ekor dan perkiraan berat hidup sapi diolah dari data produksi daging dan jumlah pemotongan sapi.
Selanjutnya, data dari BPS (yang dikompilasi dari Dinas Peternakan di daerah), populasi sapi tahun 2019 adalah 16,93 juta ekor, dan tahun 2020 sejumlah 17,46 juta ekor. Berarti dari tahun 2018 ke tahun 2019, ada penurunan sekitar 870 ribu ekor. Kemudian dari tahun 2019 ke tahun 2020, terdapat kenaikan populasi sebesar 2 persen.
Ada yang aneh dari tabel di atas. Terdapat kenaikan yang sangat drastis dari populasi tahun 2013 ke tahun 2014, yakni sebesar 17,8 persen. Kenaikan populasi selanjutnya normal dan bahkan menimbulkan pertanyaan, di mana sukses program Siwab?
Menurut Dr. Drh. Suhadji, parameter kenaikan populasi alami per tahun pada kisaran 3 – 4 persen. Dengan asumsi kenaikan populasi sebesar 3 persen per tahun, maka populasi tahun 2021 sampai dengan tahun 2026 diproyeksikan : 18,16 juta, 18,88 juta, 19,63 juta, 20,41 juta, 21,22 juta, dan 22,06 juta ekor.
Bagaimana dengan produksi daging sapi? Dari tabel diatas di atas, terdapat hal yang perlu dicermati.
Pertama, bahwa produksi daging sapi per ekor sangat tinggi. Kita bandingkan bahwa sapi eks impor hasil penggemukan dengan berat sekitar 450 kilogram, hanya menghasilkan daging sapi sekitar 168 kilogram/ekor.
Kedua, bahwa sapi yang dari Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi, Sumatera dan berbagai daerah lain, berat hidupnya pada kisaran 250 – 300 kilogram dan daging yang dihasilkan rata-rata sekitar 90 – 100 kilogram/ekor.
Dari tabel di atas pula, kita melihat bahwa sapi yang dipotong memiliki berat di atas 600 kilogram. Jadi kita pantas untuk mempertanyakan angka produksi daging sapi dalam negeri yang dirilis oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tersebut.
Bagaimana dengan Tahun 2026 ?
Kementerian Koordinator Perekonomian dalam menghitung prognosa kebutuhan daging sapi menggunakan angka konsumsi 2,56 kg/kapita/ tahun. Pada tahun 2026, diproyeksikan penduduk Indonesia berjumlah 292 juta jiwa. Apabila dianggap tidak ada kenaikan konsumsi/kapita/tahun sebesar 2,56 kg, maka kebutuhan daging sapi di tahun 2026 adalah 747 ribu ton atau setara dengan 4,5 juta ekor sapi, yang berat hidupnya rata-rata 450 kilogram. Mungkinkaah dengan populasi sapi sekitar 22 juta akan mampu memenuhi kebutuhan daging sapi nasional?
Dari uraian tersebut diatas, kita dapat memperkirakan, bahwa tugas yang diemban oleh Kementerian Pertanian untuk mewujudkan swasembada daging tahun 2026 cukup berat. Apakah jargon Sikomandan akan dapat menyelesaikan tugas ini? Mari kita tunggu dan lihat (wait and see).
Ada catatan kecil yang perlu kita renungkan bersama. Kegagalan program swasembada daging sapi sejak awal, terjadi karena dalam menyusun perencanaan menggunakan data dan angka populasi yang tidak valid dan akurat. Kedua, menggunakan asumsi yang tidak nalar seperti angka produksi daging per ekor sapi yang terlalu tinggi. Tidak disadari, bahwa mekanisme pasar akan mengkoreksi kesalahan semua itu.
Terlepas dari telaah terkait dengan perintah Presiden Jokowi untuk dapat swasembada daging sapi tahun 2026 , terdapat beberapa hal yang perlu menjadi perhatian pemerintah.
Pertama, bahwa sesungguhnya impor daging sapi untuk memenuhi kebutuhan nasional bukan barang baru. Sejak era pemerintahan Presiden Soeharto telah dilakukan. Hanya saja waktu itu, Dr. Drh. Soehadji sebagai Dirjen Peternakan mengeluarkan kebijakan “Tiga Ung” untuk pemenuhan daging sapi. Ung pertama, peternakan sapi potong rakyat sebagai tulang punggUNG.
Kedua, penggemukan sapi bakalan eks impor sebagai pendukUNG. Ketiga, impor daging sapi berkualitas sebagai penyambUNG. Dengan demikian, sebaiknya disadari betul oleh pemerintah bahwa kondisi dalam negeri memang sulit untuk dapat keluar dari keterpaksaan impor daging sapi. Kegagalan beberapa kali program swasembada yang kurang realistis, akhirnya mengorbankan biaya APBN dan terkesan hanya sebagai retorika dan jargon.
Kedua, bahwa belajar dari kenyataan yang ada dan pengalaman program di waktu lalu, sudah waktunya pemerintah harus melakukan pembenahan data dan angka, terkait dengan populasi dan produksi daging. Markup populasi dan produksi daging dalam negeri menyebabkan terjadi kebijakan yang tidak tepat. Tabel tersebut di atas, sudah sangat jelas bagaimana carut marut data populasi dan produksi daging. Sudah bukan lagi waktunya di era digitalisasi untuk memanipulasi data.
Ketiga, pemerintah secara konsekuen melakukan pencegahan pemotongan sapi betina produktif. Law enforcement bagi pelaku pemotongan sapi betina produktif perlu dilakukan sesuai ketentuan undang undang.
Keempat, usaha penggemukan sapi eks impor harus dapat dimanfaatkan sebagai peluang usaha bagi peternak rakyat. Pola kemitraan Inti Plasma perlu dilakukan. Sekurang kurangnya 25 % sapi bakalan yang diimpor oleh para feedlotter, diplasmakan kepada peternak rakyat. Selain itu perusahaan besar mempunyai kewajiban sebagai offtaker dan juga melakukan transfer of knowhow dan knowledge.
Kelima, untuk setiap volume tertentu ( misal 25 ton), importir daging sapi/kerbau wajib membeli sapi betina produktif yang akan dipotong dan bekerjasama dengan peternak kecil untuk memelihara dengan pola yang disepakati bersama.
Masih banyak lagi sebenarnya yang dapat dilakukan dalam rangka mengembangkan usaha peternakan sapi untuk memenuhi kebutuhan nasional dengan tetap mengedepankan kepentingan peternak rakyat dan sapi lokal. Saat ini, generasi muda sudah mulai banyak yang masuk dalam usaha peternakan sapi potong atau pedaging. Ini merupakan modal yang sangat besar untuk masa depan industri sapi di tanah air.
Bekasi, Oktober 2021